Pahlawan Padang Rumput Karya : Liang Yu Sheng Disadur Oleh : GAN KL Terdengar suara nyanyian bercampur dengan bunyi kelenengan unta berkumandang di angkasa gurun yang luas. Di gurun Taklamakan (di daerah Sinkiang) beberapa unta tengah melangkahkan kaki dengan langkah yang mantap. Seorang pemuda suku bangsa Kazak sedang melantunkan suara nyanyian yang nyaring dengan lagu pujian akan keindahan tanah airnya dengan semangka madunya yang manis. “Hai, Asta, apa kau belum cukup akan mati dahaga ? Tenggorokanku bisa lebih kering lagi karena nyanyianmu itu, “ tiba-tiba pemuda lain menegur temannya tadi dengan tertawa, begitu suara nyanyian temannya itu berhenti. “Ah, Nyo-taihiap, apakah kau belum cukup lama tinggal bersama kami ?” sahut pemuda duluan yang tadi dipanggil Asta, lalu dengan tertawa menyambungnya, “ Mungkin kau masih belum mengenal watak bangsa Kazak kami? Sekalipun dalam keadaan yang paling sulit pun bangsa Kazak kami senantiasa bergembira.” “Kau benar, Asta,” tiba-tiba seorang oemuda lain lagi menyeletuk, “Tetapi lagu yang kau bawakan tadi agak kurang tepat dengan tempat ini. Lihatlah, di depan sana penuh dengan bukit pasir yang sungsang-timbul, untuk mencari sebatang rumput pun tidak gampang, namun di tempat yang mirip neraka ini kau malah bernyanyi tentang semangka madu segala, apa ini bukan sengaja 2 hendak membikin orang mengiler saja ?” “Mokhidi, kenapa kau begitu sembrono menamakan tempat kita ini neraka ?” sahut Asta dengan raut kurang senang. “Tidakkah kau sendiri di lahirkan dan dibesarkan di padang rumput ini, kau sudah menjelajah dan mengelilingi seluruh utara selatan Thian-san (gunung Thian di Sinkiang), tidakkah kau tahu dipadang rumput kita initidak sedikit terdapat kekayaan alam dengan pemandangan yang indah permai pula ? Dengarlah ini, biar kutunjukan padamu, bahwa sungai Merak yang airnya biru menghijau berkilauan bagaikan bulu sayap burung merak, buah-buahan duku, tho dan semangka madu yang rasanya manis, membuat orang mengiler, masih kurang apa lagi yang tidak bagus? Tentang buah-buahan dan semangka madu ini masih belum berarti, bahkan kita masih memiliki rombongan domba yang mirip gumpalan awan putih dan nona-nona gembala dengan kuncir panjangnya yang manis! Ah, sudahlah Mokhidi, pendek kata nanti kalau sudah melintasi gunung ini aku akan menemanimu pergi mencari nona penggembala yang cantik manis itu.” “Ya, ya, Asta, tak usah kau menyerocos lagi, “ kata Mokhidi, “Jika kau bicarakan, sehari semalam juga takan habis, malahan bisa kutambahkan sekalian, bukankah kita masih punya Thay-san (gunung Altai) yang gemilapan dengan sinar emasnya bila tersorot oleh cahaya matahari dan batu-batu permata yang tak terhitung nilainya di tepian sungai Giok yang membuat air sungai menjadi berkilauan. Akan tetapi kesemuanya kini sudah hampir ludes dirampok oleh bangsa Boan.” “Maka dari itu kita harus merebutnya kembali dari tangan musuh,” tiba-tiba pemuda bangsa Han yang dipanggil Nyo-taihiap berkata, lalu menyambungnya pula, “Hai Mokhidi dan Asta, janganlah kalian menertawakan khayalanku, akan tetapi kuyakin dengan pasti bahwa suatu hari nanti kita pasti dapat mengalirkan air salju melalui gurun luas ini. Tatkala itu tidak saja kita memiliki apa yang telah ada sekarang ini, bahkan akan bertambah banyak lagi barang-barang dan benda-benda yang baru, dan kau akan mempunyai nona gembala yang manis dengan sendirinya tak usah khawatir pula dombadombanya akan ditelan pasir gurun, maka akan senanglah dia sehingga membikin dia tambah cantik dan manis.” Karena penuturan kawannya ini, segera Asta melompat berjajar dengan pemuda Han itu di punggung untanya. 3 “O, Nyo-taihiap, hatimu yang baik sungguh beribu-ribu kali lebih berharga dari segala batu permata,” kata Asta sambil mendekap tubuh pemuda bangsa Han itu dengan mesra. “Ya, meski kau bangsa Han, tetapi kau sudah sama seperti saudara-saudara Kazak kami yang lain, bahkan melebihi mereka. Kau sudah beberapa tahun membantu kami bertempur melawan bangsa Boan, sekarang kau malah menempuh perjalanan bersama kami melintasi gurun yang luas ini, sungguh rasa hatiku ingin menciummu.” “Hus, “ bentak pemuda yang dipanggil Nyo-taihiap ini dengan tertawa, ‘Ayolah, jangan bergurau lagi. Aku adalah kepala rombongan, aku akan memberi perintah, sekarang semua orang tidak diperkenankan banyak bicara. Hawa sekarang semakin panas, persediaan air kita kurang, kalau kita banyak tentu akan membuat kita cepat haus dan akan lenih banyak minum, itu tidak boleh terjadi.” Karena omelan ini, Asta meleletkan lidahnya seperti anak binal, habis itu lantas melompat kembali ke atas untanya sendiri. Habis itu mereka meneruskan perjalanan. *** Pemuda yang dipanggil Nyo-taihiap oleh bangsa Kazak ini bernama Nyo Huncong. Ia adalah murid pertama Hun-bing siansu di gunung Thai-san. Hui-bing Siansu ini tidak diketahui sejak kapan dating dari dataran tengah, ia menyucikan diri di gunung Thai-san dan menyakinkan ilmu pedang dengan mengumpulkan segenap inti sari dari cabang-cabang ilmu silat, ia telah menciptakan sendiri ilmu pedangnya yang mempunyari seratus empat puluh delapan jurus dan ilmu pukulan yang dapat dimainkan secara sangat hebat dan lihai. Ayah Nyo-taihiap adalah keturunan pembesar dinasti Beng yang menyingkirkan diri ke Sinkiang untuk menghindari ancaman “bahaya kebiri”, yakni ancaman Goei Tiong-hian, orang kebiri yang diangkat menjadi perdana menteri dan membunuh semua lawannya pada jaman kaisar Beng-hi-cong, atas petunjuk orang, anaknya, Nyo Hun-cong telah diserahkannya untuk menjadi murid Hui-bing Siansu. Sejak umur delapan hingga delapan belas tahun, 4 selama sepuluh tahun belajar. Nyo Hun-cong telah berhasil memperoleh semua pelajaran ilmu pedang Thian-san yang lihai, ilmu pedang yang diciptakan oleh gurunya itu. Pada umur delapan belas tahun, Nyo Hun-cong telah turun gunung dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mulia dengan membantu si lemah melawan penindasan dan menjadi kawan seperjuangan rakyat penggembala di padang rumput. Masa itu adalah kira-kira tujuh tahun setelah kaisar Sun Ti dari bangsa Boan (Manchu) menduduki Tiongkok, kedudukannya boleh dikatakan sudah teguh, maka mereka mulai memperluas daerah kekuasaannya ke barat laut, suku-suku bangsa di Sinkiang berbangkit memberikan perlawanan yang dashyat. Karena itu, Nyo Hun-cong pun lantas masuk dalam barisan di pihak kaum Kazak dan membantu melawan tentara Boan. Setelah enam tahun bertempur, karena kalah dalam jumlah tentara, maka dari pedalaman Sinkiang mereka mulai mengundurkan diri ke sebelah selatan dan terpaksa memasuki gurun Taklamakan. Bangsa Kazak terpaksa pula membubarkan diri dan berpencar membentuk barisan partisan dalam kelompok kecil-kecil untuk melarikan diri. Dalam regi Nyo Hun-cong ini hanya terdiri dari delapan orang saja dan bersama-sama memegang empat ekor unta. Asta dan Mokhidi adalah sepasang pemudapemuda Kazak yang perkasa dan ikut serta salam regu ini. Pemuda ini memiliki watak yang suka ria dan berpandangan hari depan yang gembira, sekalipun dalam keadaan bahaya, mereka tetap yakin bangsa Kazak takkan mudah dikalahkan orang selamanya. Walaupun mereka suka bersenda gurau seperti tadi, namun dapat pula sekadar membantu menghilangkan rasa lelah temanteman seperjalanannya. Padang pasir kekuning-kuningan yang luas itu bagaikan tidak ada ujung pangkalnya, sekalipun mereka sudah berjalan selama beberapa hari belum juga menemui seorang manusiapun, bekal air yang mereka bawapun makin lama makin sedikit. Sinar matahari yang panas terik ini, unta sekalipun megapmegap merasakannya. Mendingan setelah hari mulai sore, hawa mulai berubah menjadi dingin dan silir. Nyo Hun-cong mendapatkan sebuah sungai kecil, tapi dasar air sudah kering dan pecah-pecah karena panas matahari, ia mencoba menyingkap pasir di dasar sungai tersebut dan meraup segenggam tanah pasir serta diciuminya, kemudian berkata kepada kawan-kawannya, “Malam ini kita boleh berkemah saja di sini.” 5 Tenda segera dipasang dan mereka pun minum dan makan sedikit ransom kering yang mereka bawa. “Sungai ini walaupun kering, tapi ada petunjuk bahwa disini pasti ada mata airnya,” kata Nyo Hun-cong. “Asta dan Mokhidi, malam ini kalian harus rela melelahkan diri mencari sumber mata air disekitar sini.” Mencari sumber air di gurun pasir seperti ini bukanlah pekerjaan gampang, kalau bukan orang yang telah berpengalaman, pasti akan sia-sia dan buang waktu percuma. Asta dan Mokhidi hidup di tempat yang penuh gurun dan padang rumput, mereka paham dan kenal betul tempat ini seperti rumah sendiri. Jadi menyuruh mereka mencari sumber air. Nyo Hun-cong percaya penuh padanya. Perubahan hawa di gurun memang sangat cepat sekali, kalau siang panas terik, tapi setelah malam hawa bisa berbalik menjadi sangat dingin. Setelah Nyo Hun-cong menunggu sekian lama dan kawan-kawannya masih belum juga kelihatan kembali, segera ia teringat bahwa kawan-kawannya waktu pergi tadi dalam keadaan terburu-buru dan hanya menggunakan baju tipis saja, walaupun mereka pandai ilmu silat tentu juga takkan tahan serangan hawa malam yang dingin sekali itu. Segera dia membawa dua buah jaket kulit kambing dan keluar dari tenda lalu menyusul kawan-kawannya itu. Selagi ia hendak bersuara memanggil, mendadak terdengar suara suitan yang dikenal betul sebagai suara Asta. Cepat dia memburu ke tempat datangnya suara tadi dan terlihat olehnya dibawah kerlip cahaya bintang dan sina rembulan, yang remang-remang, kedua kawannya itu sedang bertarung melawan seorang pemuda bangsa Han dengan sengit. Mereka kelihatan tercecar mundur dan agaknya tak tahan melawan musuh yag jauh lebih tangguh, disamping itu di belakang pemuda bangsa Han itu, kelihatan ada beberapa orang pula. Nyo Hun-cong terkejut, dua orang kawannya ini dalam bangsa Kazak tergolong jagoan perkasa kelas satu-dua, lawannya itu tentu bukan orang sembarangan dari kalangan persilatan, ia tidak membekal senjata, maka dengan satu kali lompatan, kedua tangan mementang jaket yang ia bawa terus disabetkan kearah muka orang itu. 6 Ilmu pedang orang itu ternyata sangat cepat, dengan satu langkah miring ia mengengos dan melepaskan diri dari serangan “Tiat-poh-san” (sabetan kain baja) Nyo Hun-cong, berbareng dia menusuk dengan pedangnya. Nyo Huncong bersuara heran demi nampak jurus serangan orang, dengan memuntir jaketnya secepat kilat ia berusaha membelit senjata lawan. Maka segera terdengarlah suara “Breeet”, ternyata kulit jaket sudah terkelupas, namun pedang lawan juga telepas dari tangannya. “Hai, apakah kau bukan Coh Ciauw-lam Sute !” seru Nyo Hun-cong ketika mengenali lawannya. “Ah, kiranya Nyo-suheng berada disini juga, “ sahut orang itu sambil memberi hormat setelah terlebih dahulu ia menjemput pedangnya yang terpental tadi. Orang itu bernama Coh Ciau-lam, ia adalah anak piatu dan juga murid kedua Hui-bing Siansu, tiga tahun setelah Nyo Hun-cong turun gunung ia juga telah menamatkan pelajarannya selama sepuluh tahun dan meninggalkan Thai-san, sampai kini ia sudah tiga tahun meninggalkan perguruannya. Jadi sudah enam tahun Nyo Hun-cong tidak pernah melihat adik seperguruannya ini, kini dengan tidak disengaja malah bertemu di tengah gurun, tentu saja ia menjadi sangat kegirangannya, dengan memegang pundak sang Sute ia bertanya, “Sute, kapan kau turun gunung, mengapa tidak memberi kabar padaku. Sute, beberapa tahun tidak bertemu, ilmu silatmu ternyata sudah banyak mengalami kemajuan, bahkan bisa mengelupas sepotong jaket kulitku. Hahahaha!” Nyata dia tidak tahu bahwa Coh Ciau-lam menggunakan Po-kiam atau pedang pusaka yang disebut “Yu-liong-kiam”, serupa dengan pedang “Toan-giok-kiam” miliknya yang sama-sama adalah pedang pusaka simpanan Hui-bing siansu. Begitulah hanya dalam dua gebrakan saja pedang Coh Ciau-lam sudah terlepas dari tangannya, keruan ia merasa kikuk sekali. Sambutan hangat Nyo Huncong tadi hanya dibalas satu dua patah kata saja. Ditanya oleh Nyo Hun-cong pula, apakah dia datang bersama rombongan orang itu dan malam ini boleh tinggal bersama saja, dijawabnya bahwa masih ada urusan penting yang harus dikerjakan sehingga harus berangkat malam ini juga ke utara, yang diinginkan hanya sedikit air saja. 7 “Kalian kehabisan air ?” tanya Nyo Hun-cong yang di jawab puka oleh Coh Ciau-lam dengan menggut-manggut kepala. Saat itu, Asta mendekati Nyo Hun-cong dan berkata dalam bahasa Kazak. “Sutemu ini sungguh tidak punya aturan, masa kita yang bersusah payah menemukan sumber mata air disini, dating-datang ia lantas hendak menguasainya sendir. Hanya karena kau, kalau tidak, jangan harap kami akan memberi air kepadanya.” Perasaan Nyo Hun-cong menjadi sangat tidak enak setelah mendengar cerita kawannya itu, ia pandang muka sang Sute dan membatin, “Mengapa ia telah begitu cepat berubah menjadi orang semacam itu.” Sebenarnya ia hendak menegur dan memberi sedikit pengajaran, tetapi karena mengingat sudah lama baru beretmu kembali dan ia tidak suka memikin malu adik seperguruannya itu di depan orang banyak, maka ia hanya berkata, “ Jika sudah mendapatkan air, biarlah kita bagi sama rata saja!” Habis itu ia tanya pula kepada Asta, “Dimana letak mata air itu ?” Asta menunjuk suatu tempat, maka terlihat olehnya air setetes demi setetes merembes keluar dari sela-sela batu. Dengan sebuat kantong kulit, Mokhidi sedang mengisi air. Nyo Hun-cong mendekat, lalu merangkapkan dua jarinya dan menggunakan tenaga “jari baja” ia menusuk sela-sela batu itu yang segera menjadi renggang dan airpun menyembur keluar seperti seutas benang. Biarpun begitu untuk mengisi penuh enam kantong air juga dibutuhkan waktu hingga tengah malam, ketika hendak mengisi lagi ternyata airnya sudah tidak keluar. Waktu mengisi air, lima orang kawan mereka yang sedang berada di tendapun ikut keluar dan bertanya tentang ini dan itu sehingga Nyo Hun-cong tidak mempunyai banyak waktu untuk berbicara dengan sang Sute. Ketika ada kesempatan berbicara dengan sang Sute, jika ditanya Nyo Huncong jawaban Coh Ciau-lam selalu menyimpang, ia hanya bilang bahwa sudah beberapa lama ia terlantung-lantung di Sinkiang utara. Sebenarnya ada keinginan mencari sang Suheng tetapi sudah untuk ditemukan. Sebaliknya dengan bernafsu Nyo Hun-cong menceritakan semua pengalamannya selama 8 ini. Coh Ciau-lam mendengarkan dengan penuh perhatian, terkadang malahan mengajukan beberapa pertanyaan. Kemudian setelah melihat mata air itu sudah kering, Nyo Hun-cong tersenyum dan berkata, “Lumayan juga bisa penuh enam kantong. Baiklah Sute, kalian berjumlah dua belas orang, tetapi kalian menuju utara, jarak perjalanan lebih dekat, bagaimana, apakah cukup adil kalau kubagi kalian empat kantong ?” Coh Ciau-lam berulang-ulang mengucapkan terima kasih, ia menyusuh kawannya menggendong keempat kantong air itu dan kembali ke tenda sendiri, lalu memuatnya keatas unta dan segera berangkat. Nyo Hun-cong telah menanyakan apakah uirusan sangat penting sehingga perlu berangkat terburuburu pada malan itu juga, tetapi Coh Ciau-lam tak mau menjawab dengan terus terang. Nyo Hun-cong hanya mengira mungkin urusan ada sangkut pautnya dengan kawan-kawan seperjalanannya it, maka ia tidak bertanya lebih lanjut. Setelah tidak hari berpisah dengan Coh Ciau-lam, nereka masih juga belum melintasi gurun pasir yang amat luas itu. Maka berkatalah Asta, “Untung beberapa hari ini tiada angin badai, coba kalau ada, andaikan kita tidak kurang sesuatu apapun toh bisa juga kesasar jika bukit-bukit pasir itu berubah tempat.” Tak terduga baru selesai ucapannya, mendadak terdengar desir angin kencang dari sebelah barat disertai debu pasir tebal bergulung-gulung menuju timur. “Untung hanya angin biasa saja.” Kata Hun-cong. “Meskipun begitu kita tetap harus berjaga-jaga!” sahut Asta. Dan selagi Nyo Hun-cong hendak mencari tempat untuk memasang tenda guna menghindari angin, tiba-tiba dari jauh terdengar bunyi kelenengan unta dan suara lari kuda yang ramai. “Aneh juga, kedengarannya seperti ada beberapa puluh orang, kini bukan musim perdagangan, darimana datangnya para pedagang yang begitu banyak?” demikian kata Nyo Hun-cong kepada kawan-kawannya dengan heran. Tak lama kemudian, rombongan unta itu sudah mendekat dan kelihatan 9 dipimpin oleh dua orang penunggang kuda, ternyata seorang diantaranya adalah Sutenya sendiri Coh Ciau-lam sedang yang lain adalah seorang berperawakan kekar gagah berpakaian bangsa Boan. Saat itu orang-orang yang menunggang unta sudah turun semua lengkap dengan senjata ditangan, mereka terdiri dari orang-orang bangsa Boan dan Han. Mendadak hati Nyo Hun-cong tergerak, ia maju dan membentakm, “Sute, mengapa kau kembali lagi ke sini ?” Berubah air muka Coh Ciau-lam karena teguran ini, tetapi ia segera menuding Nyo Hun-cong dan berseru kepada orang Boan tadi. “Ini dia, Nyo Hun-cong, yang memimpin pemberontakan bangsa Kazak!” Orang Boan itu segera memberi tanda dengan gerakan tangan da beberapa puluh orang itu lantas menerjang dan mengepung mereka ditengah-tengah. Waktu itu perasaan Nyo Hun-cong sungguh amat gusar bercampur kuatir, ia bukannya menguatirkan jiwanya sendiri tetapi kuatir atas diri teman-teman seperjalanannya bangsa Kazak ini. Ia yakin dengan ilmu pedang sendiri yang sudah sempurna itu, untuk menerobos kepungan beberapa puluh atau ratusan orang musuh adalah bukan hal yang terlalu sulit baginya, apalagi selama beberapa tahun ia sudah mengalami berbagai bahaya yang ia anggap jiwa sudah tidak menjadi soal baginya, namun ia tidak dapat tidak tetap menguatirkan teman-temannya, mereka terdiri dari pemuda-pemuda Kazak yang paling baik dan terpilih, menghadapi jumlah musuh yang banyak, jika harus menjadi korban di tengah padang gurun yang tidak kelihatan ujung pangkalnya ini jelas lebih berharga daripada kehilangan ratusan rombongan domba. Ia memang kuatir tetapi ia lebih gusar pula, gusar karena Sutenya sendiri yang berusia masih begitu muda seharusnya berguna dan berjuang membela tanah air sendiri. Siapa duga ternyata jiwanya begitu rendah dan busuk, makahan berkhianat dan takluk kepada musuh, bahkan menunjukkan jalan hendak menggunakan darah Suheng sendiri demi keuntungan dan memperkuat kedudukannya. Namun hanya sekejap saja rasa kuatir dan gusarnya itu terlintas serta segera hilang pula seperti letikan api, waktu memang tidak mengijinkan dia untuk 10 berpikir, senjata musuh sudah memburu dating menyerang. Dalam keadaan yang berlangsung cepat ini ia segera mengeluarkan suara gerungan dan pedang pendeknya segera dicabut, bagaikan angin yang menyapu debu, ia memainkan beberapa ilmu jurus oedang Thai-san yang paling hebat, dengan sekali putar segera beberapa senjata musush dibuat terpental dari tangan mereka. Nyo Hun-cong mengamuk seperti banteng ketaton, pedangnya gemerdepan menerjang kesana kemari dari kepungan musuh, tidak seberapa lama ia lantas kebentur dengan Sutenya sendiri, Coh Ciau-lam. “Suheng, marilah kau menyeberang ke pihak kami saja, apa gunanya kau membantu orang Kazak ?” seru Coh Ciau-lam. Tetapi Nyo Hun-cong memberi satu bacokan sebagai jawaban sambil membentak, “Aku tidak mempunyai Sute semacam dirimi ini!” “Suheng, takdir telah menentukan kekuasaan bagi bangsa Boan di Tiongkok, jutaan tentara sudah dihancurkan, kaum pemberontak di Sinkiang sinipun selekasnya akan dimusnahkan, kau hanya tinggal berjumlah beberapa orang saja dan buron di gurun pasir yang luas ini, apa yang bisa kau perbuat ?” seru Coh Ciau-lam sambil mundur beberapa tindak. Nyo Hun-cong mengentak gigi, “ser-ser-ser”, tiga kali ia membabat dengan pedangnya dan mendamprat,” Bangsat yang tidak tahu malu!” Pedang segera dimainkan makin kencang, hingga membuat Coh Ciau-lam tercecar kalang kabut. Dalam pertarungan yang sengit mengadu jiwa ini, mendadak Coh Ciau-lam bersuit panjang, serdadu Boan yang berdiri di pinggir segera mundur membelah ke belakang. Ketika Nyo Hun-cong merasa heran, dilihatnya seorang opsir bangsa Boan dengan menunggang kuda maju menerjang maju, kira-kira jauhnya masih tujuh datau delapan dep, tiba-tiba ia meloncat tinggi dari atas kudanya, tangannya memegang sebatang senjata yang bentuknya aneh dihantamkan ke atas kepala lawan seperti sambaran elang. Nyo Hun-cong menjadi gusar sekali, ia tidak mau mengunjuk kelemahan, kedua kakinya bergerak dan iapun melambung keatas dan pedang digerakkan dengan jurus “mengangkat obor memerangi 11 langit”, ia tangkis san menyampuk senjata musuh ke samping, “traaaang” terdengar suara beradunya senjata sehingga senjata musuh terpental dari tangan. Dalam keadaan badan Nyo Hun-cong masih mengapung di udara, tibatiba terasa sambaran angin yang tajam, ia tidak sempat lagi melukai musuh tadi, dengan berjumpalitan dan turun dengan perlahan. Waktu ia berpaling ke belakang, dilihatnya Coh Ciau-lam juga baru saja turun sampai ditanah dan sedang memandang disekelilingnya. Kiranya yang menerjang dari belakang untuk menolong orang Boan tadi adalah Sutenya sendiri. Sinar mata Nyo Hun-cong menjadi berapi-api saking gusarnya, dengan mengumpulkan seluruh tenaga ia putar pedang menempur pula dua lawannya itu. Opsir Boan-jing itu bernama Nikulo, ia adalah murid Hong-lui-kiam Ce Cinkun dari aliran Thian-Pek-san, senjata khas yang dipakai disebut Song-buncom semacam kikir yang dapat digunakan sebagai pedang atau golok, juga bisa dipakai untuk menotok jalan darah, dalam pasukan Boan ini ilmu silatnya tergolong kelas satu-dua. Dia termasuk panglima muda To Tok dari bangsawan Boan, jika diurutkan masih terhitung Sutit atau keponakan seperguruannya. Sejak ia ikut masuk di Kwan-lwe, jarang menemukan tandingan. Belum lama ini ia baru dipindahkan ke daerah Sinkiang untuk membantu gubernur Ili, Nilan Sukiat, mengamankan daerah Hwe ini. Karena terlalu percaya diri, ia tidak tahu kelihaian ilmu pedang Thian-san-pay dari Nyo Hun-cong itu, maka begitu berhadapan segera menghantam dari atas dengan senjatanya, ia bermaksud pamer pada Coh Ciau-lam, tak terduga ilmu mengentengkan badan dan melayang tinggi adalah kungfu andalan Nyo Hun-cong, begitu kebentur hampir saja melayang jiwanya di bawah pedang Nyo Hun-cong, karena itu lagak sombongnya segera lenyap dan ia coba mengumpulkan semangat dan mengacungkan Song-bun-co, ia keluarkan segenap ilmu yang penah ia pelajari untuk mengerubut Nyo Hun-cong lagi. Dalam keadaan seperti itu jelas Nyo Hun-cong tidak gampang memperoleh kemenangan, apalagi senjata Song-bun-co musuh ini menyambar kian kemari, kadang –kadang membacok seperti golok dan menusuk layaknya pedang, dan lain saat menutuk seperti Boan-koan-pit, yang dituju selalu tempat jalan darah yang mematikan. Di tambah pula Coh Ciau-lam yang paham Thian-sankiam- hoat atau ilmu pedang Thai-san, berdiri disamping selalu sambil mengingatkan Nikulo cara bagaimana harus meladeni Nyo Hun-cong. 12 Sebenarnya keuletan Coh Ciau-lam masih kalah jauh dibanding Nyo Hun-cong, akan tetapi karena ia paham betul ilmu pedang dari perguruan yang sama, kalau ia jadi pelatih dan meminjam Nikulo bertempur bersama ternyata cukup tepat juga, segera mereka berbareng merangsek, karena itulah Nyo Hun-cong menjadi tertahan dan tidak dapat melepaskan diri untuk menolong orangorang Kazak yang lain. *** Begitulah di gurun luas itu telah terjadi pertempuran yang sengit, Nyo Huncong hanya mendengar suara-suara bentakan Asta dan Mokhidi, dua pahlawan Kazak yang perkasa ini kiranya juga sudah terlibat dalam pertarungan yang sengit sekali. Melihat hal itu Nyo Hun-cong menjadi gusar sekali, ilmu pedangnya segera berubah, sinar pedang gemerdep melayang menari-nari, maju mundur, naik turun tidak dapat diduga dan sulit diraba arahnya, walaupun Coh Ciau-lam kenal permainan ilmu pedang “Hwe-swan-lian-goankiam- hoat” dari Thai-san yang lihai ini, tetapi karena gerakan Nyo Hun-cong semakin cepat, saking kencangnya, hingga dia dibuat bingung dan terkesima tidak sempat menjaga diri sendiri, mana bisa lagi dia membela Nikulo. Makin lama bertempur, Nyo Hun-cong semakin bertambah gagah. Suatu saat mendadak Coh Ciau-lam menyerang dengan jurus Keh-bak-jong-po, ujung pedangnya menusuk miring, Nyo Hun-cong berkelit dan pedangnya menggunakan kesempatan penjagaan lawan yang kosong segera menusuk ke tengah, Coh Ciau-lam tak sempat dan tak mungkin pula bisa menghindar, tidak tahunya waktu serangan Nyo Hun-cong hampir mengenai sasaran, ia melihat muka Coh Ciau-lam mengunjuk rasa seperti ketakutan, karena itu hantinya menjadi tidak tega , ujung pedangnya hanya di tutulkan di dada, hanya merobek sedikit kain baju dan tidak sampai melukainya. “Sute, apakah kau belum mau sadar dan kembali ke pihak kami?” seru Nyo Hun-cong sambil menarik kembali pedangnya dengan cepat. Hati Nyo Hun-cong memang luhur dan berbudi, ia ingat waktu mereka berdua masih sama-sama diatas Thai-san, jika dalam hal pelajaran ada yang kurang jelas serign Coh Ciau-lam meminta petunjuknya. Hubungan kakak dan adik seperguruan ini memang sangat erat, apalagi Coh Ciau-lam adalah anak piatu yang dipungut murid oleh gurunya dati tangan seorang saudara angkatnya. 13 Nyo Hun-cong sangat mengasihinya dan suka memperhatikan dia, tidak terduga baru turun gunung tiga tahun, sang Sute sudah berubah seperti itu pikir Nyo Hun-cong, “Pasti karena usianya yang masih terlalu muda dan kurang pengalaman sehingga terjebak oleh orang-orang jahat.” Karena pikiran inilah ia tidak tega membunuhnya dan mengira dapat menasehati dan mengubahnya menjadi baik. Tapi justru sedikit keterlambatan dari Nyo Hun-cong akibat memikirkan diri Coh Ciau-lam, kesempatan ini malah memberi kesempatan kepada Coh Ciaulam dan Nikulo untuk membalas menyerang lebih gencar lagi, dengan Songbun- co, Nikulo merangsek maju dengan jurus serangan berbahaya, sementara itu mereka berulang-ulang bersuit pula, beberapa puluh serdadu segera maju mengepung Nyo Hun-cong lagi. Pertempuran berlangsung sengit sekali, disekitar Nyo Hun-cong terdengar jeritan orang-orang Kazak yang mengerikan, ia tahu kawan-kawannya tentu sudah ada yang gugur. Kegusaran Nyo Hun-cong memuncak, alisnya menegak, pedangnya diiputar semakin kencang, sebentar di muka, sekejap lagi sudah di belakang, sinar pedang gemerdep menyambar, beberapa serdadu segera roboh binasa oleh serangan kilat itu. Nikulo dan Coh Ciau-lam juga berkali-kali menghadapi serangan berbahaya, muka mereka merasakan angin dingin mengiris. Ketika pertempuran tengah berlangsung dengan sengit dan tegang, tiba-tiba pasir berterbangan di seluru penjuru gurun, berbareng itu terdengar teriakan orang, “Angin ribut datang!” Nyo Hun-cong terkejut, Nikulo dan Coh Ciau-lam sementara itu sudah menarik kembali senjata mereka dan meompat keluar dari kalangan pertempuran. Dalam sekejap saja angin ribut menderu-deru tiba bagai mengiris tanah, gurun pasir yang luas ini terlihat seperti kabut pasir, laksana beratur-ratus layer kuning tebal menutup angkasa. Hari yang tadinya terang benderang kini menjadi kelam gelap, di tengah kabut pasir yang remang-remang itu kelihatan 14 bayangan orang saling berlari tunggang langgang berebut unta dan mncari tenda atau tempat yang dapat dibuat menyelamatkan diri. “Asta ! Mokhidi! Kalian berada dimana ?” Nyo Hun-cong berseru memanggil kawannya, akan tetapi, dalam gemuruh angin ribut yang menderu itu suaranya bagaikan sampan yang tenggelam di tengah samudra, mana ada suara sahutan orang. Sementara itu Nyo Hun-cong merasa punggungnya seperti tertimpa batu kerikil yang keras, ia menjadi sangat terkejut, ia mengetahi pula bahwa apabila gundukan atau bukit-bukit pasir sampai terangkat oleh angin puyuh, biarpun orang yang berilmu silat setinggi langit juga dapat terpendam hiduphidup. Dalam keadaan segenting itu ia mencoba menyelamatkan diri, segera ia angkat kaki dan berlari secepat mungkin, walaupun sudah beberapa tahun ia berada didaerah Sin-kiang, namun ia belum pernah mengalami kehidupan di gurun pasir. Sebenarnya bilamana menghadapi angin ribut yang sangat hebat, paling baik adalah menggali kubur di dalam pasir untuk menyembunyikan diri, jika kebetulan gundukan pasir yang terbawa angin justru menimpa di atasnya tentu saja akan mati terpendam hidup-hidup, Cuma kalau terjadi secara kebetulan, batu-batu kerikil yang berhamburan lewat diatasnya tentu juga tidak akan melukainya, andaikan teruruk pasir yang tidak terlalu tebal, setelah angin ribut berhenti tentu dapat juga menerobos keluar. Akan tetapi Nyo Hun-cong tidak mempunyai pengalaman dalam hal melawan serangan badai ini, ia hanya bisa mencoba berlari secepat mungkin, ilmu mengentengkan badannya betapapun sempurna juga tidak dapat menandingi cepatnya angin. Setelah ia berlari sekian lamanya toh masih tetap saja di bawah ancaman angin yang belum mau mereda itu, bajunya sudah banyak yang robek karena tajamnya kerikil yang menimpa seperti mengiris, pandangannya mulai kabur, ingatannya perlahan-lahan mulai tidak sadar. Dalam keadaan setengah sadar ini, mendadak ia seperti mendengar suara 15 menggerujuknya air, semangat Nyo Hun-cong segera bangkit. “Apakah ini bukan air telaga yang jarang terdapat di gurun pasir ?” begitu terpikir dalam hatinya, segera iapun berlari sekuat tenaga menuju ke arah datangnya suara air itu. Namun malang baginya, angin semakin deras dan seperti membanjir dan bercampur dengan kerikil, bahkan ada beberapa potong batu besar yang hatuh persis menimpa diri Hun-cong, sementara itu, tenaga Hun-cong mulai habis, ia sudah terlampau payah, kepala terasa seperti hendak pecah. “Matilah aku!” akhirnya Nyo Hun-cong menjerit, dengan sisa tenaganya ia meloncat sejauh mungkin, menyusul terasa olehnya seperti jatuh ke tempat yang empuk dan lunak, kemudian dia tidak sadarkan diri. Entah sudah lewat berapa lama, perlahan Nyo Hun-cong mendusin, begitu ingatannya pulih kembali, segera pula ia mencium bau wangi yang menusuk hidung. Ia coba membuka matanya, ternyata dirinya sudah berada di dalam sebuah perkemahan, disekitar kemah dihiasi bunga-bunga yang indah, di tengah kemah duduk seorang perempuan muda berpakaian seperti pemburu, dengan membelakanginya sedang membaca kitab. Sesaat Nyo Hun-cong sangsi akan penglihatannya sendiri apakan ini alam nyata dan keadaan yang sebenarnya, apakah ini bukan dalam impian atau khayalan, karena pikiran ini hampir saja ia bersuara, akan tetapi segera diurungkan, oa sudah berpengalaman dalam perjuangan, dalam segala hal ia bisa berlaku hati-hati, ia pejamkan kembali matanya dan pura-pura belum sadar untuk menyelidiki apa yang bakal terjadi. Perempuan muda itu belum tahu kalau Nyo Hun-cong sudah sadar, ia masih asyik membaca kitabnya dengan suara yang lirih. Hun-cong coba mendengarkan dan ingin tahu kitab apa yang sedang dibacanya, ternyata sebuah syair kuno karya seorang penyari ternama. Nyo Hun-cong adalah keturunan kaum terpelajar, sejak kecil dia sudah memahami kesusastraan. Waktu belajar ilmu silat di Thian-san ia pun tidak pernah menelantarkannya, maka begitu mendengar syair orang segera ia tahu 16 itu adalah syair hasil karangan penyair kuno Thio Jan-jung dijaman dinasti Song. Pikirnya, seorang perempuan muda berada di tempat yang luas dan sunyi senyap ini tentu karena merasa sangat kesepian, maka sengaja melewatkan waktu senggangnya dengan bersyair. Tengah ia termenung, dari luar kemah kembali masuk seorang perempuan muda dan bertanya kepada perempuan yang berpakaian pemburu itu, “Siocia (Tuan Putri), apakah orang itu sudah mendusin ? Apakah Siocia ada sesuatu pesan ?” “Mungkin belum sadar”, jawab perempuan tadi sambil menutup kitabnya, lalu berpaling kearah Nyo Hun-cong. “Coba kau periksa dia, apakah dia berkeringat, jika bajunya basah boleh kau ganti.” “Siocia, kau selalu meladeni lelaki berbau busuk ini, sungguh hamba tidak ingin melakukannya,” sahut perempuan yang baru masuk itu. Perempuan yang baru masuk ini tentunya adalah pelayan dan perempuan yang mengenakan pakaian pemburu pasti adalah Siocia atau putri kaum hartawan atau pembesar negeri atau bisa juga anak gadis kepala suku di daerah sini, demikian pikir Nyo Hun-cong. “Eh, mulai kapan kau belajar berlagak model putri bangsa Han ?” terdengar perempuan tadi mengomel pada pelayannya. “Kita perempuan bangsa Boan selamanya tidak mengenal adat larangan hubungan laki-perempuan, jangan kaukira, aku suka membaca kitab karangan bangsa Han, tetapi untuk adatistiadat mereka yang terlalu mengikat, aku tidak suka, lagipula apa kau sudah mencium bau badannya ? Darimana kautahu dia lelaki berbau busuk?” begitu perempuan tadi melanjutkan omelannya. “Cara Siocia berbicara semakin lama semakin lihai,” jawab pelayan itu sambil tertawa dan menutup mulutnya, “Masa sioca selalu mengguyoni diri hamba yang rendah ini, memang dia sedikitpun tidak berbau busuk, malahan dia terhitung lelaki yang cakap,” si pelayan balas menggoda. “Jangan sembarangan mengoceh, “ bentak perempuan berpakaian pemburu 17 tadi, “Aku tertarik karena melihatnya membawa pedang pusaka, tentunya bukan sembarang orang, kau tahu apa ?” “Ya Hamba memang tidak mengerti apa-apa, yang hamba tahu adalah Siocia yang belum memiliki kekasih,” jawab si pelayan itu. Perempuan tadi tertawa karena godaan si pelayan. “Huss, jangan banyak omong yang tidak keruan lagi, lihat saja kalau nanti tidak kurobek mulutmu,” omelnya pula. Pelayan itu lantas mendekati Nyo Hun-cong dan perempuan yang dipanggil Siocia tadi mengikutinya dengan pandangan tajam. Nyo Hun-cong membuka sedikit matanya dan mencoba mengintip, ia lihat perempuan tadi ternyata cantik molek, pelayan itupun mempunyai air muka yang tidak bisa dibilang jelek. “Siocia, dia sudah sadar dan diam-diam sedang mengintipmu,” kata pelayan itu epada Siocianya sambil tertawa dan bertepuk tangan. Perempuan cantik itu tersenyum sambil mendekati Nyo Hun-cong. Rahasia mengintip telah dibongkar oleh sang pelayan tadi, terpaksa Nyo Hun-cong membuka matanya lebar-lebar dan mencoba membungkukkan badan hendak bangun, akan tetapi diluar dugaannya, baru saja ia bergerak sedikit segera seluruh badannya terasa sakit tidak kepalang sampai merasuk tulang sumsum. Bari ia sadar sekarang, behwa setelah mengalami serangan badai ia telah terluka parah. Ia mencoba mengatur pernafasan dan tidak berani sembarangan bergerak lagi. “Kau pulas sehari semalam, bagaimana, sangat tidak enak bukan ?” tanya perempuan tadi kepada Hun-cong. “Banyak terima kasih atas pertolongan Siocia,” kata Nyo Hun-cong dengan suara agak rendah, kemudian tanyanya, “Numpang tanya tempat apakah ini dan Siocia adalah orang dari mana ?” “Tempat ini adalah Cia-hui-tai, kira-kira empat ratus li dari kota Ili,” jawab perempuan molek itu. “Tidak perlu kau urus siapa aku, lebih baik kau mengaso 18 dulu disini, Dan kau sendiri,? Darimanakah kau ini , mengapa seorang diri berlari kian kemari di gurun yang luas ini ?” Nyo Hun-cong menjadi sangat terkejut mendengar penuturan perempuan tadi. Dari utara Sinkiang, ia memasuki Gurun Gobi, tujuannya hendak melintasi gurun itu menuju selatan, tidak terduga malah sampai di sebelah barat. Dari sini dekat dengan kota Ili, sedangkan kota Ili adalah pusat markas tentara Boan-jing, rasanya tidak boleh tidak harus lebih berhati-hati. Pelayan itu melihat Nyo Hun-cong termenung-menung dan tidak menjawab, ia lantas buka suara lagi, “Hai, kawan, mengapa kau hanya memandang Siocia kami saja, apakah kau tahu siapa gerangan beliau ? Kau bisa kaget kalau aku menerangkannya, beliau ini adalah …. “ “Jangan banyak mulut, “ belum habis si pelayan bertutur, perempuan molek tadi sudah lantas memotong dengan membentak, lalu ia memperkenalkan diri, “Aku bernama Ming-hui, beberapa hari yang lalu aku datang kesini untuk berburu, tapi baru memasuki gurun, di luar dugaan lantas di terjang angin badai yang hebat, beruntung disini ada puncak bukit yang cukup tinggi yang dapat mengalangi serangan angin, kebetulan pula peralatan dan kemah kami cukup kuat, maka barulah kami terhindar dari bahaya.” “Ya, kemarin dulu waktu senja, angin sudah mulai reda, kami mengambil air ditelaga “Pu-yan” , sambung pula si pelayan tadi. “Mendadak andin ribut datang kembali, kami lihat kau berlari dengan kencang sekali laksana sedang berlomba dengan angin pasir, ketika mendekati tepian telaga kau masih belum sadar, kami hanya melihat kau seperti kambing yang ketakutan ketemu harimau, sekonyong-konyong kau meloncat dan amblas ke dalam tanah rawa yang kotor di tepi telaga, segera Siocia menyuruh kami menyeret keluar kau, seluruh badanmu sudah penuh dengan lumpur, kami menyuruh sais kereta mencuci dan menyikat badanmu selama lebih dari setengah jam, tetapi kau seperti orang mampus saja dan tidak merasakan apa-apa.” Mendengar cerita orang, Nyo Hun-cong menjadi sangat berterima kasih dan juga bercampur malu. Tiba-tiba timbul pikiran Nyo Hun-cong, “Gadis bernama Ming-hui yang tidak mau menerangkan asal usulnya ini, kalau dilihat dari tingkah lakunya, ada 19 pelayan dan juga membawa sais kereta serta pengiring yang banyak untuk berburu kesini, niscaya dia ukan anak gadis dari keluarga biasa.” Sebenarnya orang dari kalangan manakah dia ini, bagaimanapun juga Nyo Huncong tidak dapat menerka dengan pasti. “Kami sudah bercerita padamu, “ kata pelayan tadi, “Tetapi kau belum agi menjawab pertanyaan Siocia kami.” “Sebenarnya kudatang dari utara bersama serombongan kawan, dengan unta dan kuda, setelah menempuh perjalanan selama belasan hari, ditengah jalan ketemu angin ribut, aku sendiri berhasil menerobos bahaya dan lari kesini, tentunya hal ini tidak mengherankan!” jawab Nyo Hun-cong mencoba menerangkan. “Justru inilah yang mengherankan, dari utara kau telah berjalan belasan hari, tentunya sudah sampai di tengah-tengah gurun, sedang dari tengah gurun sampai kesini sedikitnya ada lima atau enam ratus li, agaknya kepandaianmu berlari sungguh boleh dibuat berpacu dengan kijang yang paling cepat,” kata pelayan itu pula dengan heran sambil tertawa. Ming-hui Siocia tersenyum mendengar pembicaraan pelayannya itu, ia lolos keluar sebuah pedang pendek yang gemerdep menyilaukan dari bawah lengan bajunya. “Tak perlu kau gubris anak kecil yang tidak punya pengetahuan ini,” katanya pada Nyo Hun-cong, “Bahwa kau memiliki pedang pusaka semacam ini, untuk berlari beberapa ratus li juga bukan soal yang sulit, sudah kuduga ilmu silatmu tentu sangat hebat, tunggu nanti sesudah kekuatanmu pulih kembali, maukah kau ajarkan beberapa jurus padaku ?” “Betul, “ sambung si pelayan, “Siocia kami paling suka belajar ilmu silat, banyak kauw-thau (guru silat) tidak bisa menandinginya.” Nyo Hun-cong berkerut alis mendengar kata kauw-thau atau guru silat yang dikatakan pelayan itu. Sementar itu, dari luar kemah telah masuk pula dua pelayan dengan membawa 20 sepanci susu kuda, Nyo Hun-cong memang sudah merasa lapar, maka tanpa sungkan lagi lantas diminumnya susu kuda itu. “Kau baru saja sadar, akan lebih baik jangan banyak bercakap-cakap dulu, “ kata Ming-hui Siocia pada Nyo Hun-cong. “Mengasolah dia hari lagi, sesudah sembuh akan kutemani kau pergi.” Begitulah selama dua hari itu Ming-hui Siocia dan pelayan cilik itu terus mendampingi Hun-cong dan mengajaknya berbincang-bincang untuk menghilangkan waktu yang luang ternyata Ming-hui selain paham ilmu silat juga mengerti kesusastraan. Ia dan Nyo Hun-cong dapat bercengkrama dengan sangat asyik, hanya kalau bicara mengenai asal usul masing-masing, mereka lantas coba menyimpangkan pokok pembicaraan. Hari ketiga Hun-cong sudah dapat bergera seperti sediakala, Ming-hui lantas mengajaknya berjalan-jalan keluar perkemahan. Dekat perkemahan itu Hun-cong melihat memang benar terdapat satu telaga, bayangan bukit yang tersorot sinar matahari di dasar telaga membuat pemandangan aman dan elok, sedikitpun tidak ada tanda-tanda telah terjadi angin ribut. Di tengah telaga sekelompok bebek liar sedang berenang kian kemari dengan tenang dan kadang-kadang mengeluarkan suara yang menarik. Beberapa rombongan domba bagaikan gumpalan awan putih sedang makan rumput di padang yang luas dan di tepi telaga terdapat lebih dari dua puluh pasang muda-mudi yang berdandan sebagai pemburu sedang menyanyikan lagu gembala dengan mengayun-ayunkan cumbuk kulit yang biasa mereka bawa. Melihat Ming-hui Siocia, mereka sama memberi hormat, manaruh perhatian juga kepada Nyo-hun-cong. Perasaan Nyo-hun-cong agak kurang tenteram, “Apakah orang-orang itu semua pengikutmu ?” tanyanya kepada Ming-hui Siocia. 21 Ming-hui Siocia hanya memanggut-manggutkan kepala tanda membenarkan. “Lihatlah!” ucapnya sengaj menyimpangkan pembicaraan orang, “ Tempat ini sungguh merupakan dataran hijau di tengah gurun pasir, di tepi sungai di dekat kota Ili pun tak terdapat pemandangan seindah sini!” “Suasana aman tenteram disini bagaikan surga, jika tak ada peperangan, sungguh suatu tempat pemukiman yang sangat baik, “ kata Hun-cong sambil menghela nafas. “Kau sedang memikirkan apa lagi ?” tanya Ming-hui Siocia, “Jika kau tidak menghendaki ada api peperangan, mengapa dirimu sendiri berbekal senjata dan malahan berlatih silat ?” “Jika orang lain tidak menjalarkan api peperangan ke Sinkiang, dengan sendirinya tidak ada yang menggerakan senjata, “ jawab Hun-cong. Mata Mung-hui yang jeli tajam sedang melihat pemandangan di sekelilingnya, mendadak ia mengalihkan pandangannya ke arah Nyo-hun-cong. “Kau termasuk bangsa Kazak atau Uigur?” tanyanya pada Hun-cong, “kukira kau ini anggota partisan mereka.” Air muka Nyo-hun-cong berubah seketika, kemudian sahutnya, “Kalau aku ini musuhmu misalnya, apakah kau menyesal telah menolong jiwaku ?” Ming-hui tertawa. “Aku serupa denganmu juga tidak ingin ada peperangan, “katanya , “mungkin kau ini musuh bangsa kami, tetapi bukan musuhku!” Tengah mereka bercakap-cakap, tiba-tiba dari bukit sana berkumandang bunyi kelenengan unta dan kuda yang riuh. “Jika ada orang datang menanyakan dirimu, bilang saja kau adalah penggembala kesasar yang telah ditolong oleh diriku, ingatkah ?” pesan Minghui pada Hun-cong. Hun-cong coba memeriksa badan sendiri, betul saka ia telah menggunakan pakaian penggembala, ia mengerti Ming-hui Siocia telah menukar pakaiannya, 22 diam-diam dia memuji ketelitian gadis ini. Maka ia manggut-manggut. Ming-hui mengulurkan pula pedang pendek yang tadi dipegangnya pada Huncong dan berkata, “Pedang ini kukembalikan padamu, kiranya takkan kau gunakan untuk bermusuhan dengan aku, bukan ?” “Selamanya aku takkan menyelakai dirimu!” jawab Hun-cong dengan suara terharu, tapi pasti. Sementara itu dari lereng bukit sana telah mendatangi serombongan orang yang dikepalai seorang penunggang kuda gagah dan keren. Setelah dekat, ternyata ia adalah sorang panglima perang tentara Boan. Hampir saja Nyo-hun-cong mengeluarkan suara jeritan keget setelah ia mengenali panglima itu. Orang ini bukan lain daripada Ili Ciangkun atau Gubernur kota Ili yang bernama Nilan Siu-kiat, ia adalah salah seorang panglima Boan yang menyerbu dan menjajah ke Sinkiang. Waktu Nyo-hun-cong memimpin bangsa Kazak melawan tentara Boan, ia pernah bertempur berhadapan dengan dia. Hun-cong sengaja menundukkan kepala dan menatap ke jurusan lain. Ia mendengar Nilam Siu-kiat memanggil, “Ming-hui, ayahmu kembali dari medan perang, ketika lewat di sini kudengar kamu sedang berburu, bagaimana dengan barang buruanmu, apa yang hendak kau berikan pada ayahmu ?” Sekali ini kaget Nyo-hun-cong terlebih hebat lagi, sama sekali tidak disangkanya gadis yang telah menolong jiwanya itu ternyata tidak lain adalah anak perempuan Nilai Sui-kiat. Seketika dia melenggong, ia merasa sangat kecewa dan juga hampa. Akan tetapi segera datang pula pikiran lain, dirinya masih mengemban kewajiban maha besar, masih harus memimpin kembali bangsa Kazak untuk berjuang lagi, ia tidak boleh diketahui oleh musuh, jika sampai ketahuan harus segera 23 mencari jalan untuk melarikan diri. Ia mencoba menggerakkan otot tulangnya, tenyata sudah pulih dan penuh tenaga, ia mengelus-elus pedangnya, perasaannya penuh dengan keberanian, semangatnya berkobar-kobar. Sementara itu Nilan Siu-kiat telah membawa orang-orangnya menuju telaga untuk minum, sedang pengiring Ming-hui Siocia tertawa girang, mereka menari dan menyanyikan lagu-lagu kemenangan untuk menyambut tentara mereka. Nyo-hun-cong mengertak gigi, akan tetapi segera teringat olehnya, “Apa gunanya membenci orang-orang ini, mereka hanya tertipu dan menuruti perintah saja.” Untuk mengelabui musuh, ia pura-pura ikut menyanyi dan menari, ia mencampurkan disi diantara mereka dengan harapan dapat menghindarkan perhatian musuh. Pada waktu inilah tiba-tiba datang dua opsir tentara Boan, mereka seperti dalam keadaan mabuk terus mendesak ke sebelah Nyo-hun-cong. Sesampai di dekat Nyo-hun-cong, mendadak salah seorang menyentuh pundaknya dengan keras, dengan sendirinya Hun-cong mengerahkan tenaga dan menolak desakan itu, dibentur kembali secara begitu, dua opsir tadi pergopoh-gopoh terpentak beberapa meter jauhnya. “Siapa kau ?” bentak mereka mendadak. Ternyata kedua opsir tadi melihat Hun-cong berdandan sebagai penggembala dan berbaur diantara pengiring Ming-hui Siocia, gerak-geriknya agak ganjil dan mencurigakan, maka mereka sengaja menguji dan memancingnya. Melihat keadaan itu, Ming-hui cepat maju ke tengah dan memisah. “Ia adalah penggembala bangsa Uigur, kalian jangan mempersulit dia, katanya kepada kedua opsir itu. Sementara itu pengiring Ming-hui Siocia dan anak buah Nilan Siu-kiat telah 24 berhenti menyanyi dan menari, semua ikut memperhatikan peristiwa yang tak terduga ini. Saat itu dengan tenang Nyo-hun-cong telah menghadapi kedua opsir Boan tadi, dengan suara nyaring ia menjawab, “Aku adalah penggembala dari Gulkan, teman-temanku terpencar akibat serangan angin puyuh beberapa hari lalu, justru yang menolong aku adalah Tuan Putri kalian.” Ming-hui segera membenarkan perkataan itu, namun kedua opsir itu masih setengah percaya setengah tidak. Sementara itu Nilan Siu-kiat sedang memandang Nyo-hun-cong dengan tajam, mendadak tangannya bergerak, sebuah anak panah kecil disambitkan ke arah Hun-cong, dengan sedikit mengegoskan badannya pemuda ini menghindarkan diri dari serangan itu. “Dia mata-mata musuh, lekas tangkap!” teriak Nilan Siu-kiat. Beberapa pengawal yang berada disampingnya segera menerjang maju dan mereka mengepung dan hendak menangkap Hun-cong. Di medan pertempuran, antara Siu-kiat dan Nyo-hun-cong memang sudah pernah bertemu muka, kini melihat Hun-cong mengenakan pakaian penggembala, ia merasa seperti sudah pernah kenal, untuk menghilangkan keraguan-raguannya ia lantas menyerang orang dengan anak panah, ia lihat dengan gesit orang telah dapat mengehindari serangannya, segera ia sadar dan lantas memerintahkan penangkapan. Tetapi dengan suatu gertakan Hun-cong menyambut serangan seorang pengawal, sedikit meraih terus dipuntir, kontan tulang tangan pengawal itu patah, pengawal itu berteriak sesambatan seperti babi hendak disembelih. Hun-cong tidak memperdulikan , “peletak”, ia membantingnya ke tanah, dengan sedikit memutar badan ia pegang pula kepalan kedua yang sedang menyerang, dengan enteng saja pengawal itu ditarik, dengan satu bentakan pengawal itu terangkat tinggi dan diputarnya dengan cepat kemudian dilemparkan sejauhnya. 25 Terdengar suara “Plung” yang keras, tubuh pengawal yang tinggi besar itu kecemplung masuk telaga , air telaga muncrat berhamburan. Nilai Siu-kiat terkesima seketika dan rada keder. Di saat lain kawanan pengawal dan serdadu Boan, telah sama maju menerjang. Nyo-hun-cong cukup cerdik, melihat gelagat jelek, pedangnya segera di lolos, dengan satu lompatan dia merangsek ke arah Nilai Siu-kiat, karena itu beberapa opsir didekatnya segera datang menghadang, tapi dengan beberapa tendangan dan pukulan Hun-cong telah membuat mereka kocar-kacir, mana bisa mereka mencegahnya maju. Sekejap saja Hun-cong sudah menubruk ke depan Nilai Siu-kiat. Ilmu silat Nilai Siu-kiat juga tidak terlalu rendah, satu pukulan segera dikirim ke muka Hun-cong waktu pemuda itu datang mendekat dan mencoba merebut pedangnya, akan tetapi Hun-cong ternyata sangat lihai, sedikit mengegos sambil mendesak maju pedangnya berbareng menusuk lagi, tampaklah sekali ini Nilan Sui-kiat pasti sukar menghindar. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara jeritan Ming-hui Siocia, “Ayah, Ayah!” Hati Nyo-hun-cong tergetar, ia menjadi tidak tega, sedikit ia serongkan pedangnya, ujung pedang menyerempet lewat dipinggir leher Nilan Siu-kiat. Sekalipun sudah cukup berpengalaman di medan pertempuran, namun Nilan Siu-kiat masih juga merasakan ada angin tajam dingin menyambar lewat lehernya, sehingga membuatnya gugup dan takut tidak kepalang, tangan kaki pun terasa lemas. Pada saat itu pula, Nyo-hun-cong yang kuat laksana gunung segera menutuk iga Nilan Siu-kiat dan segera pula menarik orangnya dan dikempitnya sekalian. “Jika kauingin hidup, lekas biarkan aku keluar dari sini!”, bentak Hun-cong. Melihat panglimanya tertangkap musuh, dengan sendirinya, pasukan Boan tidak berani mendesak maju lebih dekat lagi. 26 Dengan satu suitan panjang segera Hun-cong lari keluar dan kepungan, ia mengincar dengan tepat seekor kuda bagus, segera ia mencemplak ke atas kuda itu berbareng tangan menyikut sehingga membuat opsir diatas kuda itu jatuh terjungkal, tangan kanan Nyo-hun-cong masih tetap mengempit Nilan Siu-kiat dan kudanya segera dilarikan dengan cepat. Serdadu Boan tidak berani memanah, kuatir melukai penglima mereka sendiri, mereka hanya menguntit saja dari belakang. Nyo-hun-cong melarikan kudanya secepat terbang, sebentar saja serdadu Boan sudah tertinggal jauh, hanya terdapat seorang penunggang kuda saja yang masih menguntit dengan kencang. “Kau sudah berhasil lolos dengan selamat, mengapa kau masih terus mengempit dan membawa lagi ayahku!” begitu terdengar suara nyaring perempuan berteriak dari belakang. Nyo-hun-cong segera berpaling ke belakang, ternyata yang masih menguntit itu adalah Nilan Ming-hui yang telah menolong jiwanya beberapa hari yang lalu. Hun-cong tercengang, dilihatnya Nilan Ming-hui menbedsal kudanya seceat kuda terbang mendatangi, suaranya rada gemetaran, Hun-cong menjadi tertegun, seketika ia menjadi bingung. Pemuda yang gagah berani kian kemari menerobos di tengah ribuan tentara, ternyata tidka berdaya dan terpengaruh di bawah sinar mata seorang gadis yang seperti minta di kasihani, perasaannya terguncang bagaikan debur ombak samudera, ia ingat bagaimana bangsa Kazak yang tidak berdosa di tindas secara kejam, justru orang yang ia kempit sekarang ini adalah musuh besar bangsa Kazak, teringat pula olehnya beberapa malam berada dalam perkemahan yang hangat itu, yang menolong jiwanya justru adalah gadis asing ini, yang ternyata adalah anak gadis musuh besarnya. Mendadak ia menahan kudanya, ia berpaling sambil melepaskan Nilan Siu-kiat dari tutukannya tadi dan membantingnya ke tanah pasir. 27 “Siocia, Ayahmu ada disini, ia tidak terluka, kini boleh legalah hatimu,” katanya sambil memapak kedatangan Nilam Ming-hui. Nilan Siu-kiat menjadi heran melihat anak gadisnya melenggong terkesima dengan nafas tersengal-sengal, ia tidak mengerti apakah artinya semua ini. “Terima kasih, “ kata Nilan Ming-hui kemudian setelah ayahnya naek keatas kudanya. “Tidak perlu berterima kasih padaku, “ kata Nyo-hun-cong dengan dingin, “Kau telah menolong jiwaku, kini aku mengembalikan ayahmu, jadi kita sama-sama tidak berhutang budi.” Setelah berkata begitu, kakinya mengempit kencang kudanya, segera kuda dilarikan lagi menuju padang rumput yang luas dan tanpa berpaling lagi. Kata-kata Nyo-hun-cong tadi begitu ketus, akan tetapi dalam hati penuh kemasgulan, ia sayang akan jiwanya yang berharga, juga merasakan kekosongan perasaannya, ia adalah seorang Eng Hiong, seorang pendekar atau pahlawan, tetapi ia tidak lebih daripada orang biasa dalam urusan asmara, sama sekali ia tidak berani membayangkan bahwa gadis yang mempesona ini adalah anak gadis musuhnya, namun ini adalah kenyataan, kenyataan yang kejam, hampir ia tak percaya seorang gadis yang begitu halus dan jelita ternyata mempunyai ayah yang tangannya penuh berlumuran darah rakyat tak berdosa. Dalam keadaan pikiran bimbang dan cemas, Nyo-hun-cong melarikan kudanya dengan cepat menuju selatan. Matahari yang tadinya merah membara kini mulai beralih ke barat, pemandangan senja yang kemerah-merahan menyoroti padang rumput yang luas ini, membuat suasana indah beraneka warna. “Siang hari dengan cepat akan lewat dan malam gelap akan segera tiba pula,” kata Hun-cong dalam hati. Dalam waktu itu, ia merasakan badan letih dan perut lapar. Pagi tadi waktu ia merebut kuda seorang opsir Boan untuk melarikan diri, ia lupa untuk sekalian 28 merampas ransumnya. Begitulah ia termenung dan melarikan kudanya dengan rasa cemas. Perut lapar adalah mirip musuh yang tersembunyi, yang tidak menampakan diri, kini sang surya mulai terbenam di ufuk barat, musuh yang tersembunyi itu telah muncul pula, ia merasakan serangan kelaparan yang amat sangat. Dari tiupan angin malam, sayup-sayup terdengar oleh Hun-cong di depan sana seperti ada suara derapan kaki dan kelengenan kuda. “Jika beruntung, bisa bertemu kafilah yang sedang lewat, aku bisa minta air dan rangsum padanya, “ begitu pikirnya. Ia tiarap diatas kua dan mengentak perut kudanya, binatang itu segera mementang kaki dan lari secepat terbang menyusul ke depan sana. Setelah mengejar beberapa lama baru tertampak olehnya dimuka sana sedang berlari dua ekor kuda, penunggangnya mempunyai kecakapan menunggang yang luar biasa, Hun-cong sendiri telah letih dan kudanya pun lelah sekali, walaupun dengan sekuat tenaga ia mengejar lagi, namum masih belum bisa menyusul mereka. 2 Selagi Hun-conh merasa putus asa, mendadak kedua penunggang kuda di depan melambatkan kuda mereka dan berjalan berendeng. Dengan girang Nyo-hun-cong keprak kudanya menyusul pula, ia melihat seorang penunggang diantaranya adalah seorang nona cantik, kepalanya memakai ikat kain merah, jung kain melambai-lambai tertiup angin, sedang seorang penunggang yang lain adalah seorang pemuda. Selagi Hun-cong hendak memanggilnya, sayup-sayup tetapi terputus-putus terbawa angin, didengarnya percakapan kedua muda-mudi itu. “Hui-ang-kin, mengapa kau terus mengeprak kuda mengejar perjalanan ….. berikankan aku hidup lebih lama ….. bukankah kau juga takkan merasakan kebahagiaan ? …… Ah, Hui-ang-kin sungguh kau begitu tega ?” 29 Sayup-sayup dari depan sana lalu terdengar helaan napas yang penuh dengan rasa kehalusan wanita. Jalan kedua kuda di muka kini lebih lambat lagi. “Hui-ang-kin ?” hati Hun-cong tergerak oleh nama ini. “Apakah gadis di depan ini betul adalah pahlawan wanita yang tesohor di pdang rumput ini ?” Hui-ang-kin atau si selendang merah adalah anak gadis seorang pahlawan tua, Danu, kepala suku bangsa Lopuh, nama aslinya adalah Hamaya, ia mahir sekali dalam hal ilmu pedang dan menunggang kuda, ia selalu mengembara di sekitar selatan dan utara Thian-san, seperti juga Nyo-hun-cong, iapun sangat dikagumi dan dihormati suku-suku bangsa di padang rumput, karena ia senantiasa memakai selendang merah, maka orang menjulukinya Hui-ang-kin atau si selendang merah. Nyo-hun-cong sudah lama mendengar namanya, tetapi karena terlalu sibuk di medan pertempuran, maka belum pernah berjumpa dengannya. Sekalipun Nyo-hun-cong sudah merasa kelaparan, namun terpaksa bertahan untuk sementara dan melambatkan lari kudanya untuk mendengarkan apa yang sedang mereka percakapkan. Tak lama kemudian, terlihat di selendang merah mengayun cambuknya yang panjang sambil berkata seperti memerintah, “Kau boleh menyanyikan pula satu lagu!” Pemuda itu menuruti perintahnya, ia lantas meniup seruling, suaranya terdengar mengharukan sekali, seperti mengandung rasa ketakutan dan kekecewaan, habis meniup seruling ia pun mulai bernyanyi : O, Nona! Ingatkah saat gembira ria masa lalu, Katamu cintamu ….. melebihi dalamnya lautan! Betapa engkau begitu tega, Hendak mencelakai kekasih sendiri ? Engkau memuji suara nyanyianku, Bagaikan burung kenari di padang rumput, 30 Kupuji kecantikanmu dan kecerdikanmu, Suara nyanyian yang merdu ini, Kemana hendak kaucari ? Mengapa engkau begitu tega ? Menggiring aku menuju kematian Mendengar lagu nyanyian itu perasaan Nyo-hun-cong seperti tertusuk, teringat pada Nilan Ming-hui, apakah si selendang merah dengan pemuda ini juga sedang mengalami hal yang sama seperti dia dengan Nilan Ming-hui? Sama-sama jatuh cinta tetapi keduanya juga musuh? Akan tetapi rasanya seperti tidak sama. Tengah Nyo Hun-cong termenung dengan berbagai pertanyaan yang timbul di dalam pikirannya, terlihat pemuda yang berada di depan itu menggunakan saat si Selendang Merah sedang tenggelam dalam lamunan seperti mabuk oleh suara nyanyian yang merdu merayu tadi, mendadak tali kendali kudanya di tarik dan segera dilarikan untuk kabur. Si Selendang Merah menjadi gusar, cambuk kulitnya segera di ayunkan. “Abu, kau cari mampus!”, bentaknya. Baru saja kuda pemuda itu mulai berlari, tiba-tiba sabetan cambuk si Selendang Merah sudah menyambar dan melilit badannya dan terus di tarik kembali. “Haya!” tanpa sengaja Hun-cong mengeluarkan suara kaget karena kejadian itu. “Siapa kau?” si Selendang Merah berpaling dan membentak Nyo Hun-cong. “Aku adalah saudagar yang kebetulan lewat di sini,” jawab Hun-cong. “Kalau begitu, “ kata si Selendang Merah lagi, “Kau boleh jalan terus dan tidak perlu ikut campur urusan orang lain.” Hun-cong melarikan kudanya sambil memberi hormat dengan merangkapkan tangannya, ucapnya, “Lienghiong (Pendekar Wanita), maafkan atas 31 kecerobohanku, akan tetapi terus terang, sebenarnya aku kehabisan rangsum dan air. Jika sekiranya Lienghiong ada kelebihan bekal, bisakah tolong memberi sedikit bantuan ?” “Hmm, rupanya kau adalah bangsa Han yang baik, tidak pakai pura-pura dan suka terus terang,” kata si Selendang Merah dengan tersenyum setelah memandang Nyo Hun-cong sekejap, lalu ia keluarkan sebungkus rangsum kering dan melemparkan sebuah kantong ait kepada Hun-cong. “Bungkusan rangsum itu boleh ku berikan padamu, tetapi air jangan kau habiskan,” katanya pula pada Nyo Hun-cong. “Terima kasih, nona!” sahut Hun-cong, setelah minum dua teguk air dan makan sedikit rangsum, ia melemparkan kantongan air itu kepada si Selendang Merah sambil mengucapkan terima kasih. “Baiklah kini kau boleh lekas pergi,” kata si Selendang Merah, “Aku tidak ingin sejalan denganmu.” Hun-cong mengiyakan perlahan dan kemudian memutar kudanya ke arah depan. Sebentar ia melihat si Selendang Merah beserta si pemuda tadi melarikan kuda mereka dengan cepat, sekejap saja mereka sudah mendahului pula di depan Nyo Hun-cong. Terlihat tiada henti-hentinya si Selendang Merah membentak-bentak pemuda tadi dan mencambuki kudanya supaya berlari lebih cepat lagi. Heran sekali Nyo Hun-cong melihat tingkah laku kedua orang itu, ia tidak mengerti bagaimana sebenarnya hubungan antara mereka berdua itu. Hung-ang-kin mempunyai nama baik di daerah Sinkiang selatan dan berpengaruh besar, tidak peduli apa yang terjadi sebenarnya, aku harus menyelidikinya sampai jelas, Jika bisa berkerja sama dengan dia dalam gerakan melawan tentara Boan sungguh merupakan tambahan tenaga yang kuat sekali, demikian pikir Hun-cong dalam hati. 32 Nyo Hun-cong pun mahir dalam menunggang kuda, diam-diam ia menguntit di belakang Hui-ang-kin dan selalu mempertahankan jarak di antara mereka asal cukup terlihat dari jauh saja. Tidak lama setelah berjalan lagi, cuaca mulai gelap, Hui-ang-kin seperti paham betul jalan itu, ia menghalau kudanya menuju sebuah rumah panggung kuno yang berada di depan, kuda di ikat di pinggir jalan, kemudian dengan menyeret tangan pemuda itu mereka masuk ke dalam tumah panggung kuno itu. Nyo Hun-cong coba mengelilingi dan memeriksa sekitarnya, ternyata tempat ini sudah berada di luar batas gurun pasir, mereka sudah berada di padang rumput. Di padang rumput hendak mencari sumber air tidaklah sulit, setelah Hun-cong mendapatkan air, ia biarkan kudanya minum sekenyangnya, ia sendiripun minum sedikit dan makan sisa rangsum yang masih ada. Setelah beristirahat sejenak, ia menambat kudanya di tepi sumber air itu, dengan menggunakan ilmu mengentengkan tubuhnya yang tinggi ia pergi menyelidiki bangunan kuno yang dipakai mengaso Hui-ang-kin tadi. Waktu itu sang dewi malam telah menggantung di tengah langir. Di bawah sinar bulan, Hun-cong melihat di depan bangunan kuno itu terukir tidaga huruf, “Hong-hwe-tai” atau panggung api unggun. Hun-cong cukup paham sejarah kuno, ia tahu rumah panggung begitu didirikan oleh tentara di jaman dulu, dibuat dari tanah liat dan kayu, bentuknya mirip piramid. Jalan di padang rumput dan gurun pasir menyesatkan, maka tentara jaman dulu membuat panggung semacam ini untuk mengetahui jarak antara satu pos dan pos lainnya dan juga untuk pedoman jalan serta untuk tempat istirahat. Jika terjadi sesuatu, penjaga di atas panggung segera membakar api obor, karena itulah juga dapat dibuat sebagai tanda untuk meminta bala bantuan. Rumah panggung kuno semacam itu yang ada si Sinkiang kebanyakan dibuat pada dinasti Tong, didaerah utara hanya sedikit, tetapi di selatan agak 33 banyak, ditambah lagi sudah berumur sekian abad, kebanyakan panggung itu rusak dan ambruk, kalau bukan orang yang cukup paham dalam perjalanan, susah mendapatkannya dan apalagi menggunakannya untuk beristirahat. Segera Hun-cong melayang ke atas dan hinggap di atap panggung kuno itu. Rumah panggung atau kubu ini terdiri dari dua tingkat, tingkat atas terbuka sehingga dapat dibuat memandang sekeliling, tingkat bawah dipergunakan untuk tempat istirahat. Setelah berada di atas, Hun-cong mendekam, pedangnya menusuk perlahan hingga terbentuk sebuah lubang kecil, ia mengintip ke bawah, dilihatnya Huiang- kin bersama pemuda itu telah membuat api unggun dengan rumput kering, dan sedang berbicara dengan asyik sekali. Di lain pihak tiba-tiba Hui-ang-kin melihat debu jatuh dari atas, ia memandang sekejap ke atas, tetapi tidak menemukan apa-apa. “Kubu ini sudah terlalu tua, tertiup angin sedikit saja sudah seperti mau ambruk,” katanya. Tetapi hatinya masih belum mantap, mendadak tangannya seperti di ayunkan, cepat Hun-cong berkelit sambil menyampuk dengan telapak tangannya, ternyata beberapa jarum perak telah jatuh di lantai. “Sungguh lihai sekali Hui-ang-kin,” pikir Nyo Hun-cong, “Rupanya iapun curiga ada orang mengintipdi atas, maka menimpuknya dengan jarum, kalau aku tidak sempat berkelit, tentu mataku sudah dibuatnya buta?” Akan tetapi ia lantas mendekam dan mengintip lagi. Melihat tiada sesuatu kejadian di atas, Hui-ang-kin tidak curiga lebih lanjut. “Abu, masih adakah yang hendak kau katakan ?” begitulah Hun-cong mendengar Hui-ang-kin bertanya. “Hui-ang-kin, mengapa kau hanya percaya omongan orang dan tidak percaya pada keteranganku ?” kata orang yang di panggil Abu itu. “Engkaulah orang 34 yang kucinta, bagaimana aku bisa mencelakai ayahmu? Dipadang rumput Daunloenghiong telah kepergok pasukan Boan, ia terkepung, pertempuran seru berlangsung hingga tiga hari tiga malam, aku selalu mendampingi beliau, belakangan tentara Boan dapat menerobos pertahanan kita dan menyerbu ke perkemahan. Danu-loenghiong dan membunuhnya, hatiku sendiri sangat sedih, bagaimana kau bisa malah menyalahkan aku?” “Bohong!” bentak Hui-ang-kin, “Ayahku begitu perkasa, mungkinkah kalian yang tinggal bersama dalam satu kemah, kau bisa melarikan diri, tetapi ayahku tidak? Lagipula menurut laporan Pak Kiai, ia mempunyai bukti-bukti cukup yang menunjukan kaulah yang membawa tentara Boan menyerang di tengah malam dan membunuh ayah. Jika benar kau tidak berdosa, kenapa jauh-jauh, kau kabur dan tidak berani kembali ke tengah-tengah suku kita?” Mendadak Abu menangis tergerung-gerung. “Hui-ang-kin, kenapa sedikitpun tidak percaya padaku, kau orang yang bijaksana, coba kaupikir, ayahmu adalah kepala suku bangsa kita, tentara Boan menyerbu pada waktu malam, tentu tujuannya hendak menangkap ayahmu terlebih dahulu, “ katanya dengan suara memelas. “Aku tidak mati bersamanya itulah salahku, kau hendak marah, hendak memaksakan diriku orang yang tak berguna dan pengecut, sedikitpun aku tidak akan melawan, tetapi kalau kau bilang aku yang mencelakai ayahmu, sungguh aku sangat penasaran! Kau tahu para Kiai kita itu semua tidak suka pada diriku, mereka hendak memfitnahku, maka aku tak berani pulang, tetapi waktu kau datang menangkapku, bukankah aku sendiri telah menemuimu? O, Hui-ang-kin, janganlah kau menggiring aku mengantar kematian!” Rupanya hati Hui-ang-kin tergerak, suaranya pun berubah halus. “Abu, “ katanya kemudian dengan suara lirih, “Menurut Pak Kiai, mereka mempunyai bukti-bukti cukup, kita kembali saja kesana, jika mereka hanya salah paham, aku yang akan meminta mereka mengamnpunimu. “Bukti-bukti apa yang dipunyai Pak Kiai yang menyatakan aku telah mencelakai kepala suku kita ?” tanya Abu kepada Hui-ang-kin. “Waktu kau terkepung, “ tutur Hui-ang-kin, “ Aku tengah menuju Timal untuk mencari hubungan, sebelum aku kembali di tempat kita, aku sudah menerima 35 berita Pak Kiai yang minta aku menangkapmu.” “Kalau begitu, kau pun belum melihat apa yang dinamakan bukti-bukti itu,” kata Abu pula. “Ai, Hui-ang-kin, lepaskanlah diriku! Atau kalau tidak, biarlah kau dan aku bersama-sama mengembara menuju padang rumput yang luas, setiap malam aku akan bernyanyi untukmu.” “Kiai kita adalah orang yang bijaksana dan jujur. Bagaimanapun kau harus kembali kesana untuk dihadapkan pada mereka!” jawab Hui-ang-kin. Sekalipun begitu perkataannya, namun suaranya sudah berubah lebih halus dan ramah lagi. Kemudian Abu mengeluarkan serulingnya lagi, lalu meniupnya. “Hui-ang-kin masih cintakah kau padaku ?” tanyanya perlahan setelah habis meniup satu lagu. Dalam malan itu, Nyo Hun-cong mendengarkan dengan terkesima, tiba-tiba ia mendengar dari luar kubu sana seperti ada suara langkah kaki orang. Mata telinga Nyo Hun-cong begitu tajam, ia tidak perlu mendengarkan lagi, ia berdiri dan memandang keluar sana, terlihat olehnya ada empat sosok bayangan orang telah mendekati kubu kuno ini. Sementara itu, di bawah agaknya Hui-ang-kin sepertinya sudah mengetahuinya. “Abu, kau tidak boleh sembarangan bergerak, aku akan melihat siapa yang berani merunduk kemari!” bentaknya sambil tertawa dingin. Ke empat orang pendatang itu sedang mendekati rumah panggung itu, mendadak terlihat pintu kubu dibuka lebarm di tengah malam yang sunyi sepotong selendang sutera berkibar tertiup angin hingga tampak sangat menarik. Tangan kiri Hui-ang-kin memegang cambuk kuda yang panjang, tangan kanan memegang sebatang pedang terhunus, tanpa mengeluarkan sepatah kata ia 36 berdiri tegak di ambang pintu, persis seperti patung dewi kuno yang angker. Sementara Nyo Hun-cong tetap mendekam diatas atap dan mengintip ke bawah. “Biarlah kulihat dulu seberapa tinggi kungfu Hui-ang-kin,” begitu pikirnya. Dalam pada itu ketika mendadak melihat Hui-ang-kin menampakan diri dengan menghunus pedang, ke empat orang tadi menjadi gugup dan seketika tidak berani turun tangan. Hui-ang-kin tertawa dingin, tangan kirinya bergerak, “tar!”, begitu cambuk berbunyi tertampak satu diantara keempat orang itu telah terbelit oleh cambuk. Hui-ang-kin mengayunkan cambuknya dan orang itu kontan terlempar beberapa depa dengan kepala mengalirkan darah. “Pengkhianat! Biarlah kuberekan kau lebih dulu!” demikian ia mendamprat. “Ternyata orang itu adalah bangsa Lopuh, ketiga orang yang lain adalah jago pengawal pasukan Boan, begitu melihat mereka Hui-ang-kin lantas tahu bahwa orang itulah yang membawa jago pengawal Boan untuk menangkap dirinya. Gerakan Hui-ang-kin tadi begitu cepat laksana sinar kilat, ketiga orang itu terkejut, lekas mereka mengeluarkan senjata masing-masing dan maju mengepung. Diantara tertawa dingin, Hui-ang-kin dengan tangan kiri memegang cambuk dan tangan kanan menghunus pedang, ia berputar, seorang diri menghadapi tiga jago pengawal, ia sama sekali tidak menunjukan rasa gentar. Ketiga jago pengawal ini ternyata tidak cetek ilmu silatnya, yang satu menggunakan golok, satu lagi bertongkat, sedang yang lain menggunakan senjata aneh. ‘Houw-thau-kauw’ atau senjata berbentuk ganco, mereka merangsek berbareng dan mundur teratur, serang mereka juga cukup rapi dan lihai. Namun Hui-ang-kin terlebih lihai daripada mereka, yang dekat ditusuk dengan pedang sedang yang jauh disabet dengan cambuk, tiap-tiap gerakannya 37 merupakan serangan berbahaya. Nyo Hun-cong kagum sekali dan heran pula, sungguh Hui-ang-kin tidak mengecewakan dan sesuai dengan namanya yang tersohor, boleh dikata dialah satu-satunya wanita gagah di padang luas ini. Sesaat kemudian, serangan Hui-ang-kin makin menghebat, sinar pedangnya gemerlapan membungkus dirinya yang maju menyerang, cambuknya lebih-lebih lagi seperti ular naga menari di angkasa, ketiga lawan dibuat bingung olehnya dan terpaksa berputar-putar di sekelilingnya, sekalipun sudah mengeluarkan segenap kepandaian mereka tetap tidak bisa mendesak maju dalam jarak beberapa meter. Selagi Hui-ang-kin sudah berada di atas angin, mendadak selendang merahnya bergerak, “Hendak kabur kemana kau?” bentaknya tiba-tiba. Ternyata Abu secara diam-diam seperti pencuri hendak menggeluyur pergi. Dengan sekali putar dan menggeser kaki, cambuknya yang panjang segera ditarik dan berbalik menyabet ke belakang. “Aduuh!”, begitu terdengar suara jeritan, ternyata Abu telah kena di sabet oleh pucuk cambuk dan jatuh tersungkur diatas tanah. Masih mendingan baginya, Hui-ang-kin hanya menggunakan seperempat tenaga dan hanya sedikit menyabetnya, kalau tidak, mana bisa dia hidup lebih lama lagi. “Lekas kembali ke dalam, kalau tidaj segera aku akan menyabet kau lagi!” bentak Hui-ang-kin. “Hui-ang-kin mengapa kau begitu kejam ! Aku keluar justru ingin membantumu, kenapa maksudku yang baik kau anggap jelek”, kata Abu sambil merintih kesakitan. Hui-ang-kin tidak memperdulikan ucapannya, pedangnya bergerak sambil 38 membalikkan badan untuk menandingi serangan senjata musuh pula. Tatkala memutar madan meladeni Abu, ketiga jago pengawal tadi mengira ada kesempatan baik, yang menggunakan senjada ganco segera menerjang dari samping, dengan jurus ‘Jing-liong-jut-hai’ atau naga hijau keluar dari lautan, membacok dada Hui-ang-kin. Hui-ang-kin menangkis dengan pedangnya, maka terdengarlah suara, “Krak”, gigi ganco musuh tertabas putus. Lawan yang memakai tongkat dan golok saat itupun berbareng menyerang dari arah tengah, pedang Hui-ang-kin yang digunakan untuk menangkis ganco masih ada sisa cukup kekuatan untuk membuat golok dan tongkat terpental tertangkis olehnya. Jago pengawal yang memakai ganco masih ngotot dan belum mau mundur, senjatanya bergerak lagi, ia mengarah pinggang Hui-ang-kin. Hui-ang-kin menjadi gusar, cambuk di tangan kiri menyabet lurus ke depan sambil membentak, “Lepas!” maka ganco musuh kontan terbang ke udara. Mendadak Hui-ang-kin menubruk maju dan pedang ditusukkan , tanpa ampun lagi jago pengawal itu tertusuk tembus dan mati seketika. Kepandaian orang yang memakai ganco ini diantara ketiga jago pengawal itu termasuk yang paling tinggi, tetapi baru berdekatan dan dalam dua gebrakan saja sudah mampus, tentu saja kedua orang yang lain menjadi keder, mana berani mereka mendasak lagi, segera mereka berpencar berjajar, tongkat menghantam dan golok membacok dari samping, menyerang sambil mundur dan berulang-ulang bersuit sedang memanggil bala bantuan. Nyo Hun-cong yang menonton di atas rumah kubu bisa melihat dengan jelas, ia melihat dari kejauhan dua bayangan orang dengan kecepatan bagaikan terbang sedang mendatangi tempat itu, setelah diperhatikan ternyata mereka menggunakan ilmu mengentengkan tubuh tingkat tinggi, ‘Pat-poh-kansian’ (delapan langkah memburu burung), ia merasa heran dan juga curiga, di tengah padang luas ini dan ditengah malam begini ternyata ada orang pandai yang mengunjungi tempat ini, apakah mereka itu pembantu jago pengawal 39 tadi? Begitu pikirnya dalam hati. Tapi dalam pengetahuannya, jago silat dari Kwan-gwa (di luar tembok besar) yang mahir ilmu pedang dan menunggang kuda cukup banyak, namun dalam hal meringankan tubuh bagaimanapun juga tidak dapat mencapai tingkat setinggi itu., yang memiliki kepandaian semacam ini terang adalah ahli dari golongan bangsa Han, tetapi cara bagaimana orang yang mempunyai kepandaian setinggi ini mau mengekor pada pihak Boan?” Agaknya Hui-ang-kin juga dapat melihat datangnya dua bayangan tadi, gerakannya segera dipergencar, cambuk panjangnya diayunkan dengan cepat dan kedua musuh segera terbelit, di bawah sinar pedang dan bayangan cambuk terdengar suara nyaring. Hui-ang-kin mendadak meloncat, dengan gerakan ‘Oh-liong-koh-hai’ atau naga hitam mengaduk laut, pedangnya menusuk orang yang menggunakan golok tadi, melihat jelas saja belum dadanya sudah terkena tusukan pedang dan roboh tersungkur. Melihat gelagat jelek, jado pengawal yang memakai tongkat segera mengayunkan tongkatnya secara tak teratur dan berniat hendak kabur, tetapi sudah tidak keburu lagi, cambuk panjang Hui-ang-kin sudah disabetkan, tongkat orang itupun segera terlepas dari tangan, dat sabetan cambuk itu masih cukup membuat batok kepala jago pengawal itu terpukul pecah, dengan suara jeritan yang mengerikan, otaknya berhamburan di atas tanah. Sementara itu, kedua bayangan orang tadi kini sudah datang mendekat. Nyo Hun-cong sangat terkejut, karena orang yang di sebelah depan ternyata bukan lain daripada Sutenya, Coh Ciau-lam. “Coh Ciau-lam ternyata juga dapat menyelamatkan diri waktu terjadi angin topan di padang pasir, dan kini ia datang kemari dengan tujuan apa ?” demikian pikir Nyo Hun-cong dalam hati. “Aku ingin tahu ada hubungan apakah antara dia dengan Hui-ang-kin?” Sementara itu Hui-ang-kin sudah bisa membinasakan tiga jago pengawal dan seorang pengkhianat, rasanya sangat lega dan senang, tetapi ketika melihat Coh Ciau-lam datang dengan tiba-tiba, air mukanya segera berubah juga. “Coh Ciau-lam, kiranya kau!” ia berkata sambil menuding dengan cambuknya. 40 “Betul nona Hui-ang-kin,” jawab Coh Ciau-lam, “kita tidak berjumpa hampir tiga tahun lamanya, syukurlah kau masih ingat diriku.” Hui-ang-kin tertawa menghina. “Kudengar kau sudah takluk pada bangsa Boan, kabarnya kau banyak memperoleh kesenangan ikut dalam pasukan Boan,” ejeknya. Muka Coh Ciau-lam berubah merah dan merasa malu. “Hui-ang-kin, kau selalu tidak memahami pikiranku, bukankah semua itu kulakukan demi dirimu?” sahutnya dengan tertawa-tawa. Tiba – tiba Hui-ang-kin mengirim satu sabetan dengan cambuknya. “Ngaco belo,” ia mendamprat, “Kalau kau sudah menyerah pada bangsa Boan, berarti kau juga adalah musushku!” Coh Ciau-lam melompat menghindari sambaran cambuk Hui-ang-kin. “Biduan kekasihmu itu kalau dibandingkan denganku jelas masih kalah jauh, ia ingin takluk ke sana pun orang hanya menganggap sebagai peran kecil,” sindirnya. Alis mata Hui-ang-kin seakan menegak gusar mendengar ejekan orang. “Orang hina yang menjadi pengkhianat, tidak perlu banyak bacot,” bentaknya, berbareng, “ser-ser-ser”, cambuk panjangnya diayunkan pula dan pedangnya membabat. Mendengat kata – kata Hui-ang-kin tadi, Nyo Hun Cong merasa sangat heran, pikirnya, “Ternyata Coh Ciau-lam dan Hui-ang-kin adalah kenalan lama, dari ucapannya tadi agaknya seperti telah terjadi apa-apa diantara mereka. Barangkali Coh Ciau-lam menaruh hati pada Hui-ang-kin, tetapi Hui-ang-kin sebaliknya mencintai si biduan itu. Sesaat itu Hun-cong seperti merasa sayang akan harga diri Hui-ang-kin, 41 seorang pahlawan wanita besar di gurun luas ini, orang yang mencintainya dan orang yang dia cintai ternyata adalah manusia-manusia yang rendah dan kotor semuanya. Sementara Coh Ciau-lam beruntun telah berkelit beberapa kali, sebaliknya Hui-ang-kin menyerang dengan semakin cepat. Coh Ciau-lam hilang kesabarannya, pedang “Yu-liong-kiam” segera dikeluarkan. “Hui-ang-kin, kausendiri yang memaksa aku harus turun tangan!” teriaknya. Hui-ang-kin tidak peduli, “tar”, cambuknya menyabet pula. Coh Ciau-lam sedikit menggeser badannya dan pedang ditangkiskan ke atas, begitu kedua senjata berbenturan segera pucuk cambuk terputus sebagian. “Sekalipun kau mempunyai pedang pusaka, tidak nanti kutakut padamu,” teriak Hui-ang-kin dengan gusar. Dengan memainkan cambuk ditangan kanan dan pedang ditangan kiri, Hui-angkin menyerang dengan jurus yang lihai dan cepat, ia ternyata dapat menandingi Coh Ciau-lam dengan sama kuat. Tiba-tiba Coh Ciau-lam bersuit panjang, serangan pedangnya berubah secepat kilat, ia merangsek maju diantara sinar pedang dan bayangan cambuk lawan. Hui-ang-kin pun membentak dengan suara nyaring, cambuk menyabet dan pedang berputar, dua macam senjata ternyata bisa bekerja sama dengan rapat sekali. Sekalipun Coh Ciau-lam mempunyai ilmu pedang dari Thian-san-pay yang hebat sekali, tetapi Hui-ang-kin ternyata juga sangat lihai, setelah bertempur dengan seru beberapa puluh jurus masih belum juga diketahui siapa yang unggul atau asor. Nyo Hun-cong yang menyaksikan semua itu dari atas menjadi sangat kagum. Tadi ia melihat Hui-ang-kin mengalahkan ketiga jago pengawal dari pasukan 42 Boan, walaupun ia mengagumi ilmu silatnya, namun masih belum merasakan ada jurus serangan yang istimewa, kini melihat cara Hui-ang-kin menandingi ilmu pedang Coh Ciau-lam yang hebat itu masih dapat bergerak sesukanya, barulah ia tahu sesungguhnya Hui-ang-kin mempunyai kepandaian ilmu silat yang lain dari pada yang lain. Tangan kiri dan kanan Hui-ang-kin bisa memakai dua jenis senjata yang berlainan, hanya ini saja di kalangan jado silat kelas tinggi sudah sukar dicari tandingannya. Tetapi Coh Ciau-lam tampak lebih ulet, bertempur lebih lama lagi mungkin Hui-ang-kin tak akan tahan. Hui-ang-kin menempur Coh Ciau-lam dengan sepenuh tenaga dan segenap perhatiannya, ia tidak sempat melihat ke arah lain. Orang yang tadi datang bersama Coh Ciau-lam ternyata sudah masuk ke dalam kubu kuno itu dan membawa keluar Abu. Abu tadi mendapat sabetan cambuk Hui-ang-kin, ia hanya menderita luka lecet kulit dagingnya dan tidak parah, setelah keluar dari kubu kuno itu segera hendak kabur bersama orang itu. Hui-ang-kin menjadi gusar, ia hendak mengejar, tetapi segera terkurung oleh sinar pedang Coh Ciau-lam dan tak dapat melepaskan diri, bahkan karena kelengahan ini malah memberi kesempatan pada Coh Ciau-lam untuk menyerang terlebih kencang dan bertubi-tubi. Hui-ang-kin terpaksa mengumpulkan seluruh perhatiannya untuk menjaga diri, karena itulah kedua orang tadi sempat lolos lewat di sampingnya. Pada saat itulah sesosok bayangan hitam tiba-tiba menubruk dari atas kubu kuno seperti seekor burung raksasa melayang turun. Abu yang sedang berlari pergi, sekonyong-konyong merasakan pundaknya seperti dicengkeram oleh kaitan besi dan sakitnya sampai pesaruk ke tulang, baru sempat ia berteriak minta tolong, tiba-tiba di bawah iganya sudah tertutuk oleh jari tangan orangm segera ia merasa seluruh badan lemas lunglai dan tergeletak tanpa bisa berkutik lagi. 43 Orang yang menerjang turun kebawah ini adalah Nyo Hun-cong, setelah ia membereskan Abu, kedua telapak tangannya terpentang dan segera memapak kawan Coh Ciau-lam, orang ini bernama Lo Tai-hong, dulu adalah begal tunggal di daerah Kwan-lwe, setelah Turkun, itu panglima Boan memasuki daerah Tiongkok dengan pasukannya dan mengumpulkan jagoan silat dari golongan Boan dan Han, Lo Tai-hong termasuk salah satu diantara mereka. Waktu Nilan Siu-kiat menggerakkan pasukan ke Sinkiang, ia diminta untuk ikut di bawahnya dan kini ia adalah pembantu Coh Ciau-lam. Lo Tai-hong sedang membawa lari Abu ketika tiba-tiba mendengar suara panggilan di belakang, baru saja ia berpaling, tahu-tahu terlihat sang kawan sudah terkapar di tanah. Ia kaget dan gusar, toya ‘Tin-coa-pang’ segera dimainkan denan satu putaran yang membawa angin santar, langsung toyanya menyapu ke pinggang Nyo Huncong. Nyo Hun-cong hanya sedikit membungkuk badan, toya musuh menyambar lewat di atas kepala, berbareng itu dengan cepat sekali selagi toya musuh belum keburu ditarik Nyo Hun-cong sudah lantas menubruk k edepan lawan. Lo Tai-hong masih sempat memukul dengan ujung toyanya, akan tetapi sambil menggentak keras tangan Nyo Hun-cong sudah mengcengkeram, dengan ‘Kimna- jiu’ atau ilmu menangkap dan mencengkeram, tahu-tahu pergelangan tangan musuh sudah terpegang, jari Nyo Hun-cong memencet dengan keras dan segera terdengar jeritan ngeri Lo Tai-hong, seluruh badan tidka bertenaga lagi, ia telah kena diangkat oleh Nyo Hun-cong dan lantas dilemparkan sekenanya tanpa memperdulikan mati hidupnya, terus di tanggal pergi menolong Hui-ang-kin. Waktu itu sedang dalam keadaan genting, ia mendengar suara panggilan dan teriakan, tetapi tidak sempat memandang ke sana lagi. Dalam pada itu mendadak Coh Ciau-lam menarik serangannya dan melompat mundur, selagi Hui-ang-kin merasa heran, tiba-tiba terdengar suara bentakan, “Berhenti!” Baru saja Hui-ang-kin menoleh, terlihat olehnya seorang secepat burung terbang sudah menghadang di depan Coh Ciau-lam. 44 Coh Ciau-lam melihat suhengnya hanay bertangan kosong, walaupun hatinya rada takut, ia masih yakin dengan menggunakan pedang pusakanya tentunya dapat meloloskan diri. Maka dengan segera ‘Yu-liong-kiam’ ia tusukkan dengan beringas. “Kau berani bertarung denganku ?” bentak Nyo Hun-cong dengan gusar. Kedua tangannya segera bergerak, di bawah sinar pedang musuh telapak tangannya membelah ke depan, hanya sekejap saja mereka sudah bergebrak dua-tiga puluh jurus. Hui-ang-kin menjadi heran dan kagum melihat pertarungan mereka, ia tidak mengerti orang ini dengan tangan kosong berani menggempur Coh Ciau-lam yang memakai pedang pusaka. Ia ingin maju membantu, akan tetapi mereka bertarung dengan seru sekali, kecepatan mereka luar biasa, hendak membantu pun sulit. Kepandaian Coh Ciau-lam sebagian besar dipelajari dari Nyo Hun-cong yang mewakili sang guru, maka sekalipun dengan mata tertutup bisa mengetahui setiap perubahan jurus pedangnya, sebaliknya Coh Ciau-lam harus mengandalkan pedang pusaka barulah bisa bergebrak sampau empat-lima puluh jurus. Akan tetapi, setelah lebih lama lagi segera ia merasa tak tahan, selagi ia berniat mencari jalan untuk kabur, mendadak tangan Nyo Hun-cong menyambar dan tahu-tahu pedang Coh Ciau-lam sudah dapat dirampas olehnya, berbareng itu dua jari lain menutuk dan tepat mengenai ‘Ih-gi-hiat’ di pinggang Coh Ciau-lam. “Nona, orang ini kuserahkan kepadamu!” ia menoleh dan berkata kepada Huiang- kin dengan tertawa. Sinar mata Hui-ang-kin memandang dengan tajam, ternyata Nyo Hun-cong adalah orang yang tadi siang meminta air minum padanya di tengah gurun itu. Ia mengacungkan jempolnya dan memuji, “Bagus!” Kemudian ia minta Nyo Huncong menuntun Coh Ciau-lam dan ia sendiri menyeret Abu, lalu bersama-sama 45 masuk ke dalam kubu kuno tadi. Setelah berada didalam kubu, Hui-ang-kin memandang Coh Ciau-lam dengan mata mendelik. “Ternyata memang betul kau sudah takluk pada musuh, kini apa yang akan kau katakan lagi ?” bentaknya kemudian. Coh Ciau-lam terdiam dan tidak bisa menjawab, hanya matanya terus mengincar Hui-ang-kin dengan sorot yang suram. “Biar kubereskan dulu biji matamu!” teriak Hui-ang-kin sambil menjulurkan dua jarinya, segera hendak mencolok kedua mata Coh Ciau-lam. Akan tetapi mendadak ia merasakan bahunya kaku pegal, kiranya telah menyanggah tangannya dengan perlahan. “Apa artinya ini ?” tanya Hui-ang-kin dengan heran. “Ia adalah suteku” jawab Nyo Hun-cong dengan tersenyum. Hui-ang-kin terbelalak heran dan terkejut, “Jadi kau ini …. “ “Aku bernama Nyo Hun-cong,” ia memperkenalkan diri. “Aku telah membantu bangsa Kazak di medan tempur, tetapi sangat memalukan , kami kalah dan kini hendak menuju ke selatan untuk mengumpulkan orang –orang Kazak di sana dan hendak menggempur pula tentara Boan untuk menentukan siapa yang lebih unggul.” “Ah, kiranya Nyo-taihiap,” seru Hui-ang-kin sambil meloncat senang, “ Ayahku waktu masih hidup suka memujimu, sayang beliau tidak ada kesempatan bertemu denganmu.” Nyo Hun-cong tersenyum dan akan bicaram tiba-tiba Hui-ang-kin mendahului berkata, “Aku juga telah lama mengagumi namamu.” “Apa kau bermaksud melepaskan dia ?” tanyanya pula sambil menuding Coh Ciau-lam. Gudang Ebook (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net Mendengar itu Nyo Hun-cong bergelak tertawa. “Nona, apakah kau pun hendak melepaskan dia ?” balasnya dan juga menuding Abu. “Tentu tidak!” jawab Hui-ang-kin dengan marah. “Kalau begitu apa gunakan kau tanya padaku?” kata Nyo Hun-cong. “Kalau kau hendak menggiring dia kembali ke tempat suku bangsamu, akupun hendak menggiring kembali Suteku yang tidak becus ini ke Thian-san. Muka Hui-ang-kin menjadi merah, ia tahu dirinya telah salah omong dan mencurigai Nyo Hun-cong, kini berbalik ditanya orang, seketika oa terdiam dan tidak menjawab. Sementara itu, air muka Nyo Hun-cong sudah berubah kereng, ia memandang Coh Ciau-lam dengan sinar mata yang tajam. “Ciau-lam!” bentaknya kemudian, “Masih ingatkah kau dulu waktu masih belajar di Thian-san betapa Suhu dan aku memperlakukan dirimu ? Kau anak piatu, aku melindungimu seperti adik kandung sendiri, bagaimana Suhu telah berpesan padamu, bukankah beliau selalu berharap supaya kau harus ingat asal-usul dirimu yang berasal dari keluarga miskin, berharap setelah tamat belajar kau bisa berbuat sesuatu pahala bagi rakyat jelata di padang rumput ? Bukankah beliau selalu berpesan supaya kau harus ingat, jangan sekali-kali mengandalkan kepandaian ilmu silatmu untuk membantu dan menjadi budak kaum amtenar dan menindas kaum yang lemah?” Coh Ciau-lam tidak berani bersuara, ia menghindari sinar mata Nyo Hun-cong yang tajam. “Sute,” Hun-cong melanjutkan, “ Inilah terakhir kalinya aku memanggilmu, jika kau tetap tidak mau sadar, maka kau juga adalah musuhku, aku tidak perlu menggiringmu ke Thian-san dan kini boleh juga kuberi hanjaran yang setimpal padamu. Coba jawab, apakah kau sendiri yang rela menjadi pengikut musuh atau karena bujukan orang lain? Takluk pada musuh-musuh dan menindas bangsa sendiri, hmm, perbuatan ini lebih mabuk daripada menjadi budak kaum 47 amtenar.” “Kedua-duanya bukan,” jawab Coh Ciau-lam dengan suara lirih. “Kalau begitu, cara bagaimana kau menyeberang kesana?” tanya Nyo Hun-cong dengan gusar. “Boleh kau tanya dia,” kata Coh Ciau-lam sambil menuding Hui Ang-kin. Keruan Hui-ang-kin menjadi gusar sekali mendengar ucapan itu, ia angkat cambuk dan segera menyabet. “Tanya aku?” ia mendamprat. “Hmm, memangnya aku yang menyuruhmu takluk pada musuh ?” “Nona, kau jangan marah dulu, sukalah kau ceritakan saja cara bagaimana ia berkenalan denganmu!” ucap Nyo Hun-cong. “Tiga tahun yang lalu,” begitulah Hui-ang-kin mulai bercerita, “ Di antara suku bangsaku kedatangan seorang pemuda, dia sendiri mengaku sebagai murid Hui-bing Siansu, tentu saja kami menerimanya dengan baik, dia sering mendekati diriku, akupun menganggap dia sebagai saudara, hmmm, siapa kira kedatangannya ternyata mengandung maksud busuk.” “Kalau dia hanya mengejar cintamu, kiranya hal itu belum termasuk maksud busuk,” demikian pikir Nyo Hun-cong dengan geli. Hui-ang-kin mendengus hina, lalu menyambung lagi, “waktu itu kami sedang bertempur dengan pasukan Boan dan sangat membutuhkan tenaga orang, apalagi pemuda yang mempunyai kepandaian seperti dia tentu saja sangat kami hargai, tetapi siapa kira, tidak lama kemudian lantas kami tahu bahwa dia tidka bersungguh-sungguh hendak membantu kami.” “Waktu berjuang bersama diantara sukumu, serdadu Boan yang kubunuh tidaklah jauh lebih banyak daripada siapapun?” kata Coh Ciau-lam membela diri. “Ya, kalau kau kebetulan termasuk kedalam satu pasukan bersama aku, kau 48 selalu menunjukkan kegagahanmu yang berlebihan, tetapi jika tidak berbareng denganku kau lantas tidak bersemangat, kau membunuh serdadu Boan hanya hendak pamer kepadaku saja.” Kata Hui-ang-kin berolok-olok. Nyo Hun Cong berkerut kening mendengarnya. “Ilmu pedangmu diantara kami memang tidak ada yang mampu menandingi,” Hui-ang-kin melanjutkan. “Tetapi kalau datang saat berbahaya, pedangmu hanya digunakan untuk melindungi dirimu sendiri.” “Nyo taihiap, kau sendiri sudah memimpin bangsa Kazak bertempur sekian lama, tentu kau paham waktu bertempur tidak bisa hanya mengandalkan pada tenaga satu-dua orang, waktu bertemp[r seluruh pasukan adalah suatu kesatuan, harus ada kerjasama yang baik, betul tidak Nyo Taihiap ?” Yang ditanya manggut-manggut kepala, lalu sahutnya , “Benar nona, kau pun ternyata sangat mahir dalam medan pertempuran. “Akan tetapi kau berbeda dengan sutemu ini,, ia hanya tahu akan diri sendiri saja, hanya menunjukkan kegagahan sendiri, sedikit sekali mau menolong orang lain,” tutur Hui-ang-kin pula. “Pada suatu hari, dia dan aku tidak dalam satu pasukan, dia berada bersama saudara lelakiku, mendadak mereka terjebak oleh musuh dan terkepung, keadaannya sangat gawat, tapi dia lantas gugup, seorang diri menerjang dengan pedangnya dan ternyata bisa meloloskan diri, akan tetapi saudaraku tetap terkepung hingga tiga hari tiga malam. Karena ingin menolong yang terluka dan melindungi kawan-kawan lain, saudaraku terluka dan tidak kurang tujuh tempat dan bertempur mati-matian. Akhirnya syukurlah kami datang pada waktunya dan berhasil membobol kepungan musuh dan menolong keluar banyak saudara bangsaku, namun saudaraku sendiri tidak tertolong lagi, lewat dua hari kemudian dia meninggal akibat luka parah yang dideritanya.” Nyo Hun-cong gusar sekali mendengar cerita ini. Ia mendamprat, “Manusia rendah!” “Sejak peristiwa itulah aku lantas merasa muak terhadap dia,” Hui-ang-kin meneruskan. “Akan tetapi ayahku masih dapat memaafkannya, beliau bilang bagaimanapun dia adalah tamu, kalau ada bahaya dia sendiri mendahului lari 49 keluar juga tidak dapat di cela, kalau dia mau terus membantu kita boleh tidak perlu menyalahkannya, umpama dia tidak datang membantu kita, waktu dikepung musuh, kakakmu pun tidak akan luput dari kematian.” Ayahku sangat mencintai saudara –saudara sebangsa kami, kalau dia saja dapat memaafkannya, aku tentu tidak dapat banyak bicara lagi, Cuma sejak saat itu, bila berdekatan dengan dia, aku lantas seperti mencium semacam bau busuk. Ya, aku dapat memaafkan dia tetapi betapapun tidak ingin dekat dengan dia,” Hui-ang-kin mengakhiri ceritanya. “Dengan begitu, tidak lama kemudian dia lantas angkat kaki dari tempat kalian, bukankah begitu ?” tanya Hun-cong. “Betul, memang begitulah!” sahut Hui-ang-kin mengangguk. Nyo Hun-cong gusar dan juga menyesal, ia menoleh, terlihat mata Coh Ciaulam menggembeng air mata, hatinya jadi lemah lagi. Pikirnya, “Coh Ciau-lam ini orang yang sangat cerdik, pula ia anak piatu, oleh karena itulah waktu berada di Thian-san Suhu dan diriku sendiri sangat sayang kepadanya. Mungkin juga karena dimanja itulah yang membuat dia mengumbar tabiatnya dan tinggi hati, setelah turun gunung, ditambah tak ada orang yang menuntunnya, benih jahat dari tabiatnya perlahan lantas timbul dan akhirnya menyimpang ke jalan sesat. Untuk itu, aku sendiripun harus memikul sebagian dari tanggung jawab ini, aku adalah Suhengnya, mengetahui sang Sute turun gunung, namum tak kusuruh orang mencarinya, walaupun tatkala itu sedang repot dalam mengatur pasukan dan tidak sempat berpikir sampai ke situ, namum jelas hal ini harus disesalkan, andaikata dia berada disampingku sendiri, mungkin dia tidak akan tersesat sampai sejauh itu.” Setelah Nyo Hun-cong berpikir sejenak, tiba-tiba ia berkata, “Ciau-lam, menurut penuturannya tadi seharusnya kubunuh dirimu, kuberi satu kesempatan lagi padamu, jika kau bisa sadar dan mengubah kelakuanmu, aku akan melepaskanmu!” “Hanya berkata di mulut saja tidak boleh dipercaya, siapa berani menjamin kalau dia betul-betul akan sadar dan berubah kelakukannya ?” sela Hui-angkin dengan gusar. 50 “Kau boleh berpikir sendiri, sebentar lagi boleh katakan pada kami,” ucap Nyo Hun-cong kepada Coh Ciau-lam. “Letak kesalahanmu ada dimana tentunya kau sudah tahu sendiri, takluk pada tentara Boan itu adalah kesalahan besar, tapi sebelum ini kau sudah banayk berbuat kesalahan lebih dulu. Umpama kau hanya bertempur demi nona ini, sekalipun bertempur dengan gagah berani pun percuma dan terhitung kesalahan pula.” Setelah diam sebentar, ia berkata pula, “Aku tidak akan omong lagi tentang dirimu, kesalahan orang harus dipikirkan sendiri oleh yang bersangkutan, kau sendiri boleh menimbang bahwa takluk pada musuh, kesalahan besar ini adalah akibat keseluruhan dari banyak kesalahan lainnya, hendaklah kau buang akar dari kesalahanmu itu!” Muka Nyo Hun-cong kelihatan serius, Hui-ang-kin mengikutinya dengan sinar mata yang terang, ia merasa diantara perkataan orang seperti mengandung banyak dasar-dasar yang sebenarnya hendak ia bantah, tetapi tidak jadi. “Baiklah, dia boleh berpikir,” katanya kemudian. Sesaat itu hati Coh Ciau-lam bergejolak bagai gelombang ombak samudera, perkataan sang Suheng seperti genta yang bergema di lubuk hatinya, dengan serta merta semua hal-hal yang lalu membanjir terbayang dalam benaknya. Ia terkenang pada waktu baru turun gunung, dengan mengandalkan kepandaiannya ia telah melakukan beberapa perbuatan mulia dan terpuji, kemudian ia mendengar Hui-ang-kin atau si Selendang Merah adalah seorang nona yang paling cantik di padang rumput, ilmu silatnya pun sangat tinggi, tanpa terasa timbul keinginannya untuk meminang, dari jauh ia datang mencari Hui-ang-kin, dikiranya dengan usianya yang masih muda dan dengan kegagahannya, bersama Hui-ang-kin boleh dibilang pasangan yang cocok. Tidak terduga makin lama Hui-ang-kin makin menjauhi dirinya, tidak lama ia pun mengetahui si nona malah mencintai penyanyi gurun itu, pemuda seniman yang rupawan tetapi berjiwa kotor dan rendah. Berpikir sampai disini, tanpa terasa ia mengangkat kepala dan memandang si Abu, orang ini sedang mendengkur dengan nyenyaknya seperti babi mampus. 51 Coh Ciau-lam tertawa menghina dalam hati. “Hmm, oran gsemacam ini apanay yang dapat menandingiku, tetapi Hui-ang-kin justru mencintainya!” pikirnya dalam hati. Ternyata sampai saat ini ia masih belum mengerti mengapa Hui-ang-kin tidak mencintainya, Sebaliknya malah tergila-gila pada seorang penyanyi murahan, sungguh dalam hatinya merasakan ketidak adilan dan penuh penasaran. Sekarang saja demikian jalan pikirannya, apalagi dahulu, tentu bisa dibayangkan! Tatkala itu ia betul-betul sangat benci dan seakan-akan hendak membunuh mampus keduanya, si Selendang Merah dan si Abu, tetapi ilmu silat Hui-angkin tidak dibawahnya dan juga Abu berdampingan dengan si nona, ia tidak mempunyai kesempatan buat turun tangan keji. Pada waktu yang sama ia pun mengetahui bahwa si pahlawan tua Danu, makin menjauhi dirinya, walaupun masih tetap ramah terhadapnya, tetapi urusan dan tugas yan gpenting sudah tidak diserahkan padanya lagi, hanya menganggap dia seorang biasa saja. Tentu saja ia bisa melihat gelagat dan diam-diam mendongkol, ia hanya bisa saja mengomel, “Hmm, aku Coh Ciau-lam betapa gagahnya, ilmu pedangku siapa yang dapat menandingi, tetapi kau justru memandang hina padaku.” Semula ia hanya mengomel dalam hati, tapi lama kelamaan tercetus juga omelannya dari mulut. Ada beberapa ‘kawan’ yang sepaham dengan dia, demi mendengar omelannya lantas ada yang mencoba menghiburnya, “Dengan kegagahanmu, apa gunanya menderita kemasgulan disini, jika dibilang hanya karena Hui-ang-kin, kini si rase cilik itu sudah mempunyai idaman hatinya, lalu kau mau tunggu apalagi ?” Begitulah maka pada suatu hari, beberapa ‘kawan’ itu lantas membawa dia pergi menemui seorang opsir Boan yang menyaru sebagai saudagar, sekali omong saja dia lantas tertarik ke pihak sana. 52 Beberapa ‘kawan’ itu ternyata adalah mata-mata pasukan Boan. Kala itu Coh Ciau-lam bahkan berpikir begini, “Jika pada suatu saat aku berjaya, pasti akan kubalas membuat Hui-ang-kin mati kesal.” Tidak disadarinya sejak saat itu ia telah terjeblos semakin dalam, dan telah berubah menjadi algojo bagi pasukan Boan untuk membunuh rakyat padang rumput yang tidak berdosa. Kini makin dipikir makin kalut pikiran Coh Ciau-lam, sinar mata Suhengnya yang kereng masih terus mendesaknya. Teringat olehnya berapa kasih sayang Suhu dan Suhengnya terhadap dirinya, karena itu, suatu saat timbul rasa penyesalan didalam hatinya. Akan tetapi kesalahan dirinya terletak dimana ? Orang Boan sudah menduduki tanah air kitadengan kukuh, jika ingin membuat pahala dan mendapatkan kedudukan, kalau tidak berjuang untuk kerajaan Boan, lantas pada siapa lagi ? Ternyata selama dua tahun ikut dalam pasukan Boan ini, ia sudah diberi dasar pemikiran, ‘Belajar ilmu silat maupun kesusastraan harus dijual kepada keluarga kerajaan’, maka pesan - pesan Suhu dan Suhengnya sudah terbuang jauh di belakang kepalanya, bahkan ia menganggap waktu ikut perjuangan pahlawan tua Danu dahulu sebagai perbuatan anak remaja yag masih hijau. Nyo Hun-cong melihatnya sampai sekian lama tidak berbicara, ia mendesak lagi, “Ciau-lam, bagaimana, sudah tembus pikiranmu belum ? Sudahkah kau tahu dimana letak kesalahanmu?” Sebenarnya Coh Ciau-lam ingin membantah, “Aku tidak bersalah!” Namun ia takut pada sorot mata sang Suheng, ia pun keder akan sambaran cambuk Huiang- kin. “Suheng masih mendingan,” begitu pikirnya, “Tetapi Hui-ang-kin ini perempuan liar, wataknya jelek sekali, jika aku berbantahan dengan mereka, mungkin ia bisa memukul mampus aku!” Maka ia lantas putar haluan dan berkata, “Suhengm biarlah aku berpikir lagi.” 53 “Ya, watakku sungguh kurang sabar, hanya sebentar saja menyuruhmu berpikir dengan matang-matang memang sulit, “ kata Nyo Hun-cong dengan menghela nafas. “Baiklah, biarlah kuberi tempo dua hari lagi padamu, kita mengawani dahulu nona ini kembali ke tempatnya, baru nanti kubawa pergi dirimu, kala itu kukira pikiranmu sudah bisa jernih.” Kiranya Nyo Hun-cong berpikir, Coh Ciau-lam pernah ikut perjuangan bersama dengan pahlawan tua Danu, disana ada banyak kawan seperjuangannya, jika kubawa dia kesana dan bertemu dengan kawan-kawannya dahulu, setelah mendengar tentang kepahlawanan Danu-loenghiong, mungkin bisa mempengaruhi perasaannya dan membantunya menemukan letak kesalahannya sehingga dapat kembali ke jalan yang benar. Akan tetapi setelah mendengar kata-kata itu Coh Ciau-lam malah merasa takut. Ia tahu bangsa Lopuh membenci serdadu Boan sampai ke tulang sumsum, jika mengetahui dia adalah opsir pasukan Boan, cukup sebutir batu saja bisa membuatnya mampus, maka diam-diam ia mencari jalan untuk melarikan diri. Waktu itu sudah lewat tengah malan, diluar kubu kuno itu angin bertiup tak henti-hentinya dengan keras. Nyo Hun-cong telah berlari seharian, pula telah menderita lapar setengah hari, dan baru sembuh dari sakit, tanpa teras ia menguap beberapa kali. Melihat itu, Hui-ang-kin berkata kepadanya, “Nyo Tai-hiap, biarlah kita jaga bergiliran, kau boleh tidur dahulu sampai pukul tiga nanti kubangunkan kau, lalu bergantian aku yang tidur, besok kita berangkat sedikit agak siang.” “Biar aku jaga lebih dulu, kau pergi tidur saja,” kata Nyo Hun-cong. “Aku dibesarkan di padang rumput dan biasa berkeliling di gurun pasir, aku tidak merasa lelah,” kata Hui-ang-kin. Nyo Hun-cong tertawa melihat si nona suka unggul, tetapi lebih dulu ia tutuk dengan keras ‘Nui-moa-hiat’, hiat-to kelumpuhan di tubuh Coh Ciau-lam. 54 “Kini tak perlu kuatir lagi, boleh kau jaga dia, kalau sudah pukul tiga bangunkan aku,” katanya pada Hui-ang-kin. Waktu Hui-ang-kin dinas jaga, beberapa Coh Ciau-lam ingin sekali berbicara padanya, tetapi Hui-ang-kin tidak menggubrisnya, sekali-kali malah mengayunkan cambuknya mengancam. Hati Coh Ciau-lam gemas sekali, diam-diam ia mengatur pemapasannya, ia mengumpulkan tenaga dalam dan berusaha menembus jalan darah yang tertutuk tadi. Nyo Hun-cong memang agak ceroboh, ia hanya tahu Coh Ciau-lam waktu masih di Thian-san tidak mempunyai kemampuan untuk membebaskan tutukan hiatto, tak tersangka dalam beberapa tahun belakangan ini kungfu Coh Ciau-lam sudah banyak mengalami kemajuan, walaupun belum dapat menandinginya, namun untuk mengumpulkan tenaga dalam dan melancarkan hiat-to yang tertutuk sudah bukan soal lagi baginya. Kira-kira lewat satu jam, tenaganya sudah merata di seluruh badan, ia girang sekali, ketika ia hendak mulai bergerak, tiba-tiba ia mendengar Nyo Hun-cong memanggil namanya sambil membalik tubuh. Keruan Coh Ciau-lam kaget sekali. Akan tetapi setelah membalikkan badan Nyo Hun-cong tertidur lagi, ternyata ia hanya mengigau saja. Hui-ang-kin melototi Coh Ciau-lam. "Di dalam mimpi saja Suhengmu masih ingat padamu, tetapi kau justru tidak mau menuju ke jalan yang benar," kata Hui-ang-kin dengan gemas. Coh Ciau-lam tidak bersuara, diam-diam ia berpikir, "Mengapa aku begitu ceroboh telah melupakan Suheng, untung aku belum bertindak, kalau tidak, meski dapat merobohkan Hui-ang-kin, sekali dia berteriak, Suheng pasti terbangun, walaupun aku bisa lari keluar dari kubu kuno ini juga pasti akan tertangkap kembali." 55 Saat ini tenaganya sudah pulih dari tutukan tadi, namun ia sengaja berpurapura seperti tak bisa bergerak leluasa. "Hui-ang-kin, berilah aku sedikit air," mohonnya dengan suara lirih. Akan tetapi Hui-ang-kin tidak menggubrisnya. Coh Ciau-lam memanggil lagi, sekati ini sengaja dengan keras, "Bisa kumati kehausan, berilah aku sedikit air?!" "Kau memang pantas mampus, kau jahanam, memangnya sengaja bikin ribut buat bangunkan Suhengmu," Hui-ang-kin mendamprat, berbareng cambuknya menyabet. Coh Ciau-lam berpura-pura berusaha menghindari cambukan Hui-ang-kin, "Aduuh!" ia berteriak dan tiarap di atas tanah, pada kesempatan ini diamdiam ia mengeluarkan satu bungkusan kecil dari sakunya. Sedikit pun Hui-ang-kin tidak memperhatikan lagak pura-pura orang, cambuknya menyambar pula, "Tar-tar", suaranya menggema di angkasa. "Kau pura-pura mampus, ayo. lekas bangun!" dampratnya lagi. Mendengar keributan itu, Nyo Hun-cong betul-betul terbangun, ia kucekkucek matanya yang masih sepat. "Hui-ang-kin, apa yang terjadi?" tanyanya. "Tiada apa-apa, tidurlah kau!" jawab Hui-ang-kin. Akan tetapi Coh Ciau-lam berteriak lagi, "Suheng, aku minta sedikit air." "Hui-ang-kin, bolehlah kauberi sedikit air padanya!" kata Hun-cong. Hui-ang-kin melorotkan matanya lagi, ia mengacungkan kantong air dengan kurang ikhlas. "Baiklah, melihat Suhengmu, kuberi kau minum!" katanya. 3 56 Coh Ciau-lam berlagak sulit bergerak, dengan siku ia mengempit kantongan air dan menundukkan kepala untuk minum beberapa teguk, tetapi tangan kanannya diam-diam meremas dan menjentik, isi bungkusan kecil tadi lantas tersentil masuk ke dalam kantongan air. Kini Nyo Hun-cong sudah mendusin betul, rasa kantuk sudah agak hilang, ia bangun kemudian duduk. "Hui-ang-kin, kini giliranku yang jaga," katanya kemudian. "Masih belum ada pukul tiga," ujar Hui-ang-kin. "Aku tidak dapat tidur lagi, apa gunanya dua orang bersama menjaganya," ujar Nyo Hun-cong. Hui-ang-kin tak dapat menolak lagi, katanya, "Baiklah, tetapi kau perlu hatihati sedikit!" Ia mengeluarkan sepotong mantel, ia gelar sebagai kasur dan tidur di atasnya. "Sungguh seorang nona yang polos hati," pikir Nyo Hun-cong dalam hati. Lewat sejenak, di atas lantai sana sudah ada suara menggeros pelahan. Nyo Hun-cong berkata dengan suara tertahan, "Ciau-lam, apa kau tidak letih? Kau bolehlah tidur." "Setelah mendengarkan petuah Suheng tadi, maka kini aku sedang berpikir," sahut Coh Ciau-lam dengan suara pelahan juga. Nyo Hun-cong merasa girang dan lega. "Baiklah, kau boleh berpikir baik-baik," katanya lagi. Coh Ciau-lam menundukkan kepala dan memejamkan mata mirip pendeta yang sedang bersemedi. Diam-diam Nyo Hun-cong menghela napas dan merasa bersyukur. Lewat sebentar, Nyo Hun-cong sendiri merasa haus, ia copot tutup kantong air dan minum beberapa teguk air. 57 Diam-diam Coh Ciau-lam memasang mata dan mengintip, lewat sebentar kemudian mendadak Nyo Hun-cong merasa pandangan matanya berubah gelap dan badan sempoyongan hendak roboh. Tiba-tiba Coh Ciau-lam berteriak, "Ayo, ambruk!" Segera pula ia melompat bangun dan secepat kilat menyambar pedang 'Yuliong- kiam' yang tergantung di tembok. Nyo Hun-cong tidak menduga akan terjadi begitu, waktu ia berusaha membentangkan matanya, tiba-tiba pedang Coh Ciau-lam telah menusuk dekat dadanya. Ternyata isi bungkusan kecil tadi adalah obat bius, pada akhir dinasti Bing (Ming) larangan berlayar sudah mulai dibuka sehingga banyak obat-obatan luar negeri yang masuk, dan adalah obat tidur yang paling disukai pula oleh pejabat-pejabat tinggi militer. Setelah Coh Ciau-lam takluk pada kerajaan Boan, berkali-kali ia telah berjasa, maka Ili Ciangkun (panglima kota Ili) Nilan Siu-kiat menilai Coh Ciau-lam telah berjuang mati-matian dan ingin memikatnya, maka telah menghadiahkan padanya beberapa bungkus obat bius tersebut dan memberi tahu cara pemakaiannya, "Ini adalah obat tidur, jika kau terluka oleh anak panah atau senjata lain yang beracun dan perlu dioperasi untuk membuang racunnya, maka inilah obat bius yang paling mujarab, sedikit pun kau tak akan merasa kesakitan." Waktu itu Coh Ciau-lam menjawab dengan tertawa, "Meski aku tak segagah dan setabah Kwan Kong, akan tetapi kalau betul-betul perlu operasi miang dan menyembuhkan racun, kuyakin sedikit pun aku takkan berkerut kening menahan sakit." "Untuk persediaan saja kukira tiada jeleknya, baiklah kaubawa satu-dua bungkus," kata Nilan Siu-kiat. Setelah tahu cara memakainya, ia percaya obat semacam ini begitu masuk mulut, hasilnya akan lebih lihai daripada obat tidur 'Bong-han-yo' yang biasa digunakan orang di kalangan Kangouw, maka diam-diam ia bergirang dan ingat baik-baik khasiat obat bius ini. 58 Begitulah ketika Nyo Hun-cong mendadak merasa matanya menjadi gelap dan setengah tak sadar, kagetnya sungguh tidak kepalang. Ia memiliki lwe-kang (tenaga dalam) yang tinggi dan sudah sering kali berhadapan dengan musuh tangguh, kini ia tahu telah dipedayai oleh Coh Ciaulam, lekas ia menenangkan semangat dan menghimpun tenaga, tapi baru saja ia dapat melihat dengan jelas, tiba-tiba pedang Coh Ciau-lam, yaitu ' Yu-liongkiam', sudah menusuk ke hulu hatinya. Nyo Hun-cong menggertak keras dan meloncat ke atas, kedua telapak tangannya berputar balik, telapak tangan kiri segera membelah ke 'Hua-kaihiat' Coh Ciau-lam dan telapak tangan kanan terangkat terus hendak merebut pedang lawan. Coh Ciau-lam tidak mengira bahwa sang Suheng setelah minum obat bius masih tetap begitu perkasa, keruan ia menjadi gugup. Dengan langkah 'Pan-liong-hiau-poh' (naga melingkar langkah), ia hindarkan serangan musuh dan segera mencari jalan hendak angkat kaki alias kabur. Namun meski pandangan Nyo Hun-cong masih belum jelas benar, ia paksa membangun semangat, ia mendengarkan suara angin dan membedakan tempat musuh, sedikit bergeser ia dengan cepat sudah dapat menutup jalan pergi Coh Ciau-lam, kedua tangannya naik turun menyerang, dengan nekat ia menempur pedang Coh Ciau-lam. Sebenarnya Coh Ciau-lam sendiri belum pernah mencoba obat bius tadi, ia mengira mungkin obatnya tidak manjur, diam-diam ia mengeluh, "Celaka, sekali ini kalau aku tertawan, Suheng pasti takkan memberi ampun lagi padaku." Dalam sekejap saja kedua orang sudah saling menyerang dengan gerakan yang berbahaya dan jurus-jurus serangan maut. Hui-ang-kin belum lama tertidur, ketika mendengar ada suara ribut-ribut segera ia terbangun dan meloncat berdiri, ia lihat Nyo Hun-cong dan Coh Ciau-lam sedang bertarung dengan seru sekali, ia terkejut dan segera menyambar cambuk dan mencabut pedangnya. "Bangsat, ternyata kau berani hendak kabur," ia mendamprat dan menerjang maju, cambuk diayunkan dan menyabet Coh Ciau-lam dengan gemas. 59 Keruan Coh Ciau-lam mandi keringat dingin, dalam hati ia membatin, untuk melawan sang Suheng saja ia tidak mampu menandingi, apalagi kini ditambah dengan Hui-ang-kin mana mampu dirinya melawan mereka berdua. Diam-diam ia menghela napas, pikirnya, "Tidak tersangka aku Coh Ciau-lam yang berusia masih begini muda, kini harus mati di tempat ini." Kalau Hui-ang-kin tidak ikut bertempur masih agak mendingan, tetapi begitu dia ikut maju malahan membuat repot Nyo Hun-cong. Masalahnya obat tidur sudah mulai bekerja, mata Nyo Hun-cong sudah tidak dapat melihat apa-apa lagi, ia hanya terus berusaha memusatkan pikiran dan membedakan suara untuk balas menyerang. Suara cambuk Hui-ang-kin berbunyi "tar-tar" masih gampang dikenali, tetapi gerak tusukan dan tebasan dengan pedang, bunyi suara yang timbul dari pedangnya serupa dengan pedang pusaka Coh Ciau-lam, yakni 'Yu-liong-kiam'. Sementara itu Coh Ciau-lam yang harus menghindari serangan sang Suheng telah terkena sekali pecutan Hui-ang-kin, gadis ini girang sekali, mendadak ia merangsek maju dan menusuk, pedangnya menyambar lewat di samping Nyo Hun-cong, tiba-tiba Hun-cong membentak, badannya berputar dan dua jarinya menangkap ke bawah, tahu-tahu pedang Hui-ang-kin kena direbutnya. "Apakah artinya ini?" teriak Hui-ang-kin dengan kaget dan bingung. Coh Ciau-lam pun tidak mengerti dan merasa heran, ia sangka karena S obengnya mengingat kebaikan mereka dulu dan sengaja menolongnya sekali lagi, tentu saja hatinya girang tidak kepalang, cepat ia membalik tubuh terus berlari keluar kubu kuno itu. Hui-ang-kin sangat gusar, ketika ia hendak mendamprat Nyo Hun-cong, sekonyong-konyong Nyo Hun-cong sendiri roboh di atas tanah. "Hui-ang-kin, aku telah kena dipedayai olehnya!" begitulah Nyo Hun-cong berseru. Hui-ang-kin kaget sekali, cepat ia periksa keadaan orang, namun Nyo Huncong sudah tidak sadarkan diri lagi. Ia pun tidak mengetahui Nyo Hun-cong dipedayai orang dengan cara apa, ia mengira tentu terkena senjata rahasia beracun, tetapi setelah ia periksa bolak-balik keadaan Nyo Hun-cong, 60 pakaiannya terlihat tidak robek, kulit daging pun tidak terluka, ia menjadi heran. Sementara itu Abu pun sudah bangun dari tidurnya, ia pun terheran-heran melihat keadaan berubah begitu. Karena haus, maka Abu mencabut tutup kantong air dan minum juga beberapa teguk. Hui-ang-kin dapat melihat Abu sudah bangun, ketika ia hendak membentak, mendadak ia lihat orang sudah roboh ke tanah lagi. Hatinya menjadi bimbang, ia menduga kantong air itu pasti sudah diberi racun oleh Coh Ciau-lam, tanpa pikir lagi ia menusuk dengan pedangnya, kantong air segera pecah, air mengalir keluar dan dengan cepat sudah kering terisap pasir kuning. Hui-ang-kin coba meraba dulu dada Nyo Hun-cong dan kemudian dada Abu, detak jantung mereka masih terasa bergerak seperti biasa, air muka mereka pun tidak kelihatan ada perubahan, mereka hanya tidur nyenyak dan mendengkur pula. Hati Hui-ang-kin menjadi lega, kemudian dengan memegang cambuk dan menghunus pedang ia berjaga di samping kedua orang itu. Penjagaan begitu ternyata terus berlangsung hingga esok harinya, bahkan sampai lohor baru Nyo Hun-cong pelahan kelihatan sadar. "Coh Ciau-lam, si jahanam itu sudah pergi bukan?" begitulah pertanyaannya yang pertama setelah mendusin. Hui-ang-kin manggut-manggut. "Memalukan," teriak Nyo Hun-cong sambil melompat bangun, la coba menggerak-gerakkan otot tulangnya, terasa seperti biasa saja maka ia pun menjadi lega. "Jahanam ini sungguh sangat licik dan licin, entah sejak kapan ia menaruh obat tidur ke dalam kantong air," katanya kemudian. "Ah, ini semua gara-gara kecerobohanku, tidak kusangka ia dapat melancarkan sendiri hiat-to yang kutu-tuk." 61 Sementara itu Hui-ang-kin sedang berpikir, "Aku lebih-lebih ceroboh lagi daripadamu." Kemudian ia berucap pula, "Waktu dia minum air, barangkali waktu itulah ia telah menggunakan kesempatan itu untuk memasukkan obat tidur. Kita berdua memang sama-sama ceroboh, masing-masing tidak perlu menyesali siapa pun juga, kuyakin ia pun tidak akan bisa lari jauh." Habis berkata begitu, ia tertawa tergelak-gelak. Lewat sebentar, Abu pun telah mendusin, ia lihat Hui-ang-kin bersama Nyo Hun-cong sedang bercakap dengan gembira, timbul perasaan cemburunya, benci dan juga merasa takut. "Hui-ang-kin, kaulepaskan aku pergi sajalah," begitu ia memohon. "Mengapa harus kulepaskanmu?" kata Hui-ang-kin, "Jika kau memang tidak bersalah, kembali ke perkampungan kita apa yang kau takutkan lagi?" "Hui-ang-kin," ucap Abu lagi dengan suara pelahan, "Setidak-tidaknya kita juga pernah saling mencintai, jika kau mempunyai kekasih lain, biarlah kupergi saja, di mana pun aku berada tetap aku akan menyanyi untukmu dan berdoa pada Tuhan agar melindungimu." Mendengar ucapan begitu, Hui-ang-kin menjadi gusar, pecutnya segera menyapu. "Ngaco-belo!" bentaknya. "Kau anggap orang macam apakah diriku ini, setelah kembali nanti jika benar kau tidak berdosa, tentu aku akan minta maaf padamu, akan tetapi karena kelakuanmu yang rendah dan kotor itu, tidak mungkin aku bisa suka lagi padamu. Sebaliknya jika betul kau yang mencelakai, sehingga ayahku menemui ajalnya, hm, aku sendiri yang akan menyembelihmu! Jika kini kau hendak lari, itu berarti kau mencari mampus, setiap saat bisa kucin-cang badanmu!" Mendengar ancaman Hui-ang-kin ini, muka Abu menjadi pucat ketakutan, tubuh bergemetaran, mana berani dia bersuara lagi. Kemudian Hui-ang-kin menggiring Abu naik ke atas kudanya dan berkata pada Nyo Hun-cong, "Marilah kau pun ikut ke tempat kami sana, bangsa kami tentu akan menyambutmu dengan gembira." 62 "Baiklah," jawab Nyo Hun-coisg sambil mencemplak ke atas kudanya dan berjalan bersama mereka. Kuda mereka dilarikan dengan sangat cepat, setelah lewat dua hari, pada hari ketiga mereka telah melewati 'Tiat-bun-kwan' di wilayah Sinkiang selatan, terlihatlah deretan lereng gunung yang tinggi, di tengah bukit barisan itu terbelah dan mengalir sebuah sungai besar di antara celah gunung itu. "Itulah sungai Merak dari Sinkiang selatan yang tersohor," kata Hui-ang-kin. Muka Abu pucat pasi demi mendengar tertampaknya sungai itu, ia mengeluarkan seruling dan membawakan lagi lagu-lagu yang sedih. Semula Hui-ang-kin hanya berkerut alis, akhirnya ia menghela napas juga dan berkata, "Nyanyilah, ya nyanyilah! Biarlah kau bernyanyi terus seharian sesudah itu tidak akan kudengarkan lagi lagumu!" "Hui-ang-kin, tidakkah kau sangat menyukai laguku, kau tidak mau mendengarkan laguku lagi selamanya?" tanya Abu dengan setengah meratap. Cambuk Hui-ang-kin bergerak lagi, tetapi tidak memukulnya, hanya digerakgerakkan saja. "Kau suka menyanyi boleh kau bernyanyi sepuasmu, banyak bicara apa lagi, nanti aku pukul kau," ancam Hui-ang-kin. Selewatnya 'Tiat-bun-kwan', di depan adalah padang rumput yang luas, sungai Merak mengalir melingkar di antara padang rumput, di kejauhan sana puncak gunung kelihatan jelas penuh dengan salju, warna langit berubah beraneka coraknya, di kedua tepi sungai pohon melambai-lambai, pemandangan alam yang indah tenteram penuh mengandung suasana kebahagiaan. "Sudah hampir, sampai," seru Hui-ang-kin sambil mengacungkan cambuknya. Dari jauh sudah kelihatan asap mengepul, sampai di sini suara nyanyian Abu tiba-tiba berhenti, mukanya bertambah pucat lagi. Mereka berkuda dengan cepat, tidak lama kemudian terlihat perkemahan berderet berdiri di sana. 63 Beramai-ramai rakyat gembala keluar menyambut, kaum wanita dan anak-anak berlari-lari di lapangan luas sana sambil menari dan tertawa riang. Mereka berteriak memanggil-manggil, "Hamaya (nama asli Hui-ang-kin) kita sudah kembali!" Dalam pada itu serombongan pemuda segera bernyanyi dengan alat musiknya: Kita punya pahlawan wanita.....Hamaya, Namanya tersohor di padang rumput, Kanak-kanak melihat dia bergelak tertawa. Musuh melihat dia lari ketakutan! Sapu tangan putih bersulam bunga mawar, Melambaikan sapu tangan, menyanyikan Hamaya kita, Pemuda-pemuda di padang rumput semua tahu dia, Hura, lihatlah dia telah datang bersama kudanya. "Hui-ang-kin, suara nyanyian orang banyak ini jauh lebih kuat dan lebih enak didengar daripada nyanyian seorang!" ujar Nyo Hun-cong pelahan. Mata Hui-ang-kin mengembeng basah, ia terharu. "Aku mengerti!" sahutnya kemudian dengan pelahan juga. Kemudian mereka melompat turun dari kuda, segera Hui-ang-kin menggiring Abu dan membawa Nyo Hun-cong masuk di antara rombongan orang yang memapaknya itu. Abu agak gemetaran, tetapi ia tahan sebisanya seperti tidak terjadi sesuatu. Kemudian dari dalam tenda paling akhir keluarlah tiga orang tua, rambut mereka berwarna putih perak, begitu melihat kedatangan Hui-ang-kin mereka segera membungkukkan badan memberi hormat kepadanya. Segera Hui-ang-kin berlutut dan menangis di hadapan orang-orang tua itu. "Aku terlambat!" ratapnya sedih. Seorang tua itu membangunkan dia dan bertanya, "Abu telah kautangkap kembali, tetapi siapakah dia ini?" 64 "Dia adalah Nyo Hun-cong, Nyo-taihiap!" jawab Hui-ang-kin. Orang-orang di samping segera bersorak lagi, para pemudanya lantas berduyun-duyun maju. Ketiga orang tua tadi membungkuk lagi memberi hormat, Nyo Hun-cong tahu ketiga orang ini adalah para Kiai atau pemimpin agama bangsa mereka, maka cepat ia membalas hormat orang. "Nyo-taihiap sudi datang kemari, sungguh baik sekali," kata mereka. Para Kiai itu menyilakan Hui-ang-kin masuk ke dalam perkemahan, Abu diikat di luar, sedang Nyo Hun-cong dibawa pergi membersihkan badan dan mengaso. Menjadi tamu di padang rumput, jika tuan rumah menyilakan tamunya mencuci badan atau mandi, itu adalah su-atu kehormatan besar bagi si tamu. Waktu senja, matahari sudah terbenam diganti dengan rembulan muda yang baru terbit pelahan. Setelah makan malam, di dataran rumput di luar perkemahan telah dinyalakan api unggun, kaum wanita dan para pemuda suku bangsa Lopuh mulai memainkan alat musik dan mengitari api unggun sambil bernyanyi menari dengan gembira. "Nyo-taihiap, malam ini kami bersembahyang untuk Danu-loenghiong," demikian seorang Kiai masuk ke kemah dan memanggilnya. "Bolehkah aku minta segenggam hio, aku hendak menghormati Danuloenghiong!" kata Nyo Hun-cong sambil melompat keluar. "Tunggulah sebentar setelah Hamaya sembahyang," kata Kiai itu. Nyo Hun-cong ikut keluar dari perkemahan, ia lihat Hui-ang-kin dan Abu sudah berdiri di lapangan rumput, Hui-ang-kin mengenakan baju putih seluruhnya, sedangkan wajah Abu putih pucat seperti mayat, suasana nampak sangat khidmat. Malam di padang rumput di waktu musim panas, udara terang dan tenang, langit penuh dengan bintang-bintang yang gemerdepan seperti batu permata tersunting di layar beludru biru yang luas, puncak gunung penuh salju 65 menegak di kejauhan dengan megahnya, berdiri di antara angkasa malam yang berwarna biru tua bagai intan berkilauan. Di padang rumput, para pahlawan bangsa Lopuh sedang mengitari api unggun dan memutari pahlawan wanita mereka, Hui-ang-kin alias Hamaya, juga mengitari si pengkhianat, Abu. Di atas padang rumput sudah dibangun sebuah panggung yang tinggi, di atas panggung dipasang tiga pot besar yang tingginya lebih dari tiga kaki, ketiga Kiai berlutut di muka pot tadi sedang sembahyang dengan khidmat, di bawah panggung suasana sunyi senyap, keadaan nampak sangat sungguh-sungguh dan angker. Nyo Hun-cong coba melirik Hui-ang-kin, kelihatan nona ini menundukkan kepalanya, matanya mengkilap basah mengembeng air mata. Nyo Hun-cong ikut pilu, ia merasa sayang di malam yang serba indah di padang rumput ini ternyata dipertontonkan adegan yang begitu memilukan. Setelah ketiga Kiai tadi sembahyang, dengan tenang kemudian mereka berdiri dan Hui-ang-kin segera menggiring Abu naik ke atas panggung. "Abu, di muka Danu-loenghiong, tahukah kau akan dosamu?" Kiai yang tertua mulai bertanya. Muka Abu pucat serupa mayat, ia bungkam dan tak berani bersuara. Kiai tadi segera memberi tanda dan memanggil, "Bawa kemari itu tawanan serdadu Boan!" Maka dua pahlawan bangsa Lopuh lantas menggusur seorang tawanan ke atas panggung. "Kaubicara terus terang saja, kami tentu takkan menyiksamu!" kata Kiai tadi kepada si tawanan dengan suara yang ramah. Karena itu, tawanan itu lantas membalikkan tubuh menghadap ke arah orang banyak di bawah panggung. "Aku adalah pengawal perwira Abaku dari pasukan Boan," ia mulai penuturannya. 66 "Bulan yang lalu waktu terjadi pertempuran di padang rumput Aksu, dalam pertempuran sengit yang berlangsung tiga hari tiga malam itu, kerugian di pihak kami sangat besar, karena takut pihak kalian masih akan datang pula bala bantuan, komandan pasukan kami sebenarnya bersedia akan mundur pada esok harinya." "Namun pada malam itu," katanya melanjutkan, "Penyelidik kami datang memberi laporan, katanya telah diperoleh hubungan dengan bantuan dari dalam pasukan musuh sambil menyerahkan sepotong belahan bambu yang di atasnya tergambar peta, malahan terukir pula huruf-huruf, 'Kemah ketiga, bantuan sukar datang', komandan kami bertanya, 'Dapatkah orang itu dipercaya?' dan dijawab oleh penyelidik bahwa boleh dipercaya penuh karena Coh Ciau-lam yang menjamin. Komandan kami memahami dan malam kedua segera menyergap di tengah malam. Kemudian baru kutahu bahwa di perkemahan ketiga berdiam kepala suku kalian, kami menyerbu ke dalam kemah, di sana ternyata Danu-loenghiong hanya dijaga oleh beberapa pengawal saja. Tetapi ia bertempur dengan gagah berani, semula kami bermaksud menangkapnya hidup-hidup, tapi beruntun ia membunuh beberapa orang kami, ia sendiri pun berlumuran darah dan terluka parah, komandan kami melihat dia terluka berat dan masih bertempur dengan gigih, komandan sendiri lantas maju mengepung, tidak terduga dengan sekali geraman keras, sekonyong-konyong Danu menerjang keluar dan membunuh lagi beberapa kawan kami. Golok komandan sempat menusuk dadanya dan senjatanya pun terpukul lepas oleh kami. Tidak tersangka dia masih menubruk maju dan merangkul komandan kami dan sukar untuk dilepas, para pengawal kami menghujani dia dengan bacokan dan setelah menyeretnya sekian lama baru dapat terlepas, ternyata komandan kami pun sudah mati tercekik! Cepat kami membawa mayat komandan dan mundur keluar kemah, kami bermaksud memberi tahu pada wakil komandan, tak terduga begitu keluar dari kemah segera bertemu dengan para pahla-wsimu yang mati-matian menerjang datang hendak menolong Danu-loenghiong, dari seluruh pasukan hanya aku saja yang tertawan karena terluka, yang lain-lain sudah mati semua dalam pertempuran." Begitu tawanan itu selesai dengan ceritanya, seketika di bawah panggung bergema pekik ramai suara tangisan ter-sedu-sedan. Kiai tertua mengangkat tangannya dan kemudian berkata, "Insya Allah nama Danu dapat kita jadikan sebagai lambang kejayaan bagi bangsa Lopuh kita, 67 darahnya mengalir untuk menyelamatkan wanita dan anak-anak kita, beliau betul-betul tidak malu disebut sebagai anak Allah, ia tidak malu dihormati sebagai bapak kita. Namanya pasti akan hidup untuk selamanya." "Hidup! Danu-loenghiong," begitulah sambutan dari bawah panggung dengan suara gemuruh. Darah Nyo Hun-cong terbakar panas, ia pikir, "Kalau ada ayah yang begitu perkasa, tidaklah heran jika mempunyai anak gadis yang gagah berani pula!" Setelah Kiai berdoa dan memuji, suasana pun tenang, ia bertanya lagi pada si tawanan, "Barang-barang peninggalan komandanmu seperti belahan bambu itu apakah termasuk di antaranya yang masih kau simpan?" Tawanan itu mengangguk dan mengeluarkan belahan bambu yang dimaksud dari sakunya dan menyerahkannya pada Kiai. "Hamaya kau boleh periksa sendiri!" kata Kiai sambil menyerahkan belahan bambu itu pada Hui-ang-kin. Hui-ang-kin menerima barang itu, ia memeriksanya dengan teliti, air mukanya mendadak berubah. Huruf yang terukir di atas belahan bambu itu ia kenal betul sebagai huruf tulisan Abu sendiri. Walaupun sepanjang perjalanan pulang telah banyak timbul kecurigaan terhadap Abu, tapi sekali waktu timbul harapannya bahwa mungkin hal itu hanya fitnah belaka, perasaan ini terlalu halus, bagaimanapun Abu adalah orang yang pernah ia cintai, sesungguhnya tidak pernah ia bayangkan pemuda biduan ini adalah lelaki yang berjiwa rendah dan kotor. Kiai tertua melihat tangan Hui-ang-kin bergemetaran memegang belahan bambu itu, ia mendekati nona itu. "Hamaya, bangsa kita sedang memandang padamu, coba katakanlah apa yang harus kita perbuat sekarang?" tanyanya dengan serius. Alis Hui-ang-kin tiba-tiba menegak, ia menghadap ke depan suku bangsanya dan menggerakkan belahan bambu yang dipegangnya dan berseru, "Bukti 68 nyata berada di sini, yang mempedayai hingga menyebabkan kematian ayahku adalah Abu ini!" Ia memutar badan lagi, belahan bambu itu dilemparkan ke depan Abu sambil membentak, "Berani kau menyangkal bahwa ini bukan ukiranmu?" "Ya, memang betul aku yang mengukir," Abu mengaku dengan suara keder. "Ikat dia, aku ingin mengorek hatinya untuk sesaji sembahyang!" teriak Huiang- kin dengan tertawa seram. Suasana di bawah panggung ini seketika menjadi sunyi sepi. Selain ketiga Kiai, sebelumnya tiada orang lain yang tahu bahwa Abu adalah mata-mata musuh, Abu adalah biduan pujaan dan kesayangan para nona di padang rumput, siapa pun tidak menduga, suara nyanyian orang yang begitu merdu ternyata mempunyai jiwa yang begitu kotor. Para pemuda semua tahu bahwa Abu adalah kekasih Hui-ang-kin, kini selain ikut merasa pilu untuk Hui-ang-kin, juga mereka ingin tahu dan keheranheranan memandang diri nona ini. Sementara itu Hui-ang-kin telah mencabut pedang pendeknya, ia berlutut di hadapan layon abu jenazah ayahnya dan berkata dengan menangis, "O, ayah! Anakmu kini akan membalaskan dendammu!" Di bawah pandangan orang banyak, mendadak Hui-ang-kin melompat bangun dan mengusap air matanya, pedangnya gemerdep di tengah malam gelap, setindak demi setindak ia berjalan mendekati Abu. "Hui-ang-kin, dapatkah kauperkenankan aku bicara sedikit saja," tiba-tiba Abu berseru. "Jika kau merasa penasaran, tentu kau boleh membela diri!" kata Kiai. Hui-ang-kin bertindak maju lagi, ia membalik pedangnya dan lantas berhenti. "Bicaralah!" bentaknya. Di luar dugaan, Abu malah tertawa bergelak-gelak seperti orang gila. 69 "Hui-ang-kin, di mana cambukmu?" tanyanya tiba-tiba dengan lantang. "Aku tidak ingin membantah, Danu-loenghiong memang gugur karena perbuatanku, itu memang kesalahanku, akan tetapi, Hui-ang-kin apakah kau sendiri tidak ada kesalahan? Aku, Abu, dianggap orang sebagai kekasihmu, tetapi kau selalu menakut-nakuti aku dengan cambukmu, tidak peduli soal besar atau kecil, semua harus kuturuti perintahmu, dalam hal apa aku masih merupakan kekasihmu lagi, namun lebih mirip budakmu yang rendah saja! Sebaliknya kau seperti majikanku yang maha tinggi dan maha kuasa!" "Pada waktu kau mengutarakan rasa cintamu padaku, juga kauanggap aku seperti anak kecil yang tak mengerti sesuatu? 'Abu, menurutlah perintahku!', 'Abu, buatlah begini dan jangan berbuat begitu!', 'Abu, kau berada di sampingku, tak perlu merasa takut!'." "Coba lihat, di mana kaupandang aku sederajat denganmu? Aku seperti tidak mempunyai kepintaran apa-apa, segalanya berkat perlindunganmu, juga para pemuda mengira aku ini seperti orang yang mendadak naik ke atas hanya karena kau sudi menginginkan diriku." "Dalam nyanyian rakyat kita, biasanya kita umpamakan lelaki sebagai matahari dan wanita sebagai rembulan, tetapi di antara kita, engkaulah yang laksana matahari dan aku hanya seperti sebutir bintang kecil yang bersinar guram saja seakan-akan kalau bisa memancarkan sedikit cahaya itupun karena berkat dirimu!". "Kau memang boleh bangga, pahlawan padang rumput kita ke mana pun dan sampai di mana pun, para pemuda seperti ingin mengerumuni rembulan dan mengitarimu. Sebaliknya apakah aku sendiri tidak boleh mempunyai kebanggaan sedikit pun? Apakah suara nyanyianku jika sedang berkumandang di angkasa padang rumput tak dapat menarik perhatian dan sorot mata kekaguman para nona muda?" "Hui-ang-kin, kau adalah pahlawan wanita akan tetapi aku tidak tahan lagi, pada waktu itulah Coh Ciau-lam dengan diam-diam telah datang menemui aku, ia membujukku membantu dia untuk menangkap Danu-loenghiong, kemudian memaksa bangsa Lopuh supaya takluk pada kerajaan Boan, katanya 'Setelah beberapa tahun bertempur pun sudah letih semuanya lebih baik menurut pada pasukan Boan dai- melewatkan hari-hari yang tenteram, di antara sukumu ini 70 yang berkeras ingin perang adalah ayah-anak Danu, jika yang rua dapat ditangkap, yang muda tentu tak berani ber-ouat sesukanya." "Perang atau tidak, itulah aku tidak peduli, tetapi aku memang sengaja membuat marah Hui-ang-kin, aku hendak berbuat sesuatu yang menggemparkan orang, agar pada Suatu ketika ia akan datang menyembah dan memohon padaku juga. Kini aku sudah tahu kesalahanku, Hui-ang-kin, tetapi aku tidak akan memohon pengampunanmu, kau boleh membelah dadaku, keluarkanlah hati dari orang yang pernah kaucintai." demikian Abu mengakhiri ucapannya. Tangan Hui-ang-kin mendadak gemetaran, ia benci dan gemas sekali pada Abu, cintanya pada Abu kini sudah ludes sama sekali, ia bukannya tak tega mengangkat tangannya buat membunuh dia bukan! Tetapi perkataan Abu yang terakhir tadi sama sekali tidak ia duga sebelumnya. Tidak sedikit nona muda yang biasanya mengagumi suara nyanyian Abu, demi mendengar perkataannya sebelum menjalani kematiannya tadi, tiba-tiba mereka merasa walaupun dosa orang ini patut dihukum mati, tetapi rasanya harus dikasihani juga. Bahkan ada nona-nona yang menundukkan kepala dan tak berani memandang ke atas panggung. Nyo Hun-cong yang ikut berdiri di atas panggung, dengan jelas dapat melihat pedang Hui-ang-kin sedikit gemetar, ia dapat melihatnya pula letak kebaikan dan kelemahan watak Hui-ang-kin. Ini adalah suatu persoalan rumit yang perlu dibicarakan dengan Hui-ang-kin secara baik-baik, demikian pikir Nyo Hun-cong. Sementara itu para pemuda sedang berteriak-teriak dengan marah, banyak yang ingin naik ke atas panggung untuk menghajar Abu, syukur Kiai segera mengacungkan kedua tangannya untuk mencegah, dengan pelahan ia berseru, "Demi kejayaan bangsa kita jika kamu diminta menyerahkan kambing dan sapi piaraanmu, kamu berkata ambillah sekalian kuda betinaku! Jika guna kebahagiaan bangsa kita dan menghendaki kamu pergi berperang, kamu berkata ikutkanlah anakku yang bani dewasa! Jika kamu berbuat sesuatu untuk kita semua dan merasa penasaran, janganlah kamu membantah, tetapi 71 selesaikanlah lebih dahulu pekerjaan itu! Ini adalah salah satu ajaran dalam kitab suci kita dan telah tersebar ratusan tahun di padang rumput dan sudah kita ketahui bersama, bukankah begitu?" akhirnya ia bertanya. Abu menundukkan kepala, sedang Kiai berbicara semakin cepat dan semakin bersemangat, ia menyambung lagi, "Kita bangsa Lopuh semua paham arti sabda Nabi tadi, demi Allah dan demi pihak yang benar untuk kebahagiaan bangsa kita semua, segala apa pun kita bersedia menyerahkannya, bukankah begitu, Abu? Kini, tentara Boan dari Kwan-gwa telah menjajah ke Kwan-lwe dan malahan terus menyerbu ke daerah Sinkiang kita, kuda perang mereka berlari sesukanya di padang rumput, serdadu mereka mengejar kafilah kita dan merampok kekayaan kita, mereka ingin menghancurkan kita, kaum penggembala kita di padang rumput tunduk seperti domba yang jinak untuk menjadi budak mereka. Memang, kecuali kalau kita sama sekali tak bertulang, jika sebaliknya tentu tiada seorang pun yang sudi berbuat begitu!" "Abu, bangsa kita sedang melawan keganasan dan sedang mengalirkan darah, mereka berbuat untuk kejayaan bangsa Lopuh, apa yang dimiliki semua sudah dipersembahkan. Tetapi kau, hanya sedikit kesukaran sudah tak tahan, bahkan kau malah berlomba kebanggaan dengan orang yang kaucintai!" "Apa yang dapat dibanggakan? Mempedayai pahlawan tua kita yang sangat kita hormati itu? Membunuh saudara-saudara sebangsamu dan menjadi anjing musuh? Hm, ini adalah perbuatan yang paling kotor dari budak yang tak tahu diri, sungguh memalukan kau masih berani mencela Hui-ang-kin!" "Hui-ang-kin, ayahmu yang sudah di surga sedang memandang kau, bangsamu di bawah panggung sedang melihat kau, kini kau adalah pewaris dari kepala suku kita, kau boleh bertindak menurut pikiranmu." "Hui-ang-kin, apakah yang hendak kauperbuat?" tanya Kiai mengakhiri pidatonya. "Bawa arak kemari!" teriak Hui-ang-kin segera dengan suara lantang. Maka seorang pemuda segera datang membawakan satu cawan besar berisi setengah cawan arak. Dengan tangan kiri Hui-ang-kin memegang cawan itu, tangan kanan dengan pedangnya secepat kilat segera menusuk ke dada si Abu, dalam sekejap darah 72 Abu muncrat keluar, Hui-ang-kin menadah dengan cawan dan segera terisi penuh satu cawan arak bercampur darah. Ketika pedang dicabut, ujung pedang Hui-ang-kin sudah menancap dan mengait keluar sepotong hati manusia yang masih berlumuran darah. Menyusul di antara suara tertawanya yang panjang dan seram, kakinya melayang, kontan mayat Abu terpental ke bawah panggung. Hui-ang-kin menjinjing pedangnya, dengan cawan yang berisi arak darah ia membalik dan berjalan pelahan-lahan menuju tempat abu jenazah ayahnya, ketiga Kiai ikut di belakangnya, arak darah disiramkan dan hati Abu tertancap di atas panggung di muka meja abu, dan Hui-ang-kin pun menangis tersedusedu. "Oh, ayah! Kini kau boleh memejamkan mata dengan tenang!" ia meratap. Suasana di padang rumput sunyi senyap, semua orang yang hadir di situ menundukkan kepalanya, mengheningkan cipta. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara yang ramai disusul dengan suara derapan telapak kaki kuda yang semakin mendekat, dari jurusan timur telah menerobos datang sepasukan orang berkuda yang dikepalai seorang pembawa sebuah panji lebar. Segera terdengar penjaga bangsa Lopuh berteriak, "Kepala suku bangsa Tahsan datang!" Tidak lama kemudian dari sebelah barat sana datang pula serombongan orang, penjaga melaporkan lagi, "Wakil serikat lima kelompok suku Sahji datang!" Begitulah berturut-turut tidak sampai setengah jam ternyata telah datang berkumpul tiga kepala suku dan empat belas pasukan dari kelompok suku lainnya. Mereka berbaris rata berjajar dekat panggung tinggi itu. Melihat keadaan yang tiba-tiba ini, air muka ketiga Kiai yang berada di atas panggung berubah hebat. 73 Angin malam di padang rumput bertiup semilir, api unggun di bawah panggung waktu itu sedang berkobar dengan hebat, Hui-ang-kin dengan menjinjing pedangnya maju ke muka panggung, tetapi ia tidak mengerti apa yang harus dilakukannya. "Hamaya, lebih dulu meminta para paman naik ke atas panggung untuk sembahyang," ujar Kiai dengan suara tenang. Hui-ang-kin membuang arak darah yang segera kering dihisap pasir. "Para paman dan sahabat-sahabat," katanya kemudian, "Terima kasih, kalian telah datang dari tempat jauh, walaupun ayahku sudah meninggal, tetapi ia seperti masih hidup, darahnya sudah menetes di atas padang rumput, tetapi darah musuh dan pengkhianat telah menetes pula di atas padang rumput. Melihat kamu sekalian datang secara berduyun-duyun, aku yakin jika darah kita akan mengalir bagaikan sungai. Jika padang rumput mengubur kita seorang, pasti musuh akan terkubur sepuluh orang!" "Abu ayahku masih berada di atas panggung ini, arwah ayahku tetap di atas kamu sekalian, ia sedang mendengarkan perkataan kamu sekalian, kini silakan kalian naik kemari!" ia mengakhiri pidato sambutannya. "Hui-ang-kin yang hebat!" dalam hati Nyo Hun-cong memuji. "Rombongan orang-orang ini gelagatnya tidak hanya hendak sembahyang, jika mereka benar-benar ada maksud tertentu, perkataan Hui-ang-kin tadi sungguh bisa membuat malu mereka, menghadap abu Danu-loenghiong, siapa pun harus bersumpah setia, kukira dapat memompa semangat dalam pertempuran melawan musuh." Betul saja para kepala dan wakil-wakil suku lantas berbaris naik ke atas panggung, Hui-ang-kin melambai tangannya pada Nyo Hun-cong, dengan tenang Hun-cong lantas mengikut di belakang mereka, dengan rasa curiga semua orang memandang padanya, tetapi tiada yang berani buka suara. Begitulah satu persatu mereka menuang arak darah di depan abu Danuloenghiong, paling belakang bergilir sampai Nyo Hun-cong, kepala suku Tahsan tiba-tiba bertanya, "Siapakah dia?" "Ia adalah Nyo Hun-cong, Nyo-taihiap!" jawab Hui-ang-kin. 74 Semua orang terkejut begitu mendengar nama pendekar ini disebutkan. "Ia mewakili orang-orang Kazak atau bangsa Lopuh?" tanya pula kepala suku Tahsan itu. "Aku adalah orang Han," sahut Nyo Hun-cong dengan ketus, "Aku pun adalah kawan seperjuangan orang Kazak dan sahabat Hamaya! Aku tidak mewakili siapa pun juga, siapa yang melawan pasukan Boan, akulah kawannya begitu pun sebaliknya?" Karena kata-kata yang bersemangat ini, kepala dan wakil-wakil suku itu semua berteriak, "Bagus!" Dengan tenang kemudian kepala suku Tahsan bertanya pada ketiga Kiai, "Danu-loenghiong kini sudah meninggal, bukankah anak gadisnya yang akan menggantikan kedudukannya?" "Apakah kauanggap kami punya Hamaya kurang cakap?" Kiai itu berbalik bertanya. "Hui-ang-kin, pahlawan wanita yang tersohor di seluruh Sinkiang selatan, siapa berani bilang ia kurang cakap!" ujar kepala suku Tahsan dengan sungguhsungguh, "Tetapi kau jangan lupa, pahlawan tua Danu bukan saja kepala sukumu, tetapi juga adalah ketua serikat kita." "Kami datang menyembah pahlawan tua Danu, kami justru juga ingin pada malam ini menetapkan siapakah yang pantas menjadi ketua serikat yang baru," sambung wakil dari suku Sahji. "Kami bukannya tidak mengagumi nona Huiang- kin, tetapi menurut peraturan kita harus diadakan pertandingan, baru bisa menentukan siapa-siapa yang akan menjadi ketua baru kita." "Memang, usiaku masih terlalu muda, tentang ketua serikat itu aku sekali-kali tak berani menginginkan, aku tidak berani ikut berlomba, jika ada yang terpilih, akulah yang pertama-tama tunduk padanya!" sahut Hui-ang-kin dengan cepat dan merendah. "Tidak, itu tidak boleh," seru kepala suku Sahmal sambil tertawa, "Pahlawan wanita Hui-ang-kin dan pejuang-pejuang dari suku Lopuh mana boleh tidak ikut berlomba? Kami bukannya hendak berebut menjadi ketua serikat, tetapi 75 tujuan kami adalah untuk memilih seorang ketua yang betul-betul dapat kami puji dan bisa memimpin kita melawan musuh!" "Kiranya demikian," pikir Hun-cong dalam hati dengan lega, "Cukup hanya orang yang sanggup melawan tentara Boan saja sudah dapat dipilih." Maka ia lantas menyeletuk, "Hamaya, musuh sedang menanti, siapa pun tak usah merendah diri, berbuatlah menurut peraturan kalian yang sudah ada." Hui-ang-kin memandang Nyo Hun-cong, lalu meinanggutkan kepala tanda menyanggupinya. Pertandingan segera dimulai, walaupun bukan pertarungan mengadu jiwa, tetapi cukup menggetarkan hati. Babak pertama ialah gulat, jago dari suku Sahmal telah dibanting roboh oleh jago dari suku Sahji, yang tersebut belakangan ini kemudian terbanting pula oleh jago dari suku Lopuh hingga copot dua giginya. Jago suku Tahsan kemudian mengalahkan lagi jago dari Lopuh, Hui-ang-kin adalah wanita, kurang pantas untuk ikut bergulat, maka ia tidak turut, sampai akhirnya sudah tiada orang yang berani rnaju bertanding lagi, ketika jago suku Tahsan akan dianggap sebagai juara, tiba-tiba Nyo Hun-cong tampil ke muka di antara orang banyak. "Harap aku pun boleh diikut-sertakan, jika menang boleh anggap saja kemenangan bagi nona Hamaya!" kata Hun-cong. Dengan suara pelahan Hui-ang-kin mengucapkan terima kasih. Jago suku Tahsan tadi bernama Akat, ia adalah jago gulat dari seluruh daerah selatan Sinkiang. "Hm, bagaimana bisa tahu kamu yang akan menang?" jengeknya dengan gusar. Segera ia mendekati Nyo Hun-cong. "Nyo-taihiap harap memberi beberapa pelajaran," kata Hui-ang-kin. 76 Nyo Hun-cong tersenyum, kedua tangannya diluruskan ke lututnya. "Silakan!" katanya. Cara bergulat di sana adalah empat tangan bersikapan di antara badan masing-masing, selamanya tiada cara kedua tangan diturunkan dan kaki berdiri tegak. Karenanya Akat menjadi "heran dengan sikap Nyo Hun-cong ini. "Cara begini bagaimana bisa terhitung bergulat," katanya. "Kau boleh mengeluarkan tenaga sesukamu, kalau aku terbanting roboh, boleh menganggap aku yang kalah," kata Nyo Hun-cong dengan tersenyum. Akat menjadi gusar, dengan kedua kaki sedikit menekuk dan kedua lutut menyanggah kuat, kedua tangannya segera berusaha mengangkat badan Nyo Hun-cong dan hendak dibantingnya. "Pergi!" bentak Nyo Hun-cong. Tidak terlihat ia berkelit atau gerakan tangannya, Akat ternyata sudah terpental beberapa kaki jauhnya. Semua orang saling pandang dengan heran dengan kejadian itu. Sementara itu sesudah Akat menggelindingkan badannya, segera ia bangun lagi, ia kuatkan kuda-kudanya, dengan kedua tangan memegang pundak Nyo Hun-cong, tangan kiri mendorong. Tangan kanan kelima jarinya seperti kaitan menarik ke bawah, ini adalah satu gerakan dalam ilmu gulat yang dinamakan 'Thui-jong-bonggwat', membuka jendela memandang rembulan. "Pergi!" bentak Nyo Hun-cong pula. Ternyata ia tidak jatuh, sebaliknya tubuh Akat yang tinggi besar telah terpental lagi dan jatuh telentang. Karena kagetnya Akat lalu berteriak, "Ilmu siluman, ilmu siluman!" Hui-ang-kin yang ilmu silatnya cukup dalam, melihat Nyo Hun-cong dengan tidak bergerak sedikit pun telah membanting roboh lawannya, tanpa terasa 77 mulutnya memuji, "Sungguh ilmu 'Tiap-ie-sip-pat-tiat' (Menempel baju jatuh delapan belas kali) yang luar biasa!" Ilmu ini kalau bukan ahli tenaga dalam yang telah mahir betul, tidak akan mudah mempelajarinya. Teori 'Tiap-ie-sip-pat-tiat' adalah sama dengan 'Thay-kek-kun' yang mengutamakan 'pinjam tenaga memukul balik tenaga lawan', dengan menggunakan tenaga yang musuh keluarkan untuk memukul musuh sendiri, hanya 'Tiap-ie-sip-pat-tiat' masih harus mahir dalam mengumpulkan napas untuk berbalik memukul musuh, dibandingkan 'pinjam tenaga memukul balik tenaga lawan' adalah lebih sukar lagi. Walaupun Akat pandai bergulat, tetapi ia tidak paham ilmu semacam ini sehingga ia masih belum mau mengaku kalah. "Jika kau tidak menggunakan ilmu siluman, tetapi pakai kepandaian gulat menurut peraturan biasa dan aku terbanting roboh, segera aku akan mengaku kalah," teriaknya penasaran. Kepala suku dari Tahsan adalah seorang ahli tenaga dalam, maka ia tahu ilmu Nyo Hun-cong yang asli. "Kau tidak mengerti ilmu ini, jangan sembarang mengoceh," ia mengomel sambil tertawa. Ia tahu diri sendiri bukan tandingan Nyo Hun-cong, maka ia tak berani maju bertanding, hanya hendak mengakui kekalahan Akat dan menyuruhnya mundur teratur. Tetapi ternyata Akat masih berdiri tegak di hadapan Nyo Hun-cong dan tidak ambil peduli kata-kata orang lain. Nyo Hun-cong mengerti lawan masih penasaran dan belum mau takluk, segera kedua kakinya agak dilengkungkan dan kedua tangannya diulurkan sambil berkata, "Ayo, marilah mulai lagi!" Akat segera menubruk maju dan membetot tangan Nyo Hun-cong, yang disebut belakangan ini menarik tangannya ke bawah dan ujung kakinya sedikit mengait, Akat yang sudah mengeluarkan tenaga sepenuhnya sukar untuk berhenti lagi dan karena keseimbangan badannya berkurang, segera ia jatuh tersungkur oleh gaetan kaki Nyo Hun-cong tadi. 78 "Bagus," kata Akat setelah bangun dan mengacungkan jempolnya, "Inilah baru namanya bergulat, kini aku mengaku kalah!" Sedang Nyo Hun-cong akan mundur, dari rombongan orang Tahsan telah tampil kembali seorang yang bertenaga besar bernama Takad. "Nyo-taihiap, marilah kita coba-coba kepalan saja," tantangnya. Orang ini tingginya enam kaki lebih, kedua lengan dengan ototnya menonjol di sana-sini, waktu tangan terulur bahkan bersuara berkeretekan. Tiba-tiba Hui-ang-kin maju ke tengah. "Nyo-taihiap adalah tamu kita, tidak baik kalau terus merecoki dia, biarlah aku yang coba-coba kepalanmu," ujarnya. Hui-ang-kin yang berpotongan lemah-lembut dan kecil langsing, kalau dibandingkan dengan raksasa itu sungguh sangat menyolok sekati. Sementara itu Nyo Hun-cong telah mundur dengan tersenyum. "Hamaya," kata Takad, "Ilmu pedangmu tersohor di seluruh daerah selatan, tetapi beradu kaki dan tangan tidak boleh dibuat gegabah, dengan satu kepalan aku sanggup memukul mati seekor unta, jika sampai melukai dirimu nanti, itulah kurang enak rasanya," setelah berkata begitu ia memukul dengan satu kepalannya pada satu pohon kecil, segera pohon itu ambruk roboh. Hui-ang-kin hanya meliriknya dan anggap seperti tidak terjadi apa-apa, ia hanya tersenyum. "Pohon adalah barang tak bergerak, mana bisa dibandingkan orang yang dapat bergerak," katanya. "Kau boleh mengeluarkan pukulanmu, kalau aku mati terpukul, bangsaku juga tak akan menyalahkan kau." Takad berpikir, umpama orang bisa berputar-putar, cukup terkena angin kepalanku saja sudah bisa dirobohkan, andaikan aku tidak bisa mengenai dirinya, dia pun tak akan bisa memukul diriku, jika dia hanya main berkelit, itu sudah terhitung aku yang menang. 79 Berpikir begitu, mendadak ia memukul, Hui-ang-kin berkelit dengan tenang dan segera sudah berada di belakangnya, telapak tangan segera memukul dan mengenai punggung lawannya. Kekuatan yang dipergunakan Hui-ang-kin adalah kekuatan ahli tenaga dalam, keruan Takad kesakitan dan berteriak-teriak. Tetapi ia pun tidak lemah, tangannya membalik lantas menyambar, tangan yang sebesar kipas itu mencengkeram Hui-ang-kin, tetapi Hui-ang-kin keburu berkelit, ia lantas mengulurkan tangannya dengan pelahan mendorong pundak orang, karena itu Takad segera tergopoh-gopoh mundur beberapa tindak ke belakang. Menyusul kemudian dengan suara geram, ia melompat maju menubruk dan memukul dengan kedua kepalan berbareng seperti dua martil besi yang tak dapat ditahan. Hui-ang-kin sedikit mengegos dan berbareng mengulurkan tangan menarik tangan lawannya. Pukulan Takad tadi, kekuatannya tidak kurang dari ribuan kati kerasnya, kini ditarik sekaligus oleh Hui-ang-kin, seketika ia kehilangan keseimbangan badannya, segera ia merasa seperti melayang di udara dan terbang menuju ke sana. Syukur Nyo Hun-cong dengan cepat rpenggunakan ilmu mengentengkan tubuh, seperti anak panah terlepas dari busurnya memburu dan memegang tubuh orang, setelah diletakkan turun, seluruh padang rumput sudah bergemuruh dengan tepuk tangan memuji. Takad ternyata adalah seorang laki-laki yang lugu, lebih dahulu ia menghaturkan terima kasih pada Nyo Hun-cong yang telah menolong dia, kemudian ia menjura pada Hui-ang-kin. "Nona mempunyai kepandaian, aku Takad kini betul-betul takluk!" katanya. Hui-ang-kin hanya tersenyum. Menyusul dari suku Sinjah keluar empat penunggang kuda yang gagah, ilmu menunggang kuda mereka harus dipuji, setelah mengitari tanah rumput sana, mereka tiba-tiba berhenti dan bertanya, "Kami hendak meminta pelajaran ilmu menunggang kuda dari jago-jago Lopuh dan juga kepandaian menggunakan cambuk." 80 "Lekas bawa sini kuda putihku!" perintah Hui-ang-kin segera. Keempat penunggang kuda itu tak menduga bahwa Hui-ang-kin sendiri yang menerima tantangan mereka. "Nona Hui-ang-kin, apakah kau juga yang akan berlomba? Kalau begitu boleh pilih lagi tiga kawan lainnya," kata mereka berbareng. Sementara kawan Hui-ang-kin telah menuntun keluar seekor kuda putih, Huiang- kin menyemplak naik ke atas kudanya dan melolos cambuknya yang diayunkan hingga segera terdengar suara seperti suara petasan. "Biarlah aku seorang diri menerima pengajaran kepandaian menunggang kuda dan ilmu cambuk dari kalian berempat," sahutnya kemudian. 4 Habis berkata, kedua kakinya mengempit kencang kuda yang segera berlari layaknya terbang di antara dataran rumput itu. "Bagus", teriak keempat penunggang kuda tadi. Mereka segera menerjang berbareng menyusuli Hui-ang-kin, setelah dekat tiba-tiba mereka membagi ke sirrj nng dan dari muka belakang hendak mencegat, empat cambuk panjang segera disabetkan ke arah Hui-ang-kin dan kelihatannya hampir mengenai badan gadis itu. Karena kejadian ini, para wanita suku Lopuh sama berteriak kaget. Tetapi tahu-tahu Hui-ang-kin yang tadinya kelihatan di atas punggung kuda telah lenyap, ternyata ia sejak tadi sudah bersembunyi di bawah perut kudanya. Kuda putihnya yang terkena satu pecutan mendadak menerjang ke muka, penunggang kuda yang di depan menarik kudanya hendak menghindari supaya kuda putih lewat di sampingnya. Namun cepat sekali Hui-ang-kin tahu-tahu sudah putar balik kembali di punggung kudanya dan cambuk panjangnya sudah bekerja, penunggang kuda tadi melihat saja belum jelas sudah terlempar jatuh dari kudanya. 81 Hui-ang-kin tidak tinggal diam lagi, pecutnya yang menyabet balik telah memaksa jatuh pula seorang penunggang yang lain. Tinggal dua orang ya^g lain seketika menjadi kalang-kabut, mereka mencoba menghindar tetapi tidak seberapa lama satu persatu sudah disapu jatuh oleh Hui-ang-kin. Kepala suku Tahsan sudah tak tahan lagi, ia cepat berlari keluar dan menghadang di muka kuda Hui-ang-kin. "Apakah nona sudah letih?" tanyanya. Hui-ang-kin melompat turun dari kudanya, ia memberi hormat. "Jika paman sudi memberi pelajaran, mana/ aku berani menolak," sahutnya merendah. Kepala suku Tahsan ini bernama Pahla, ia memahami 'Thian-liong-cio-hwat' dari Tibet, ia terhitung salah satu ahli tenaga dalam. "Aku ingin belajar Cio-hoat dari nona," katanya. "Kalau begitu, silakan mulai menyerang," jawab Hui-ang-kin. Secepat angin Pahla segera membuka serangan, kedua lengan dijulurkan keluar, dengan telapak tangan kanannya yang baru dijulurkan tadi sampai di tengah jalan telah dia tarik kembali dan diganti menjadi kepalan yang memukul dada Hui-ang-kin. Tapi gerakan Hui-ang-kin sangat gesit dan cepat, tiba-tiba ia membalikkan badannya dan dengan satu dorongan tangannya telah memusnahkan serangan lawan, kedua telapak tangannya pelahan ditepukkan mematahkan serangan lawan, menyusul kedua telapak tangannya pelahan ditepukkan pula. Dengan begitu pundak lawan sudah terkena sekali pukulan. Cepat Pahla mengkerutkan badan dan menarik tangannya, telapak tangan menebas ke bawah hendak memotong urat nadi Hui-ang-kin, gerakan ini cepat sekali seperti letikan api, serangan ini adalah pukulan paling lihai dari 'Thianliong- cio-hwat', bergaya menahan dan berbalik menyerang. Tidak disangka, Hui-ang-kin hanya berputar dengan pelahan, badannya tahutahu sudah melayang pergi bagaikan sedang menari. Pikiran Nyo Hun-cong 82 tergerak oleh gaya tubuh Hui-ang-kin, ia pikir, "Cara ini seperti sudah pernah kulihat, entah di mana?" Setelah berpikir dan mengingat lagi baru ia teringat dulu sewaktu dirinya baru tiga tahun belajar silat di Thian-san, waktu itu Coh Ciau-lam belum lama naik gunung, Suhu minta dirinya mewakili memberi pelajaran Cio-hwat atau ilmu pukulan dengan telapak tangan kepada Coh Ciau-lam. Pada suatu hari, kakak beradik seperguruan sedang saling belajar, tiba-tiba datang seorang nenek. "Cio-hwat yang bagus", kata nenek itu sambil menyuruh kedua kakak-beradik berbareng mencoba menyerang padanya, ia sendiri hanya melayang ke sana sini, sebentar saja dirinya sudah terkena beberapa kali serangan telapak tangan nenek itu, beruntung orang tidak memukul dengan sungguh-an, maka ia tidak merasa sakit. Kala itu, tahu-tahu Suhunya pun muncul. "Pek-thay-po,*kenapa kauakali anak-anak," tanya Suhu dengan tertawa. "Hui-bing, kau selalu tidak mau bertanding denganku, aku mengira Thian-sancio- hwat tiada lawannya di kolong langit ini, tidak tahunya hanya begini saja," kata nenek itu dengan muka menghina. Belakangan Suhu dipaksa bertanding dengan dia, kedua anak tersebut waktu itu menyaksikan pertandingan ramai itu sampai berkunang-kunang, sampai bayangannya saja tidak dapat dibedakan. Pada suatu saat, tiba-tiba nenek itu keluar dari kalangan dan terus mengeluyur pergi dengan diam-diam tanpa diketahui alasannya. "Mengapa perempuan tua ini begitu suka mengunggulkan diri," sesal Suhunya. Karena heran kakak-beradik seperguruan ini berulang kali telah bertanya, aldiirnya barulah diketahui bahwa tadi Suhu telah memenangkan satu pukulan. Begitulah maka demi Nyo Hun-cong melihat Hui-ang-kin mempunyai pukulan serupa im segera ia teringat pada nenek tua itu, tidak usah melihat terus ia sudah tahu Hui-ang-kin pasti bakal menang. 83 Dan betul juga, tidak lama kemudian mendadak terdengar teriakan Pahla, ia telah terlempar dua tiga depa ke sana. Syukur Hui-ang-kin memburu cepat, ia melayang ke muka secepat anak panah, tangannya sudah memegang tung-kak kaki Pahla, dengan paksa ditarik kembali. Tadi sewaktu Pahla bertanding dengan Hui-ang-kin, ia mempunyai 'Thianliong- cio-hwat' yang mempunyai seratus dua puluh enam pukulan yang sudah dikeluarkan lebih dari separahnya, akan tetapi belum dapat menyenggol sedikit pun tubuh Hui-ang-kin, bahkan kain bajunya saja tak mampu menyenggol, ia menjadi keder dan gugup, dengan segera ia menggunakan tiga pukulan paling lihai dari 'Thian-liong-cio-hwat'. Pukulan pertama 'Oh-liong-ka-thiau' atau naga hitam membelit tiang, dua telapak tangannya satu memuntir dan yang satu membelit menubruk ke tubuh Hui-ang-kin, tetapi Hui-ang-kin telah mengegos dan melayang pergi lagi. "Bagus!" seru Pahla sambil badan mendekam terus melompat maju, pukulan keduanya 'Siang-liong-jut-hai' atau sepasang naga keluar dari lautan, dua telapak tangannya berbareng menggempur bagian belakang Hui-ang-kin. Hui-ang-kin kembali berkelit dan memutar tubuhnya. Tetapi kedua telapak Pahla yang memukul sampai di tengah jalan, mendadak berubah menjadi kepalan, pukulan yang ketiga 'Ting-san-gia-houw' atau naik gunung menunggang macan, kepalan kiri menangkis dan kepalan kanan mendadak memukul keras. Gerakan ini begitu cepat dan luar biasa ia mengira Hui-ang-kin pasti tidak terluput dari pukulan ini, tidak terduga Hui-ang-kin telah menaikkan kedua tangannya dan segera menahan kedua bahu lawan, berbareng terdengar ia membentak, "Pergi!" Tubuh Pahla yang besar bagai kerbau segera terlempar pergi. Orang banyak sama menjerit, Pahla sendiri pun semangatnya seperti sudah terbang. Tidak tahunya gerakan Hui-ang-kin ternyata begitu cepat, sudah melemparkan tubuh orang masih dapat menariknya kembali. 84 Setelah Pahla bisa berdiri tegak, ia mengusap keringatnya dan terus menjura. "Kepandaian nona sungguh sangat luar biasa, aku dan bangsaku dengan sungguh-sungguh mengangkat nona sebagai ketua serikat kita yang baru!" katanya kemudian dengan serius. Maka terdengar di seluruh padang rumput suara sorak-sorai yang bergemuruh, kepala dan wakil dari suku Sahji, Sahmal, dan Sinja semua berkerumun datang memberi selamat pada Hui-ang-kin. Berturut-turut Hui-ang-kin memenangkan tiga kali pertandingan, mengalahkan orang kuat dari daerah selatan, dengan cambuknya merobohkan empat penunggang kuda yang terpandai dan mengalahkan Pahla dengan telapak tangannya, tiap kemenangan menunjukkan keahliannya yang berlainan, keruan saja tiga bangsa dan empat belas kelompok suku tiada seorang pun yang tak kagum dan takut, juga mereka bersyukur bisa mendapatkan :eorang pemimpin serikat yang perkasa. Ketika Hui-ang-kin hendak menolak pengangkatan ini, tapi mana bisa dia menolak lagi, segera ia disongsong naik ke atas panggung, Nyo Hun-cong pun ikut naik ke atas. Dengan pelahan ia berbisik di telinga Hui-ang-kin, "Hui-ang-kin, terimalah pengangkatan mereka untuk menjadi 'Beng-cu' (ketua perserikatan)." Hui-ang-kin memandang ke sekelilingnya, lalu ia pun berkata pelahan, "Nyotaihiap, tetapi kau harus tetap tinggal di daerah selatan sini!" Sementara para kepala suku itu pun mengerumuni Nyo Hun-cong juga. "Betul, Nyo-taihiap kau tadi bertanding mewakili suku Lopuh, kau harus juga membantu Beng-cu kami yang baru!" kata mereka. "Siapa saja yang melawan tentara Boan, aku senantiasa siap membantunya," sahut Nyo Hun-cong dengan tertawa, "Nona Hamaya kini adalah tulang punggung pertahanan di daerah selatan sini, jika aku tinggal di sini aku akan membantu di bawah perintahnya." Mendengar perkataan Nyo Hun-cong itu, semua orang kembali bersorak lagi. 85 Hui-ang-kin lalu membayangkan ayahnya lagi dan bersama dengan para kepala dan wakil suku bangsa, mereka bersumpah setia dengan darah, Hui-ang-kin sendiri kini berlaku sebagai ketua serikat atau Beng-cu. Dengan begitu, suasana di padang rumput segera berubah menjadi riang gembira, pemuda-pemudi mengitari api unggun mulai menyanyikan lagi lagu yang memuja nama Hui-ang kin atau Si Selendang Merah. Sejenak saja terdengar suara, "Kita punya pahlawan wanita.....Hamaya, namanya yang tersohor di padang rumput....." bergema di angkasa luas. Kiai-Kiai dari suku Lopuh melihat semua orang dalam keadaan riang sekali, mereka pun merasa senang. Maka mereka lantas menyatakan sepanjang malam ini boleh bersuka ria sepuasnya untuk merayakan terpilihnya Hui-ang-kin sebagai Beng-cu atau ketua serikat dari suku-suku bangsa, dan memperbolehkan pemuda-pemudi bermain 'domba nakal'. Yang dinamakan permainan 'domba nakal' ialah suatu gabungan dari 'ilmu menunggang kuda' dan mengejar kekasih, pemuda-pemudi menaiki kuda dan berkejar-kejaran di padang rumput luas, pemuda di muka dan pemudi mengejar di belakangnya. Jika pemudanya terkejar oleh pemudinya, maka ia harus menerima pecutan cambuk dari pemudi sesukanya. Kelihatannya si pemudi memperoleh kemurahan, akan tetapi tidak gampang bagi pemuda-pemuda yang menginginkan pecutan pemudi, sebab pemudinya pun tidak semba-rangan mengejar dan memecuti pemudanya kalau bukan pemuda yang menjadi,pacarnya. Waktu itu Nyo Hun-cong sudah turun di bawah panggung dan bercampur di antara mereka, ia pun bernyanyi dan menari bersama dengan mereka. Sementara itu pasangan pemuda-pemudi yang menunggang kuda berkejaran di padang luas asyik dengan permainan 'domba nakal', sesaat suara pecut terdengar di sana-sini, seluruh tanah padang rumput penuh dengan suasana yang riang gembira. Nyo Hun-cong ikut merasakan kegembiraan itu, tiba-tiba orang-orang di kedua sampingnya pada minggir, ternyata Hui-ang-kin tidak diketahui entah sejak kapan telah turun dari panggung dan telah mendekatinya. 86 "Nyo-taihiap, kau tidak bermain 'domba nakal' juga?" tanyanya dengan tersenyum. Hati Nyo Hun-cong berdebar. "Tidak, aku tidak pandai menunggang kuda dan tidak tahu cara-caranya," jawabnya dengan cepat. "Kau tak usah gugup, aku tidak bermaksud memecutmu," kata Hui-ang-kin lagi dengan tersenyum pula, "Mereka orang muda bermain 'domba nakal' buat berlatih ilmu menunggang kuda? Aku paling suka suasana malam di padang rumput, maukah kau menemani aku pergi berjalan-jalan?" Mendengar itu, muka Nyo Hun-cong menjadi merah, merasa dirinya terlalu banyak berpikir yang bukan-bukan. Ketika ia hendak menjawab, ia lihat pemuda-pemudi di sekitarnya sedang memandang dengan tersenyum kagum, ia menjadi rikuh. "Kalau begitu baiklah, kita pergi berjalan-jalan, tetapi tak usah menunggang kuda, dengan langkah kita kiranya tak kalah dengan kuda mereka," ujarnya. Ia masih mencoba menghindari permainan 'domba nakal' dengan Hui-ang-kin. Angin malam di padang rumput sayup-sayup membawa bau-bauan rumput wangi, bintang-bintang berkelap-kelip seperti pelita yang sedang menari. Kedua orang im berjalan terus, makin lama makin jauh, tidak terasa telah jauh dari suasana ramai dan sampai di padang luas, di belakang mereka suara nyanyian yang memuja Hui-ang-kin sayup-sayup masih terdengar. Hui-ang-kin tersenyum simpul, agaknya seperti senang sekali. Tiba-tiba Nyo Hun-cong teringat oleh perkataan Abu tadi, pelahan-lahan ia menarik tangan Hui-ang-kin. "Hamaya, selamat dan berbahagialah, kau telah diangkat menjadi Beng-cu mereka," katanya pada Hui-ang -kin. Hui-ang-kin menjadi tercengang. 87 "Apa? Kau juga begini sungkan padaku, kepandaianku masih jauh dibandingkan kau?" sahurnya kemudian. Nyo Hun-cong tersenyum. Tiba-tiba ia berkata lagi, "Hui-ang-kin, kalau betul kau tidak suka cara-cara yang terlalu kaku, baiklah aku hendak bicara terus-terang padamu, apa kau akan menyesali diriku?" Mata Hui-ang-kin bersinar, agaknya ia terheran-heran. "Nyo-taihiap, jika aku ada kesalahan yang letaknya aku tidak tahu, bicaralah terus terang," katanya. Nyo Hun-cong berpikir sejenak, habis itu baru ia berkata lagi di bawah pandangan Hui-ang-kin yang tajam. "Hamaya," ia memulai, "Pemuda-pemudi di padang rumput semua memujamu, kepandaianmu juga memang tiada bandingannya di kalangan wanita dan boleh disebut gagah perkasa, tetapi apakah juga sudah terpikir olehmu pu-jaanpujaan semacam itu bisa juga menimbulkan angin pasir yang berbalik bisa mengubur dirimu?" "Im bukan aku yang menyuruh mereka menyanyikan lagu pujaan begitu, jika kau tak suka mendengarnya, aku dapat melarang mereka menyanyikannya," kata Hui-ang-kin. Nyo Hun-cong bergelak tertawa karena jawabannya. "Hui-ang-kin," katanya. "Kau ternyata tidak paham maksudku, aku sangat suka dengan lagu-lagu im, karena aku suka melihat rakyat gembala mempunyai pahlawan pujaannya, mereka bersatu padu di bawah orang pujaannya tentu bisa menimbulkan tenaga persatuan yang besar, dan kau, Hui-ang-kin, juga pantas dibuat pujaan lagu mereka!" "Tetapi bukan ini yang kumaksudkan, maksudku adalah, apakah kau sudah pernah memikirkan bahwa lagu-lagu pujaan ini juga bisa membawa bibit bahaya bagimu, Hui-ang-kin, masih ingatkah kau perkataan Abu sebelum binasa?" Hui-ang-kin melepaskan tangannya yang dipegang o-rang, ia memandang Huncong dengan penuh tanda tanya. 88 "Nyo-taihiap, apakah kauanggap perkataan Abu im memang betul?" tanyanya. "Hui-ang-kin," kata Hun-cong dengan sungguh-sungguh pula, "Kematian Abu memang sudah sepantasnya, tetapi apa yang ia katakan padamu, adalah bagian berharga untuk kaupikirkan, ia adalah kekasihmu, mengapa ia sampai berkhianat dan malahan berbalik memihak musuh?" "Itu adalah karena jiwanya yang rendah!" sahut Hui-ang-kin dengan muka merah padam. "Itu memang betul, jiwanya memang rendah dan busuk," kata Nyo Hun-cong, "Tetapi ia bisa berkhianat sedikitnya ada sangkut-pautnya dengan dirimu." "Maksudmu aku pun bersalah?" tanya Hui-ang-kin. Nyo Hun-cong memegang erat-erat lagi tangan Hui-ang-kin. "Betul," katanya. "Kau pun bersalah, Hui-ang-kin! Aku berkenalan denganmu memang belum lama, tetapi dalam beberapa hari ini aku telah dapat memahami bahwa semua orang memuja dirimu, semua mengatakan kau adalah pahlawan wanita, namamu tersohor di padang rumput, aku merasa dalam hatimu telah tumbuh semacam perasaan, perasaan ini adalah perasaan bangga di dalam hati!" "Kaukatakan aku bangga diri!" tanya Hui-ang-kin dengan nada kurang senang, "Kau bisa tanya pada bangsaku, aku terhadap mereka bukankah sangat ramah? Anak kecil sekalipun suka bersahabat denganku!" Nyo Hun-cong tertawa demi mendengar keterangan ini. "Nah karena rasa kebanggaanmu tidak kelihatan di lahir, maka sampai kau sendiri pun tidak merasakannya," katanya kemudian. "Kebanggaan di dalam hati, sering-sering hanya melihat orang yang paling dekat dengan dirimu," ia melanjutkan, "Abu pernah dekat denganmu, maka ia merasakan benar rasa kebanggaan pada dirimu, kau tidak pernah memandang dia sederajat denganmu, bukankah begitu, Hui-ang-kin?" 89 "Urusan Abu masih soal kecil, jika kau masih terus merasa kebanggaan pada dirimu tumbuh dalam hatimu, bahkan berkembang biak, maka Hui-ang-kin, benih itu pasti akan meracuni jiwamu!" "Hui-ang-kin, coba berterus-teranglah padaku, di kala kau mendengar suara orang yang memujamu, bagaimana perasaanmu? Apakah menimbulkan kegirangan pada dirimu? Atau menimbulkan kewaspadaanmu? Aku menerka, kau tentu sangat girang, andaikan lahirmu mengatakan tidak senang, tetapi di dalam hatimu kau tentu tetap girang, tidakkah begitu, Hui-ang-kin?" Huncong mengakhiri perkataannya. "Memang betul, Nyo-taihiap, begitulah sesungguhnya," Hui-ang-kin memanggutkan kepalanya, kemudian katanya, "Aku tidak membohongimu, memang sebenarnya adalah begitu." Setelah ia mengulangi perkataannya tadi, ia lantas diam saja, ia menggandeng tangan Nyo Hun-cong dan pelahan-lahan berjalan di atas padang rumput, lama dan lama sekali baru ia seperti sadar dari mimpinya. "Nyo-taihiap, aku berterima kasih padamu," katanya lagi sambil menghela napas. Mendengar im, Hun-cong merasa ganjalan hatinya segera hilang, ia mendongak ke atas, bulan ternyata sudah lewat di tengah langit dan mendoyong ke barat. Ia merasakan Hui-ang Hn juga seperti rembulan yang bersih tanpa noda lagi. Dengan girang ia bersiul-siul, Hui-ang-kin pun terharu oleh rasa girangnya, kemudian ia pun menyanyikan lagu gembira yang paling merdu di padang rumput dengan suara lirih. "Persoalan pokok sudah beres, kini bolehlah kita bermain sepuasnya," kata Nyo Hun-cong dengan tersenyum. Justru pada waktu itu sedang berlari lewat di depan sana seekor kambing dengan cepat seperti kaget oleh suara orang. Hui-ang-kin tertawa riang melihat kambing itu. 90 "Mari kita memburunya, kita boleh pula berlomba Gin-kang (ilmu meringankan tubuh), tetapi kau jangan mengatakan aku sombong atau bangga," ajaknya sambil menuding kambing itu. "Ini tiada sangkut-pautnya dengan kebanggaan, baiklah kau mengejar lebih dulu!" jawab Hun-cong. Baru selesai perkataannya, sekonyong-konyong Hui-ang-kin sudah mengejar ke sana bagaikan terbang, mirip pula segulungan bayangan putih yang bergulung-gulung di padang rumput. "Ilmu meringankan tubuh yang bagus!" puji Nyo Hun-cong. Segera ia pun melangkah dan mengudak dengan cepat pula. Kalau Hui-ang-kin berlari dengan cepat, maka Nyo Hun-cong pun mengejar dengan kencang, tidak lama mereka sudah melampaui kambing tadi, tetapi semangat mereka masih penuh, maka mereka masih terus lari berkejaran dengan cepat laksana angin kencang. Mereka menggunakan ilmu meringankan tubuh, larinya makin lama makin cepat, karena Nyo Hun-cong membiarkan Hui-ang-kin lebih dulu, selalu ia pertahankan beberapa puluh tindak di belakangnya. "Dapatkah kau mengejarku?" tanya Hui-ang-kin sambil berlari. "Lihat saja!" sahut Hun-cong. Ia segera mengumpulkan tenaganya dan menggunakan ilmu berlari cepat 'Patpoh- kan-sian' atau delapan langkah memburu tonggeret, beberapa kali naik turun ia sudah berhasil mendahului di muka Hui-ang-kin. Lalu segera pula ia membalik badan dan mengadang dengan kedua tangannya. "Hui-ang-kin, ilmu larimu sungguh bagus sekali, meski aku berhasil mengejarmu, tetapi dahiku pun sudah berkeringat!" ujarnya. "Aku tidak suka kau pura-pura merendah, lebih baik kau berterus-terang bilang aku yang menang," kata Hui-ang-kin dengan tertawa. 91 Setelah kedua orang tertawa sebentar, mendadak Hui-ang-kin berkata lagi, "Lihat, entah kita sudah lari berapa jauh, gunung yang ada di muka sana bernama gunung Mahsal, pemandangannya bagus sekali, bangsaku sering berburu dan bermain ke sana, berjalan mulai dari perkampungan kami, mereka sedikitnya harus berjalan satu hari penuh." Karena sedang gembira, lantas Hun-cong mengajak ke pegunungan itu. "Baiklah, mari kita coba main ke sana!" serunya. "Baiklah, kita boleh bermain sampai pagi hari baru kembali," sahut Hui-angkin setuju. Habis berkata segera ia mendahului lagi berlari ke depan. Tetapi baru saja mereka sampai di kaki gunung, tiba-tiba Hui-ang-kin berpaling dan berkata, "Dengarkan, di sana seperti ada suara orang." "Kita coba memanjat pohon besar itu," kata Hun-cong pula. Berbareng mereka lantas meloncat ke atas sebuah pohon besar di samping, sebentar saja mereka sudah berada di pucuk pohon. Mereka memandang ke bawah sana, terlihat di dataran yang miring di lereng gunung sana ada dua orang sedang bertarung dengan sengit, yang satu berdandan seperti orang Kazak dan memakai pedang, sedang yang lain berdandan orang Boan-ciu, tangan kiri memegang golok dan tangan kanan menggunakan pedang, gerakannya agak aneh. Nyo Hun-cong hampir berteriak setelah melihat dengan jelas. Ternyata yang memakai pedang panjang itu adalah Asta, dia ini adalah pejuang bangsa Kazak dan juga adalah adik angkat Nyo Hun-cong. Sebagaimana diketahui, sebulan yang lalu ketika sedang menyeberangi gurun pasir yang luas, mereka telah terpencar karena serangan angin topan yang hebat. Adapun orang yang berdandan macam orang Boan-ciu itu Nyo Hun-cong sendiri tidak kenal padanya. 92 Di bawah sinar rembulan, mereka berdua sedang bertarung dengan seru dan ramai. Orang itu tangan kirinya memakai golok dan tangan kanan menggunakan pedang, ternyata gerakannya sangat ruwet dan aneh, walaupun Asta adalah pejuang yang tersohor, tetapi masih tidak bisa menandinginya, ia terdesak mundur, apalagi di kaki gunung sana masih ada seorang lagi berperawakan tinggi besar, tangannya mengayunkan tombak, persis menutup jalan mundur Asta. "Kini kau mau menyerahkan petamu atau tidak!" teriak orang tadi sambil mendahului menghantam. "Hm, kau hendak merebut secara kekerasan, tidak nanti aku memberikan," sahut Asta dengan gusar. Orang berpakaian Boan-ciu itu tertawa menyindir, segera goloknya membacok dan pedangnya berbareng menusuk, beruntun ia memberi pukulan yang luar biasa. Asta jadi kerepotan, ia menangkis dengan pedang panjangnya, tetapi dia lantas berteriak kaget, ternyata pedangnya telah digaet lepas oleh senjata musuh. Dengan cepat Asta melompat pergi dan berebut jalan hendak lari, namun satu tusukan tombak segera memapak dia lagi. Rupanya orang yang berdandan seperti Kijin dari Boan-ciu tadi bernama Khu Tong-lok, dia adalah murid ketiga dari golongan Tiang-pek-san, 'Hong-luikiam' Ce Cin-kun. Yang menggunakan tombak panjang itu bernama Liu Se-giam, adalah adik seperguruannya yang nomor lima. Ce Cin-kun adalah jago silat kelas satu dari Kwan-gwa (daerah sebelah utara tembok besar), ilmu silatnya mempunyai keistimewaan tersendiri, gerakannya tidak sama dengan ilmu silat yang ada di daerah Kwan-lwe (daerah sebelah selatan tembok besar). Khu Tong-lok adalah muridnya yang terpandai, dengan tangan kanan kiri ia bisa menggunakan golok dan pedang berbareng dengan gerakan-gerakan aneh, Nyo Hun-cong sendiri pun merasa heran melihat gerak tipu serangan orang tersebut. 93 Karena ia hendak melihat jelas cara orang bergerak, maka sementara ia masih belum segera turun tangan. Sementara itu, begitu tombak Liu Se-giam ditusukkan, keburu Khu Tong-lok lantas berteriak, "Sute, biarkan dia hidup!" Tetapi belum habis perkataannya, sekonyong-konyong ada suara angin menyambar dari atas kepala, satu bayangan orang serupa burung besar teiah menyambar, belum sempat ia lihat dengan jelas sudah terdengar jeritan Liu Se-giam, tombaknya ternyata sudah direbut orang yang baru datang tiba-tiba ini. Kiranya Nyo Hun-cong baru saja menggunakan ilmu ginkangnya, 'Eng-kektiang- gong' atau burung elang menyerang dari angkasa, satu tangannya merebut senjata musuh, tangan yang lain menarik Asta ke sampingnya. "Kalian kenapa mengerubuti kawanku, hayo, lekas bilang, kalau ada alasannya aku lantas melepaskan kalian, jika tidak beralasan, hm, maka harus diberi sedikit tanda jasa padamu," bentak Nyo Hun-cong. Dan selagi Khu Tong-lok hendak menjawab, tiba-tiba dari atas pohon terdengar pula suara tertawa nyaring, menyusul kelihatan selendang merah melambai-lambai, segera melayang turun pula Hui-ang-kin seperti burung dari atas langit. "Hui-ang-kin, Hui-ang-kin!" teriak Liu Se-giam. "Fui, kau juga kenal aku?" Huiang- kin menjengek. Segera pula ia mencabut cambuk dan melolos pedangnya. "Ternyata kau juga dapat mempergunakan dua macam senjata berbareng, baiklah, kita boleh coba-coba," tantangnya pada Khu Tong-lok. "Hamaya, jangan dulu, coba dengarkan apa yang akan mereka katakan," Huncong mencegah. Lalu ia menarik Asta untuk diperkenalkan pada Hui-ang-kin. Girang Asta tidak kepalang, ia merangkul Nyo Hun-cong sambil melompatlompat dan memanggil berulang-ulang, kemudian ia bertanya, "Bagaimana kau bisa menyelamatkan diri? Dan bagaimana bisa berkenalan dengan pahlawan wanita Hui-ang-kin?" 94 Dalam pada itu, sejak Khu Tong-lok keluar dari pintu perguruannya, jarang ia menemui tandingan, tadi Nyo Hun-cong telah unjuk dua kali gerakan dan membikin dia terkejut sekali, tetapi ia masih mengira dengan golok dan pedangnya tak akan kalah pada lawannya. Kini ia lihat lawannya bertiga sedang berbicara dengan asyiknya seakan-akan tidak pandang sebelah mata pada dirinya, keruan ia menjadi gusar sekali. "Asta!" ia berteriak, "Aku tidak takut kau telah dapat bantuan, kalian bertiga maju semua aku pun tidak keder, petamu tetap harus kauserahkan padaku!" Hui-ang-kin menjadi sengit, ia mengayunkan cambuknya hendak maju, tetapi ia telah ditahan oleh Nyo Hun-cong. "Peta apa?" tanya Hun-cong pada Asta, "Apa milik mereka?" "Ceritanya terlalu panjang," jawab Asta. "Sama sekali aku tidak mengharapkan barang berharga, tetapi peta itu berasal bukanlah milik mereka, datang-datang mereka lantas ingin merebut, sudah tentu aku jengkel, maka lebih-lebih tidak akan kuberikan!" Mendengar penuturan begitu, Nyo Hun-cong segera berseru, "Cukup, aku pergi membereskan mereka, Hui-ang-kin, Asta, kalian tak boleh ikut membantu." Hui-ang-kin merengut kurang senang, sebaliknya Asta tersenyum simpul melihat kakak angkatnya maju memapak musuh. Dalam pada im Nyo Hun-cong telah melompat maju. "Baiklah, kamu dua orang ini tidak terima bukan? Nah, boleh terjang saja padaku semua." "Kita boleh satu lawan satu, dan coba adu senjata, kau beritahukan dulu namamu!" kata Khu Tong-lok. Nyo Hun-cong tertawa bergelak. 95 "Mana kamu berharga sampai aku menggunakan senjata dan beritahu namaku, hm, coba terimalah ini!" katanya sambil tangan kanannya yang memegang tombak yang direbut tadi, lalu ditimpukan kembali ke arah Liu Se-giam. Melihat angin tajam menyambar, mana berani Liu Se-giam menyambut senjatanya sendiri ini, ia berkelit ke kiri, tombak itu menancap masuk ke dalam batu, hingga api batu muncrat ke sana-sini. Meski Liu Se-giam sudah menggunakan seluruh tenaganya, baru bisa ia mencabut keluar tombak itu, tetapi mukanya sudah hijau pucat. Kemudian tertampak Hun-cong sengaja mengulur dan menekuk-nekuk lengannya. "Bagaimana?" katanya kemudian dengan menjengek, "Kamu berdua dengan senjata boleh maju menghantam aku yang bertangan kosong ini, apa kamu masih tidak berani? Hm, sungguh sampah yang tak berguna!" Khu Tong-lok melihat kembali Nyo Hun-cong telah menunjukkan satu gerakan 'Li-Kong Sia-cio' atau Li Kong memanah batu, melempar tombak sampai amblas ke dalam batu, hatinya sudah keder, tetapi setelah dia berpikir lagi, dirinya punya 'Hong-lui-to-kiam' selama ini telah menjagoi Kwan-gwa, orang ini sekalipun lihai, tetapi dengan tangan kosong masa aku harus takut padanya." Ia tidak kenal siapakah Nyo Hun-cong, tetapi Sutenya kenal pada Hui-ang-kin dan meneriakkan namanya tadi, nama Hui-ang-kin yang tersohor ia pun sudah mendengar. Karena itu, pikirnya, "Orang ini hendak menempur kami dengan tangan kosong, bagaimanapun aku tak akan bisa kalah padanya, hanya Hui-ang-kin yang namanya sudah lama dikenal sebagai pahlawan wanita nomor satu di daerah selatan sini, jika ia turun tangan, mungkin ia sama kuatnya dengan aku, sedang Suteku kepandaiannya lebih lemah, melawan orang ini mungkin kalah kuat." Selagi ia merenung, tiba tiba Hun-cong telah membentak lagi, "Bagaimana, jika kamu tidak berani maju, maka kamu harus minta maaf pada adikku ini!" Mata Khu Tong-lok berputar, lalu ia berkata, "Baiklah, kita berjanji dulu, kita bertarung terang-terangan, orang di samping tak boleh menyergap dengan senjata gelap, jika hendak membokong, kita boleh janji pakai cara lain saja?" 96 "Kau cerewet apalagi," gertak Hun-cong, "Kawanku pasti tidak ikut campur tangan, sebaliknya kalian boleh maju semua, supaya aku hemat tenaga!" Mendadak Khu Tong-lok menusuk dengan goloknya saking gemasnya. "Ini adalah kau yang janji sendiri, kalau mampus jangan kausalahkan aku," katanya. Tetapi tangan kiri Hun-cong telah menyampuk dan menekan, dengan pelahan ia menyentil batang golok musuh, sedang tangan kanan menggunakan gerakan lihai dari Kim-na-jiu, yaitu 'Kim-tiau-jiau-tho' atau elang emas mencengkeram kelinci, mendadak ia hendak merebut pedang Khu Tong-lok di tangan kanan, tetapi Khu Tong-lok telah menarik goloknya, tangan kanan dengan pedangnya melancarkan jurus 'Seng-liong-in-hong' atau menunggang naga memancing burung hong, dengan satu gerakan tetapi tiga macam serangan, ia menusuk tenggorokan dan membacok kedua pundak orang, ia menyerang dan juga berjaga dengan susah payah baru bisa menghindarkan serangan Nyo Hun-cong dengan jurus Kim-na-jiu tadi. "Se-giam, lekas!" ia berteriak pada Sutenya, "Ia hendak mencoba kekuatan kita berdua mengapa kau masih tinggal diam di situ!" Sebenarnya Liu Se-giam sudah merasa jeri, tetapi dibentak oleh Suhengnya, terpaksa ia maju dengan tombaknya dan menyerang dari samping. Gerakan Hong-lui-to-kiam dari Khu Tong-lok memang aneh sekali, tetapi Liu Se-giam pun tidak lemah. Golok, pedang dan tombak, dua orang tiga macam senjata, dengan kencang sekali mereka mengembut Nyo Hun-cong. Asta yang menonton di pinggir sampai hatinya berdebar-debar dan berkeringat dingin, tetapi Hui-ang-kin malah dengan tenang dan tersenyum berbisik padanya, "Kau punya kakak angkat sudah akan menang!" Ternyata Thian-san-kiam-hoat adalah kumpulan dari berbagai intisari cabang ilmu silat yang diciptakan oleh Hui-bing Siansu, sedang terhadap Hong-luikiam- hoat, walaupun Nyo Hun-cong belum pernah menyaksikan, tetapi setelah menyaksikan sebentar tadi ia sudah dapat meraba caranya. Gerakan Khu Tong-lok walaupun aneh, tetapi tidak terlepas dari cara satu menyerang, satu menjaga, yakni dengan dasar kerjasama, jika menyerang 97 dengan goloknya, pedangnya ditarik untuk menjaga, cara bertempur begini memang cermat sekali. Setelah Hun-cong memahami cara musuh, telapak tangan segera berubah dan tiap-tiap gerakannya mendahului musuh menyerang lebih dulu, pedang lawan belum menusuk ia sudah berkelit menarik tangannya, lawan menarik senjatanya, ia lekas menubruk menghantam lagi. Dengan begitu sesudah lewat beberapa gerakan, cara permainan Khu Tong-lok sudah menjadi kalut. Nyo Hun-cong bersiul panjang, telapak tangan berubah lagi, dengan rapat ia mencecar Khu Tong-lok, telapak tangan kirinya malang membabat dan tegak membelah, gerakannya pun sempa golok dan pedang, sedang jari tangan kanannya keras seperti besi bersambaran di antara senjata musuh hendak menutuk jalan darah lawannya. Walaupun Hun-cong bertangan kosong, tetapi ia seperti memakai dua senjata, keruan Khu Tong-lok terdesak hingga kalang kabut. Liu Se-giam yang melihat Suhengnya berulang menghadapi bahaya, walaupun hatinya jeri, terpaksa ia harus menolong dengan mati-matian, ia memutar tombaknya menyerang dari sisi lain dan menusuk pundak orang. Tetapi Nyo Hun-cong tanpa membalik kepalanya, mendadak ia membalik tangannya membetot dan membentak, "Pergi!" Tombak musuh ternyata sudah dirampas oleh Hun-cong dan Liu Se-giam pun terpental dua-tiga depa jauhnya. Lekas Khu Tong-lok melompat keluar dari kalangan pertempuran. "Sudah cukup," ia berteriak, "Aku bukan tandinganmu, peta wasiat pun aku tidak kehendaki lagi. Sobat, bolehkah aku mengetahui namamu?" "Baik, kini boleh kuberitahukan padamu, aku pun tak takut kalian menuntut balas," kata Nyo Hun-cong bergelak tawa. "Dia saja kamu tidak mengenalnya, mana boleh disebut lagi jago darimana?" kata Asta di samping dengan menyindir, "Kamu dengarkan yang jelas, ia adalah Nyo Hun-cong, Nyo-taihiap!" 98 Khu Tong-lok bergidik, pikirnya, "Pantas ia begini lihai, dendam ini agaknya selama hidup tak mungkin bisa dibalas lagi." Maka ia merasa masgul, ia menarik Liu Se-giam dan hendak pergi. "Nanti dulu!" bentak Nyo Hun-cong tiba-tiba. "Siapakah mereka im?" ia berbalik tanya pada Asta. "Mereka mengatakan sendiri sebagai murid Hong-lui-kiam Ce Cin-kun dari Kwan-gwa, dan datang kemari hendak mencari harta karun, mereka sungguh ganas sekali," jawab Asta. Nyo Hun-cong teringat pernah mendengar dari Suhunya, bahwa empat puluh tahun yang lalu, Ce Cin-kun dari Kwan-gwa pernah mengelilingi daerah Sinkiang dan naik ke Thian-san untuk mencari dia. Dikatakan lagi bahwa Ce Cin-kun ini di Kwan-gwa masih terhitung golongan yang baik, ilmu silatnya pun mempunyai keistimewaan tersendiri, mengingat sama-sama dari kalangan persilatan, Hui-bing Siansu telah buka pintu menemuinya. Lalu kedua orang telah berdiskusi mengenai ilmu pedang di puncak Thian-san, tetapi Ce Cin-kun tidak mau dipandang lebih muda, lagaknya sedikit sombong. Karena tiada persesuaian paham, kemudian mereka pun bubar. "Karena itu," pikir Hun-cong, "Guru kedua orang ini dengan Suhuku sendiri pernah bertemu walaupun tidak sama suku bangsanya, tetapi jika mereka tidak membantu tentara Boan memusuhi kita, agaknya tidaklah menjadi soal membiarkan mereka pergi." Berpikir begitu, ia lalu membentak lagi, "Kalian berdiri baik-baik di situ, jangan berani mencoba sembarang bergerak, tunggu aku jelaskan dulu persoalannya dan nanti aku biarkan kalian pergi." Sambil berkata begitu, ia memungut satu batu dan hanya pelahan diremasnya batu itu hingga hancur menjadi kerikil, waktu itu justru sedang terbang lewat serombongan burung. Hun-cong mengayunkan tangannya, seketika burung terbang itu jatuh bergelimpangan terkena sambitan batu. 99 "Jika kamu tak mendengar kata-kataku, itulah contohnya," ancam Nyo Huncong. Melihat kemahiran orang meremas batu, Khu Tong-lok telah berpikir, "Keahlian semacam ini meski Suhu sendiri juga bisa, tetapi belum tentu matang sampai begini." Sudah tentu ia menjadi kuncup nyalinya, mana berani membantah lagi. Lalu Nyo Hun-cong menarik diri Asta ke samping, ia tanya lagi bagaimana keadaan mereka setelah berpisah selama ini. Maka barulah ia mengetahui bahwa waktu terjadi angin ribut di padang pasir, Asta lantas menggali tanah dan mendekam untuk menghindari serangan angin yang berlangsung beberapa lama, setelah angin topan itu berhenti barulah ia menyingkirkan pasir yang menguruk di atas tubuhnya dan bangun untuk memeriksa keadaan sekitarnya. Tetapi kawan seperjalanan mereka yang seluruhnya berjumlah delapan qrang, kecuali Nyo Hun-cong dan Mokhidi sudah tidak diketemukan, kelima orang lainnya dan empat ekor unta sudah tertanam hidup-hidup oleh gundukan pasir, waktu semuanya digali keluar, mereka sudah tak bernyawa lagi. Asta menangis sedih, ia kubur secara sederhana kawan-kawannya yang sudah meninggal itu. Masih beruntung, kantongan air dan rangsum keringnya tidak pecah teruruk. Asta menggendong kedua kantong air dan sekantong rangsum serta mengiris sepotong daging unta, lalu berjalan lagi menuju selatan. Tetapi padang pasir setelah terjadi angin ribut, keadaan dan bentuknya sudah berubah semua, apalagi tak mempunyai pedoman, pada hakikatnya tidak dapat membedakan arah atau jurusan lagi. Setelah berjalan lagi beberapa hari, Asta masih belum dapat melintasi padang pasir itu, sementara itu air dan rang-sumnya sudah habis setengahnya. Pada waktu senja, Asta memeriksa bekas tapak kaki sendiri di atas padang pasir, ""tapi makin dilihat makin menakutkan, ia jadi mengkirik sendiri. 100 Tiba-tiba di padang pasir ia menemukan lagi bekas-bekas kaki orang lain, tidak terasa ia girang sekali, lekas ia kejar mengikuti bekas kaki itu. Akhirnya ia melihat di atas satu gundukan pasir tergeletak seorang tua, lengannya terluka dan masih belum sembuh, Asta menyuapi dia dengan air dan rangsum, tak lama kemudian orang tua itu baru dapat berbicara. Menurut keterangannya, ia juga telah bertemu musuh di padang pasir, setelah terluka ia berlari sekuatnya, tetapi tidak diduga telah bertemu angin badai seperti yang dialami Asta, meski sudah dapat melewatkan bahaya serangan angin im, tetap tidak diketemukan jalan keluar dari padang pasir. Tenaga orang tua im sudah habis dan tak bersemangat lagi, walaupun setelah minum air keadaannya sedikit baik, tetapi ia sendiri menduga pasti takkan bisa keluar dari padang pasir, maka ia lalu menyuruh Asta tak usah mengurusi dia lagi dan boleh mencari jalan untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Namun Asta sudah biasa dengan wataknya yang suka menolong, bukan saja ia tidak meninggalkannya, malah ia tetap melayani orang tua im. Orang tua itu sangat berterima kasih padanya, dengan suara terputus-putus ia berbicara dengan Asta, Asta pun tidak berbohong, ia menceritakan asal-usul yang sebenarnya. Setelah orang tua itu mengetahui Asta adalah pahlawan yang melawan pasukan Boan, ia menghela napas lega. "Aku adalah bangsa Uigor," tuturnya. "Tentara Boan memasuki daerah sini, sedikit pun aku belum menyumbangkan tenagaku, sungguh aku harus merasa malu." "Tetapi kau dan aku walaupun berlainan tujuan, bagaimana pun kita sama-sama menginginkan rakyat yang berada di padang rumput sini bisa hidup sejahtera dan melewatkan hari-harinya dengan aman, percayakah kau pada kata-kataku ini?" tanyanya. Asta manggut-manggut. Maka orang tua im lantas berkata terus terang, "Selama hidup aku mengembara di padang rumput, perlunya adalah hendak mencari satu tempat penyimpanan harta, tidak, tidak, mungkin malah beberapa puluh atau 101 beberapa ratus tempat. Jika harta im dapat ditemukan, rakyat di padang rumput pasti semua akan ikut mendapatkan faedahnya. Belakangan ini aku telah menemukan satu tempat penyimpanan harta besar, asalkan lewat antara daerah selatan dan gua Merak, tentu bisa tiba pada tempat im." Habis berkata begitu, ia sekali lagi memandang Asta dengan penuh kepercayaan. "Aku tahu, aku sudah bakal mati, sekarang juga aku serahkan peta wasiatku padamu!" Habis berkata ia mengeluarkan sepotong kulit domba, di atasnya tergambar peta, malahan juga ada tulisannya. Bercerita sampai di sini, segera Asta mengeluarkan kulit domba tersebut dan diperlihatkan pada Nyo Hun-cong. Apa yang Hun-cong lihat pada kulit domba im adalah beberapa tulisan, "Jika mendapatkan 'sumber air hitam', seluruh dataran padang rumput pasti akan bercahaya". "Apakah artinya ini?" tanya Nyo Hun-cong dengan penuh keheranan. "Aku pun tidak mengerti," kata Asta. Hun-cong memeriksa lagi peta itu, di atas kulit itu terlihat gambar padang rumput dengan satu gunung yang tinggi, di tengah gunung tergambar jalan yang berliku-liku, di tengah puncak gunung yang mengitari terdapat suatu tanah datar, di atas tanah datar itu tenukis banyak tanda-tanda. "Apa yang terlukis di atas ini, apakah bukan gunung yang sekarang kita injak ini?" kata Nyo Hun-cong dengan heran. "Ya, betul, jika tidak, bagaimana aku bisa sampai di sini," sahut Asta. "Cara bagaimana kau bisa bertemu dengan orang itu?" tanya Nyo Hun-cong. "Setelah orang tua itu menyerahkan peta padaku, kakinya berkelojot sekali dan kemudian meninggal," tutur Asta lagi. "Aku telah menguburnya di padang pasir, pikiranku segera penuh dengan pertanyaan, siapakah orang tua ini? 102 Barang atau harta apakah yang dia cari selama hidupnya? Hal ini kupikirkan semalam suntuk." "Esok harinya, ketika aku sedang bersiap-siap hendak melanjutkan perjalanan, tiba-tiba dua orang ini telah datang, begitu sampai, mereka tanya padaku apakah melihat orang tua itu, aku telah menceritakan menurut apa yang sebenarnya te"jadi. Tapi mereka malah melolos senjata dan mengancamku agar menyerahkan peta ini. Nyo-taihiap, kau tentu tehn, watakku yang tidak suka pada kekerasan, apalagi perkataan orang tua itu sebelum meninggal begitu serius, bahkan dikatakannya ada sangkut-pautnya dengan kepentingan rakyat padang rumput, keruan saja tidak begitu gampang aku mau menyerahkan peta itu pada mereka." "Akhirnya aku lawan mereka, tetapi kepandaian kedua orang ini ternyata boleh juga, Nyo-taihiap, tadi kau sudah menyaksikan sendiri, aku memang bukan tandingan mereka, tetapi mereka tak punya air, juga kurang rangsum, aku mengetahui kelemahan mereka, aku lantas balas mengancam jika berani mendesak aku lagi akan kupecahkan kantong air dan membuang rangsum, biar kita mampus bersama." "Setelah mereka berpikir, lantas berkata, 'Ya, sudahlah, kami tahu jalan di sini, kaubawa air dan rangsum, maka biarlah kami bawa kau keluar dari padang pasir ini, sebaliknya kau harus beri air dan rangsum pada kami.'. Aku pun menyatakan setuju, dan setelah berjalan tiga hari, akhirnya kami tiba di luar padang pasir, di depan lantas tertampak ada gunung ini. Kala itulah, mereka segera mengganas lagi dan memaksa aku menyerahkan peta pada mereka dan terus mengejar sampai di atas gunung ini." "Baiklah, mari kita pergi melihat ke sana!" kata Nyo Hun-cong setelah penuturan Asta selesai. Dengan menggiring Khu Tong-lok dan Liu Se-giam, mereka berlima mendaki dari kaki gunung, ternyata betul di atas gunung dan di" bawah apitan puncakpuncak gunung terdapat tanah datar, di tengah tanah datar tersebut terdapat satu telaga kecil, tapi telaga penuh dengan bunga dan banyak pepohonan, pemandangannya agak indah. "Tempat ini, dulu kami sering datang bermain di sini dan mandi di telaga, apakah harta besar itu tersimpan di sini?" kata Hui-ang-kin. 103 Segera ia memburu maju dengan kudanya menuju pinggir telaga, tetapi mendadak ia berteriak, "Auuh!" Hun-cong kaget, lekas ia menyusul ke sana, ia lihat air telaga berwarna hitam mengkilap, permukaan air seperti tertutup selapis minyak. Nyo Hun-cong berkerut kening melihat keadaan ini. "Kenapa air ini begitu kotor, bagaimana kau bisa mandi di sini?" katanya. "Dulu mana bisa keadaannya seperti ini, dulu airnya bening sampai terlihat dasarnya, terang dan segar bahkan di tengah telaga masih ada bunga teratainya!" Hui-ang-kin menerangkan. Nyo Hun-cong coba mergelilingi pinggiran telaga, tetapi ia merasa tanah di situ empuk dan lunak. Selagi ia heran, tiba-tiba tidak jauh di tepi telaga, di permukaan tanah mendadak menyembur keluar satu pancuran air hitam, Nyo Hun-cong dan yang lain menjadi tercengang, mereka tidak mengerti 'barang aneh' apakah pancuran air hitam im? "Apakah ini yang dikatakan bisa memberikan cahaya di padang rumput atau 'sumber air hitam' yang dimaksudkan itu?" pikir Nyo Hun-cong. Di daerah Sinkiang, memang kaya dengan tambang minyak, hanya saja beberapa ratus tahun yang lalu, orang masih belum mengerti bagaimana cara menggali dan mengolahnya, sehingga kekayaan alam yang begitu besar masih terpendam di bawah tanah. Orang tua im sejak kecil terlahir di daerah padang pasir dan telah mengelilingi seluruh Sinkiang, lima puluh tahun yang lalu ketika dengan tidak sengaja ia menemukan pancuran minyak asli yang menyembur dari bawah tanah, hal mana telah membuatnya heran sekali. Kala im adalah musim rontok, cuaca cukup dingin, ia menyalakan api untuk menghangatkan badannya, letikan api telah menjilat minyak asli tadi, maka segera berkobarlah, pancuran minyak im hanya sedikit yang mengalir keluar ke atas permukaan, maka sekejap saja sudah terbakar habis. 104 Orang itu bernama Adatoh, juga pandai ilmu silat dan punya cita-cita yang besar, maka segera ia bersumpah hendak mencari 'sumber air hitam' itu di seluruh Sinkiang. Setelah ia mencari berpuluh tahun, pernah juga ia menemukan beberapa tempat yang sedikit sekali mengandung minyak yang dapat mancur keluar sendiri. Pada masa itu, tentu ia tidak paham tentang apa yang dinamakan pengeboran dan mengolah minyak, ia hanya berpikir, "Jika bisa menemukan 'sumber air hitam' yang besar, di padang rumput pasti akan terang bersinar." Yang dimaksudkan terang bersinar adalah masa yang jaya. Setelah berpengalaman beberapa puluh tahun mencari 'sumber air hitam', dengan pelahan ia sudah dapat membedakan tempat-tempat yang dapat menghasilkan minyak, karena tanah pasirnya berlainan sekali. Ia menemukan tempat dataran di gunung Mahsal tadi, agaknya tanah di sini sama seperti tempat yang mengandung minyak lainnya. Dalam kegirangannya, ia telah melukiskan petanya dan bermaksud kembab mencari suku bangsanya untuk datang menggali dan mengetahui apakah di bawah tanah sini ada 'sumber air hitam' yang dia cari itu. Tetapi ia tidak menduga sesampainya di padang pasir, ia telah bertemu dengan musuhnya dan terluka berat, malahan juga tidak menemukan jalan keluar dan akhirnya binasa di tengah gurun. Taksiran Adatoh memang tidak salah, di tanah dataran ini memang kaya kandungan minyaknya, hanya lapisan minyaknya terlalu dalam di bawah permukaan, maka tak sampai menyembur keluar. 5 Tidak terduga sebulan yang lalu, di padang pasir telah terjadi angin badai, seperti yang telah dialami oleh Nyo Hun-cong itulah, di gunung Mahsal ini telah terjadi gempa bumi pula, tanahnya menjadi retak, minyak asli pelahanlahan juga merembes keluar, maka telaga kecil yang airnya bening terang pun segera menjadi hitam kehijauan. Sementara itu, Nyo Hun-cong dan Hui-ang-kin sedang terkesima melihat 'sumber air hitam' itu, mereka tidak memperhatikan Khu Tong-lok dan Liu Se-giam, kedua orang ini menggunakan kesempatan itu untuk mundur 105 beberapa tindak, kemudian Khu Tong-lok memberi tanda dengan matanya kepada Liu Se-giam, ia lantas mengeluarkan batu apinya dari kantong, sekali menggosok geretan apinya secepat kilat segera dilemparkan ke tengah telaga. "Apa yang kau perbuat?" bentak Nyo Hun-cong dengan kaget. Selagi tubuhnya bergerak hendak balik menangkap mereka, mendadak suara letusan segera terdengar dan menyembur keluarlah satu riang api, sekejap saja seluruh permukaan telaga berubah menjadi lautan api, dengan cepat pula api menjalar naik ke tepi. "Celaka!" keluh Nyo Hun-cong. Dengan satu tangan ia mengangkat Asta, tubuhnya lantas melompat pergi jauh, baru saja ia bisa berdiri tegak, asap tebal dan api sudah menjulang tinggi. Dalam kepungan asap yang tebal, Hui-ang-kin ikut berlari keluar, hanya karena terlambat satu tindak saja, kaki, tangan dan dadanya telah terbakar oleh api. Lekas Nyo Hun-cong memberi pertolongan dan tidak dapat mengawasi lagi Khu Tong-lok dan Liu Se-giam. Kedua orang ini menggunakan kesempatan itu untuk kabur. Di saku Nyo Hun-cong selalu tersedia 'Pik-ling-tan', semacam pil yang terbuat dari bunga teratai salju dari Thian-san, pil ini dapat menyembuhkan segala luka dalam dan menghilangkan racun api. Lekas ia keluarkan pil tersebut dan diminumkan pada Hui-ang-kin. "Beratkah lukamu?" tanyanya. Hui-ang-kin kelihatan meringis menahan sakitnya, jawabnya, "Tidak apa, istirahat sebentar saja tentu juga sudah baikan." Baju sebelah atas Hui-ang-kin telah robek terbakar, kulitnya yang putih bersih terlihat jelas. 106 Hun-cong tak berani melihat terus, kemudian ia melepaskan bajunya sendiri dan diselimutkan pada Hui-ang-kin. Nyo Hun-cong menyaksikan api berkobar bergolak di tengah telaga, ia menghela napas, "Ini betul-betul telah 'terang bersinar'." Sementara itu Hui-ang-kin yang rebah di tanah melihat seluruh udara penuh dengan asap tebal yang berbau sangit. Tiba-tiba Hui-ang-kin melompat bangun, teriaknya, "Celaka, Celaka!" Habis berteriak begitu, "Aduuh!" ia menjerit kesakitan lagi dan jatuh kembali. Nyo Hun-cong tidak pedulikan rasa kikuk lagi, lekas ia membangunkan gadis ini. "Kenapa?" tanyanya. "Aku tidak apa-apa, yang kukuatirkan adalah suku bangsaku," kata Hui-angkin. "Tempat bangsamu berkumpul, dari sini sedikitnya ada ratusan li, bagaimana api bisa membakar mereka?" ujar Hun-cong. "Kau sudah bertempur sekian tahun, masakah masih belum tahu?" kata Huiang- kin, "Tentara Boan di padang rumput banyak mendirikan 'Hoan-hwe-tai' (panggung api), dengan menggunakan api sebagai tanda berkumpulnya pasukan, sedangkan kami suku-suku di selatan, jika keadaan genting segera membakar kotoran kuda, penggembala yang melihat asap memenuhi angkasa segera akan memburu datang." "Asap kotoran kuda yang terbakar baunya sangat busuk, rakyat gembala tahu hal im. Kini kaulihat, api yang menjulang tinggi ini membawa bau busuk pula, aku kuatir pasukan Boan dan orang-orang kita bisa memburu datang ke sini berbarengan dan bila kedua belah pihak bertemu, tentu pertempuran besarbesaran tak dapat dihindarkan lagi. Maka kita lebih baik lekas kembali saja, lekas!" kata Hui-ang-kin akhirnya. 107 "Omonganmu memang betul, mengapa aku bisa menjadi begini goblok!" sahut Hun-cong sambil mengetok kepalanya sendiri. Sebenarnya bukannya ia tidak mengerti, hanya karena ia hendak mengobati luka bakar Hui-ang-kin, maka ia tidak ingat akan hal tersebut. Ia telah memeriksa luka Hui-ang-kin, ternyata bukan luka parah, tetapi sementara tidak dapat menggunakan ilmu mengentengkan tubuh. Setelah bingung sejenak, lalu ia berkata, "Biarlah aku menggendongmu saja." Hui-ang-kin sama sekali tidak merasa kikuk, ia merangkul leher Nyo Hun-cong dan membiarkan pemuda ini menggendongnya keluar dari tempat im. Menggendong orang luka di punggungnya, Hun-cong tak berani berlari seperti waktu datangnya dengan cara balapan memburu kambing, dengan sendirinya kecepatannya menjadi berkurang banyak, dengan begitu saja ia masih harus sering berhenti menanti Asta yang ikut di belakangnya. Setelah berlari tidak begitu lama, cuaca sudah terang, tiba-tiba dari jauh terlihat debu mengepul seperti ada pasukan besar yang mendatangi. Nyo Hun-cong kembali memberikan satu pil 'Pik-ling-tan' pada Hui-ang-kin. "Aku akan mulai berlari dengan cepat, kau berhati-hatilah!" katanya sambil tangan yang lain menarik tubuh Asta dan segera berlari secepat terbang. Lewat setengah jam, kira-kira sudah berlari hingga tujuh atau delapan puluh li, di belakang mereka tiba-tiba terdengar suara kelenengan kuda, lebih dari sepuluh penunggang kuda ternyata telah datang, panah mereka berseliweran menyambar. Nyo Hun-cong terpaksa menurunkan Hui-ang-kin lebih dulu, ia berpesan pada Asta, "Kaujaga dia, aku akan menggempur mundur serdadu-serdadu yang mengejar ini." Selesai berkata Hun-cong segera melayang pergi, kedua tangannya memapak panah-panah yang berseliweran itu. Ia tangkap panah-panah im dan segera disambitkan kembali, dengan begitu, sebentar saja ia telah dapat melukai beberapa orang. 108 Penunggang kuda yang lain segera mengurung, namun Hun-cong telah menggunakan kecepatan tubuhnya, ia naik turun, pedang pusakanya menusuk dan telapak tangan memotong, lebih sepuluh orang musuh tidak seberapa lama sudah bersih terbunuh. Dengan suara tertawa panjang, Nyo Hun-cong merebut dua busur panah dan dua kantong anak panah serta dua ekor kuda, dengan langkah lebar ia berjalan kembali ke tempat Hui-ang-kin berada. Tetapi, beberapa penunggang kuda ini ternyata adalah regu penyelidik bagi pasukan induk, setelah Hun-cong bertempur dengan mereka, pasukan perintis musuh sudah mengepung lagi. Terpaksa Nyo Hun-cong bersama Asta membawa Hui-ang-kin berlindung di belakang sebuah bukit pasir, bila serdadu Boan ada yang mendekat segera mereka panah. Panahnya ternyata tidak pernah luput, beberapa penunggang kuda yang hendak menerjang naik semua tewas terpanah. Serdadu Boan terpaksa hanya melihat dari jauh dan memanah mereka secara ngawur. Mereka mana mempunyai tenaga sebesar Nyo Hun-cong, panahnya kebanyakan tidak sampai pada sasarannya, andaikan ada yang bisa sampai pun kekuatannya sudah lemah. Nyo Hun-cong dan Asta kadang menyampuk panah itu dan balas memanah lagi. Setelah pasukan perintis tiba, seterusnya tentu pasukan induk. Hun-cong lihat beruntun telah tiba beberapa pasukan besar yang mendatangi dari jauh, setelah dekat segera mereka menerjang, melihat gelagatnya bagaimana pun tidak mungkin Hun-cong bisa meloloskan diri. Sementara itu di belakang terdengar pula bunyi tambur perang yang gemuruh, seperti kedua belah pihak sedang saling kejar mengejar. Dalam keadaan yang genting itu, dari samping sana tiba-tiba telah menerjang datang empat orang penunggang kuda dengan cepat. Berturut-turut Nyo Hun-cong melepaskan dua anak panah dengan maksud memanah orang yang mengepalai, tetapi orang itu ilmu menunggang kudanya 109 ternyata sangat mahir, dengan memiringkan tubuhnya ke samping dan menerobos lewat di bawah perut kuda, segera ia telah balik kembali di atas kudanya. Kedua panah yang dilepaskan ternyata luput semua. "Orang sendiri!" seru Hui-ang-kin tiba-tiba. Waktu Hun-cong menegas, barulah ia mengenali mereka itu adalah empat jago dari suku Sinjia yang semalam bertanding dengan Hui-ang-kin. Cepat laksana angin keempat jago penunggang kuda itu segera sudah menerjang datang. "Kami sudah terkurung oleh musuh, kalian lekas ikut bersama kami menerobos keluar!" teriak mereka. Salah seorang dari keempat jago itu segera menarik Hui-ang-kin ke atas kudanya dan segera menerjang keluar ke sana lagi. Nyo Hun-cong dan Asta cepat melompat naik ke kuda yang tadi mereka rebut dan segera ikut menerjang, tetapi mereka sudah telanjur terpotong pula oleh tentara Boan. Hun-cong lihat keempat penunggang kuda itu sudah berkumpul kembali dengan suku mereka yang berjumlah dua ratus orang lebih. Walaupun di belakang ada yang mengejar, tapi ada banyak harapan untuk bisa lolos, maka ia bersama Asta segera melakukan perlawanan dan bertempur mati-matian. Tidak seberapa lama, Asta terluka dan lantas tertawan oleh tentara Boan. Hun-cong sendiri pun tidak urung terluka pundaknya. Sesaat kemudian ia mendengar suara jeritan ngeri korban pertempuran di sana-sini, agaknya kepala-kepala suku sudah datang dengan bala bantuannya. Sementara itu terdengar suara orang memanggil tanpa henti-hentinya, "Hamaya engkau ada di mana?" Kiranya mereka masih belum tahu kalau Huiang- kin sudah ditolong keempat orang penunggang tadi, maka mereka masih terus mencarinya. 110 Kepala Suku Tahsan, Pahla, dari jauh sudah melihat Nyo Hun-cong, akan tetapi tidak dapat mendekat karena terhadang oleh serdadu Boan. Kala itu, pertempuran di padang rumput berlangsung dalam keadaan gaduh. Dalam pada itu Hun-cong melihat di tengah pasukan Boan berkibar bendera pengenal Nilan Ciangkun, pikirnya, "Eh, kiranya orang ini juga sudah datang!" Baru ia berpikir, mendadak pundaknya terkena bacokan lagi. Lekas Nyo Hun-cong balik menyerang, telapak tangannya telah membikin roboh beberapa orang, pedang pendeknya terus melindungi tubuhnya. Pertempuran yang gaduh makin memuncak, suara pertempuran makin hebat, suara jeritan ngeri saling bunuh membunuh pun makin mengerikan. Sekonyong-konyong kedudukan tentara Boan menjadi kacau, berpuluh ribu serdadunya mendadak mundur dengan cepat seperti arus air. Dalam keadaan demikian walaupun Nyo Hun-cong memiliki kepandaian yang luar biasa, tapi berada di tengah-tengah lautan manusia, tak dapat ia menahan banjirnya arus manusia itu, terpaksa ia pun ikut terbawa mundur. Saat im para serdadu Boan hanya ingat lekas melarikan diri, mereka sudah tak peduli lagi bahwa di antara pasukannya sendiri masih tersembunyi seorang musuh. Serdadu-serdadu yang mundur serupa datangnya ombak yang beruntun mendampar, malahan tiada seorang pun yang mencoba mengurung atau hendak menghantam Nyo Hun-cong. Dalam pertempuran yang gaduh itu, kuda Nyo Hun-cong telah roboh binasa terkena panah, sekuatnya ia melompat bangun, dengan lengannya yang kuat ia dapat menyambar beberapa serdadu musuh, tetapi ia masih tidak mampu keluar dari kepungan, masih terus terbawa arus pasukan yang sedang mundur karena kalah itu, tubuhnya tak terasa harus ikut berlari tanpa bisa menguasai diri lagi. Gudang Ebook (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net Dalam keadaan begitu, tiba-tiba di antara pasukan Boan muncul seorang yang berteriak kepada kawan-kawannya, "Bala bantuan kita selekasnya akan datang, dilarang mundur, yang melanggar akan dihukum mati!" Akan tetapi seketika mana bisa terhenti, ada beberapa serdadu yang bermaksud berhenti, namun mereka jadi tergencet dan terbawa lari lagi oleh datangnya pasukan yang mundur dari depan. Nyo Hun-cong mengeluh bakal celaka dan terpaksa berlari, tiba-tiba ia melihat bendera tanda kebesaran Nilan Ciangkun berkibar di samping sana. Tertampak Nilan Siu-kiat yang naik seekor kuda bagus dengan dikawal rapat sedang membentak dan berteriak-teriak. Dalam keadaan sedemikian ributnya, sudah tentu orang tidak mengerti apa yang diteriakkannya. Tiba-tiba Nilan Siu-kiat dapat melihat wajah Nyo Hun-cong juga, ia terkejut. Kudanya segera dibelokkan dan menerjang ke arah Hun-cong, beberapa serdadu segera rubuh diterjangnya. Waktu tangannya diayunkan maka beberapa anak panah bagaikan kilat sudah menyambar ke muka Hun-cong. Hun-cong yang terdesak di antara rombongan orang yang berjubel-jubel im tidak bisa berkelit, ia coba mengegos sebisanya tetapi tidak urung bahunya sudah terkena satu anak panah. Nyo Hun-cong masih bisa menenangkan pikiran dan mengumpulkan tenaganya, kedua tangannya segera meraih dua orang serdadu Boan terdekat terus dilemparkan ke arah Nilan Siu-kiat. Keruan kuda Nilan Siu-kiat terperanjat dan membeda! menerjang ke samping, pengawal Nilan Siu-kiat berduyung-duyung mengikuti panglimanya, tetapi Nyo Hun-cong sendiri tetap terbawa mundur oleh arus pasukan yang kalah. Sebentar saja bendera tanda kebesaran pun makin mendekat dan tinggal berjarak dua tiga puluh depa. Lewat sebentar pula, Hun-cong merasakan bahunya pegal kaku, ia berpikir, "Apakah tadi terkena panah beracun?" 112 Dalam keadaan yang ribut ia sempat merogoh sakunya dan mengeluarkan sebutir 'Pik-ling-tan', pil itu pun segera ditelannya. Meskipun begitu ia masih merasa dadanya mual dan kedua kakinya pun mulai lemas. Pada saat itu, jika umpama ia lengah sedikit saja pasti akan mati terinjakinjak oleh pasukan yang sedang mendesak mundur itu. "Aku tak boleh mati, saudara-saudara dari bangsa Kazak belum aku temukan. Aku tak boleh mati!" begitu teriaknya dalam hati. Tekadnya itu seperti mendatangkan satu kekuatan besar pada dirinya, ia segera berlari lebih kencang lagi. Pasukan yang mundur itu mulai tersebar, mulai terpencar menjadi kelompokkelompok yang berusaha melarikan diri, arus manusia yang menekan segera terasa berkurang. Hun-cong mengambil kesempatan itu untuk melepaskan diri, ia terus berlari menuju ke tempat yang tidak banyak orangnya, la lari dan lari terus. Ia tak tahu sudah berlari berapa lama, tiba-tiba ia melihat di depan ada satu bidang tanah cekung, di dalamnya seperti ada suara orang dan kuda. Apakah ada juga pasukan yang bersembunyi di sini?" demikian pikirnya. Tetapi kala itu Nyo Hun-cong sudah tidak dapat berpikir lebih banyak lagi, ia meloncat ke dalamnya, dan ketika ia hendak melompat naik ke atas bukit di atasnya, sekonyong-konyong kedua kakinya menjadi lemas, tulang-tulang seperti hendak retak, baru saja ia melompat beberapa tindak ia sudah terjatuh lagi. Namun Hun-cong masih belum pingsan, ia masih mengerti itu adalah karena terlalu banyak menggunakan tenaga, maka badannya tak tahan. Ditambah pula terluka oleh panah beracun, otot dagingnya menjadi kaku, ia merangkak naik ke tengah beberapa batu cadas yang mengelilinginya dan duduk bersila, ia telan lagi sebutir Pik-ling-tan. Pik-ling-tan ini berguna sekali untuk luka dalam dan juga bisa menghilangkan racun, hanya kalau habis menelan harus duduk tenang. Tadi Nyo Hun-cong berlari dengan kencang, sebenarnya sangat bahaya, beruntung dia punya tenaga dalam cukup tinggi, dengan memaksakan diri ia 113 menahan serangan racun sehingga tidak sampai menyebar, maka tidak begitu berbahaya baginya. Kini setelah semangat dan tenaganya habis, tentu tak boleh bergerak semannya lagi. Setelah Nyo Hun-cong duduk, dengan pedang pendeknya ia mengiris bahunya yang terluka, ia menekan dan memijit dengan jarinya, segera darah hitam kental mengalir keluar, setelah mengalir kira-kira secangkir baru menyusul keluar darah merah. "Jahat sekali!" kata Hun-cong dalam hati sambil membungkus lukanya dengan sobekan bajunya. Saat ini darah yang terkena racun sudah keluar, tetapi tenaga dan semangatnya belum pulih. Hun-cong bersemedi sebentar, ia mencoba menyembuhkan diri dengan Khi-kang. "Tolonglah aku, Thian! Janganlah ada orang lain yang datang!" doanya dalam hati. Dengan tenang Nyo Hun-cong duduk mengumpulkan tenaga dan melancarkan aliran darah, terhadap urusan disekitarnya seakan-akan tidak mau tahu dan juga tidak mau melihat. Entah sudah lewat berapa lama, ia merasa tenaganya sudah pulih dan perutnya panas, ia mengerti sudah tidak berbahaya lagi barulah kemudian ia berdiri. Ia memandang sekelilingnya, keadaan sudah jauh malam, angin meniup silir semilir, di sekitar lembah gunung ini sunyi senyap, satu bayangan orang pun tidak ada, kedua pihak pasukan masing-masing entah sudah berada di mana. Nyo Hun-cong coba menggerakkan otot miangnya, ia merasa selain tenaga agak kurang sedikit, lain-lainnya sudah pulih seperti biasa. Tiba-tiba ia teringat tadi waktu ia melompat ke dalam cekungan tanah, seperti ada suara orang dan kuda. Entah apakah masih berada dalam cekungan tanah? Kawan atau lawan, ini perlu dilihat terlebih jelas. 114 Maka ia lantas mencabut pedangnya dan melompat naik ke atas bukit sana, ia melihat lembah di bawah bukit itu, rumput alang-alang panjangnya melebihi tinggi orang dewasa, di antara tumpukan rumput sana ada sebuah kereta yang tampaknya sudah rusak. Nyo Hun-cong coba mendengarkan, ia tengkurap ke tanah, tiba-tiba ia mendengar suara orang yang sudah pernah dikenalnya. "Jangan kau coba-coba mendekati aku!" terdengar suara bentakan. Ketika dipertegas lagi Nyo Hun-cong menjadi terperanjat sekali. Bukankah ini suara Nilan Ming-hui? Lekas Hun-cong melompat keluar. Ia lihat di samping kereta rusak itu ada dua orang laki-laki yang berbadan tegap sedang menggertak seorang wanita muda yang ada di atas kereta. Pikir Hun-cong, "Ilmu silat Nilan Ming-hui pun tidak terlalu rendah, mengapa ia bisa diancam oleh orang, apakah seperti aku, karena ia terluka?" la menjadi sangsi, terdengar pula seorang di antara mereka telah berteriak lagi, "Kau nona kecil ini, sungguh tidak tahu kebaikan dan keburukan, kau sudah menjadi tawanan kami, kau harus menuruti kemauanku, kami tidak hendak membunuhmu dan juga tidak ingin memukulmu, mengapa kau masih berteriak-teriak?" "Hm, siapa berani coba-coba mendekatiku segera akan kuberi sekali tusukan," demikian Nilan Ming-hui mengancam. "Kamu jangan kira aku tak dapat bergerak, jika kamu berani mendekat, lihat saja kalau aku tak membunuh kamu!" Tetapi kedua orang itu telah bergelak ketawa. "Sungguh tidak nyana, seorang nona kecil seperti kau ini berani omong begitu besar," kata mereka. Saat itulah Nyo Hun-cong melompat keluar dengan tiba-tiba. Semula kedua orang itu agak kaget, tetapi mereka segera maju untuk mencegat Hun-cong. 115 "Siapa kau?" bentak mereka berbareng. Nyo Hun-cong lihat mereka berdua ini berdandan seperti suku bangsa Uigor dan badan mereka masih berlepotan darah. "Kalian dari kelompok suku mana? Kenalkah pada Hui-ang-kin?" Hun-cong balas bertanya. Kedua orang itu agak terperanjat demi melihat cara berpakaian Nyo Huncong. "Apakah kau pengikut Hui-ang-kin?" tanya mereka lagi dan dijawab Hun-cong dengan mengangguk-angguk. "Kami adalah dari suku Kedar, aku tahu Hui-ang-kin telah menjadi Beng-cu dari daerah selatan, cuma tempo hari kelompok kami belum ikut berkumpul di sana," tutur orang yang menjadi pimpinannya itu. "Kalau kalian semua adalah pejuang dari daerah selatan sini, maka kita adalah kawan sendiri, lepaskanlah nona ini!" kata Nyo Hun-cong. Sementara im Nilan Ming-hui telah mengenali siapakah pemuda yang sedang berbicara membela dirinya ini. Segera ia berseru pula kepada Nyo Hun-cong dalam bahasa Han. "Nyo-taihiap! Usirlah kedua orang ini," katanya. Sudah tentu kedua orang itu tak mengerti apa yang dikatakan im, mereka lantas bertanya kepada Nyo Hun-cong. "Bagaimana? Apakah kau kenal dia! Kau adalah kawan panglima Boan?" tegur mereka. Tetapi Nyo Hun-cong geleng-geleng kepala. "Aku adalah kawan Hui-ang-kin, juga sahabat nona ini, kalian jangan menahan dia!" sahurnya. Orang yang menjadi kepala tadi tiba-tiba tertawa menyindir. 116 "Kau menakut-nakuti aku dengan nama Hui-ang-kin? Hm, kau mengerti aturan atau tidak?" katanya, "Ia adalah tawanan kami, sekalipun Hui-ang-kin yang datang sendiri pun ia tak bisa menyuruh kami melepaskan dia. Hm, agaknya kau juga telah suka padanya bukan? Terus-terang aku juga menginginkan dia menjadi istriku, sedang saudara ini menginginkan kereta dan senjatanya, kau datang belakangan, maka tiada bagianmu!" Nyo Hun-cong terkejut mendengarnya. Tiba-tiba ia teringat bahwa rakyat gembala di padang rumput, dulu sering karena berebut tanah menggembala dan sumber air lantas saling bertempur, menurut peraturan pada suku bangsa itu, apabila ada lawan yang tertawan, maka ia dipaksa membudak pada yang menang, siapa yang menangkap tawanan im terserah pada keputusannya. Belakangan setelah tentara Boan-jing datang, persatuan di antara suku-suku bangsa agak bertambah erat, soal saling bunuh sudah jauh berkurang, tetapi hanya soal tawanan masih belum ada pembatalan yang jelas. Kini kedua orang ini mengemukakan peraturan yang sudah turun-temurun itu, sesaat Nyo Hun-cong berbalik menjadi bingung dan tak bisa menjawab. "Nyo Hun-cong, mengapa kau tidak bantu aku mengusir mereka?" teriak Nilan Ming-hui, "Apakah kau hendak mempedayai aku bersama mereka?" "Ada aku di sini, mereka tidak dapat mencelakaimu, kau tak usah takut!" seru Hun-cong. Tetapi belum habis perkataannya, kedua orang im sudah hendak menubruk ke atas kereta. Dengan cepat Hun-cong mengulurkan kedua tangannya, dengan enteng dia tarik mereka turun kembali. "Apa maumu?" bentak kedua orang itu dengan gusar dan berbareng membacok dengan goloknya. Nyo Hun-cong kembali mengulurkan tangannya dan menjepit dengan kedua jarinya, segera sisi belakang golok sudah terjepit, orang im dengan sekuat tenaga hendak menarik kembali senjatanya, tetapi tetap saja tidak berhasil. 117 "Nanti dulu," kata Hun-cong, "Sebaiknya kalian memandang diriku dan melepaskan dia, akan kuberi kalian masing-masing sepuluh ekor kuda." "Kau ini siapa, mengapa harus melihat mukamu?" bentak orang yang satunya lagi. "Aku datang dari sebelah utara, namaku Nyo Hun-cong, apakah kamu tidak pernah mendengarnya?" kata Nyo Hun-cong dengan tersenyum. Nyo Hun-cong mengira setelah mereka mendengar namanya, sedikitnya akan memberi muka padanya, tidak terduga setelah kedua orang itu agak terperanjat, mereka bahkan terus bergelak tertawa. "Kau betul-betul adalah Nyo Hun-cong?" tanya yang seorang, "Nyo Hun-cong telah membantu orang Kazak bertempur selama beberapa tahun, lebih-lebih ia harus tahu aturan, jika soal benar dan salah pun tidak bisa membedakan, buat apa lagi kami berperang?" "Kau telah menyaru sebagai orang yang bernama Nyo Hun-cong?" bentak seorang yang lain lagi, "Nyo Hun-cong mana bisa datang ke sini seorang diri? Aku melihat kau begitu rapat dengan puteri panglima Boan ini, bahasa yang dipakai entah bahasa Han atau Boan-ciu, terang kau adalah sahabat lamanya. Hm, kau tentu adalah mata-mata musuh!" Nyo Hun-cong menjadi gusar dan gugup, ia mengerti peraturan tentang tawanan di padang rumput memang buruk sekali, sejak lama Nyo Hun-cong sudah berpikir hendak mencari jalan membantu mereka menghilangkan kebiasaan jelek itu, akan tetapi sesuatu kebiasaan umumnya tidaklah gampang dirombak begitu saja dalam waktu singkat, lagi pula ia sedang disibukkan dengan perlawanan pada tentara Boan, maka hingga kini ia masih belum sempat mengemukakannya, kini bila hendak menerangkan pada kedua orang ini, seketika pun kiranya takkan bisa bikin mereka mengerti. Selagi Nyo Hun-cong tertegun, tiba-tiba mereka meronta melepaskan tangannya terus menubruk pula ke arah Nilan Ming-hui. Dalam keadaan tak terduga itu, Hun-cong terpaksa mengambil dua potong kerikil dan lantas ditimpukkan. 118 Keruan kedua orang itu mengeluarkan suara jeritan, "Aduhh", mereka sudah tertimpuk kena siku kakinya tempat hiat-to atau jalan darah, mereka terus berlutut tanpa bisa berkutik lagi. Dan selagi Hun-cong hendak maju, tiba-tiba terdengar dua suara jeritan ngeri, kedua orang tegap itu sudah bergelimpangan di tanah, darahnya muncrat membasahi tanah. Ternyata waktu Nilan Ming-hui melihat kedua orang ini menubruk maju dan Nyo Hun-cong ternyata tidak mencegah, ia menjadi gusar sekali, maka dengan cepat ia tim-pukkan dua buah pisaunya. Kedua orang itu telah tertutuk hiat-tonya oleh Nyo Hun-cong, sudah tentu tidak dapat berkelit lagi, maka semua tertusuk tepat pada hulu hatinya oleh pisau terbang itu. Kejadian itu berlangsung secepat kilat, karenanya Hun-cong menjadi tercengang sejenak tetapi ia segera mendekati si gadis. "Ming-hui, mengapa kau begitu ringan tangan?" demikian tegurnya. Tetapi Nilan Ming-hui sudah menangis tersedu-sedu. "Kiranya hatimu adalah begitu, orang lain hendak merampas aku untuk dinodai, kau bukannya membela tetapi malah menyalahkan aku!" teriaknya. Hari Hun-cong menjadi lemah oleh tangis dan ratapan Ming-hui. Pikirnya, dia menjaga diri, aku memang tak bisa menyalahkan dia. Maka ia lantas naik ke atas kereta, ia mengusap air mata si nona dengan lengan bajunya. Ia lihat rambut Ming-hui kusut bertebaran dan mukanya penuh kotoran darah. "Apakah kau terluka?" tanyanya. Saat itu, Nilan Ming-hui seperti telah bertemu dengan sanak keluarganya, tiba-tiba ia menjatuhkan dirinya ke bahu Nyo Hun-cong sambil menangis tersedu. 119 "Ya, aku terluka, pundakku panas kaku rasanya, lekas kau periksa, apakah sudah terkena senjata rahasia beracun?" sahutnya kemudian. Dalam keadaan begitu, Nyo Hun-cong tidak bisa tinggal diam, ia lantas mengusap kering noda darah di muka si gadis. "Kau telah membunuh orang sampai terciprat begitu banyak darah," sahurnya. "Ya, aku kan harus menyelamatkan jiwaku, kalau aku tidak membunuh, tentu akulah yang akan dibunuh. Mengapa kau masih belum memeriksa lukaku, aku telah terkena senjata rahasia perempuan setan itu," kata Nilan Ming-hui menerangkan. Hati Nyo Hun-cong saat itu ruwet sekali, ia ragu-ragu, ia mengerti orang yang dibunuh Nilan Ming-hui pasti adalah pejuang-pejuang dari rakyat gembala, apakah ini bukan berarti gadis ini adalah musuhnya? Tetapi ia pernah menolong jiwanya, lagi pula orang yang ada di hadapannya sekarang ini adalah gadis yang harus dikasihani. Namun bila ia berpikir pula, dalam keadaan perang yang gaduh seperti ini susah menanggung bahwa orang tidak akan membunuh, karenanya ia hanya bisa menghela napas panjang. "Apakah kau datang bertempur membantu ayahmu?" tanyanya kemudian. "Maukah kau merawat aku lebih dulu? Kau sedikit pun tidak sayang padaku, sebentar kalau racun menjalar aku tentu bisa mampus," sahut Ming-hui. Hun-cong menurut, segera ia memeriksa lukanya, tetapi ia tidak melihat ada darah, ia menggunakan pedang pendeknya untuk merobek sedikit baju di pundak orang, maka terlihat pundaknya sudah hitam bengkak. "Ha, ternyata betul kau telah terkena jarum beracun!" serunya kaget. Ia lekas keluarkan dua butir pil Pik-ling-tan dan menyuruh Ming-hui lekas menelan. "Dapatkah kau menahan sakit?" ia bertanya lagi. "Apa?" tanya Nilan Ming-hui dengan tidak mengerti. 120 "Jarum beracun ini harus diambil dengan batu sembe-rani, tetapi di sini tidak ada benda itu, maka kalau hendak mengobati harus dicabut dahulu," kata Nyo Hun-cong. "Kau boleh mencabutnya, aku sanggup menahan sakit," sahut Nilan Ming-hui. Maka dengan tangan kirinya, Hun-cong menahan pundak orang. Karena jaraknya terlalu dekat, segera tercium bau wangi yang merangsang hidung, tempat di mana tangannya memegang adalah daging yang empuk menarik, ini adalah untuk pertama kalinya Nyo Hun-cong dekat dengan perempuan. Keruan hatinya tergoncang, ia lekas membelah sedikit kulit dagingnya, setelah menemukan jarum beracun im, ia jepit dengan jarinya lantas dicabut, beruntun ia mencabut tiga jarum perak, ia memijit pula darah yang beracun supaya keluar dan membungkus lukanya dengan sobekan baju. "Kau boleh tiduran dulu," ujar Hun-cong kemudian. Tetapi ia menjadi terkejut demi menegasi ketiga jarum ini. Senjata rahasia beracun yang kecil sekali ini kalau bukan orang yang Lwekangnya sudah sempurna betul tidak mungkin bisa menggunakannya, sebenarnya siapakah gerangan penyerangnya ini? Selagi ia hendak bertanya, tiba-tiba Nilan Ming-hui sudah bicara sendiri. "Sebenarnya aku mengikuti ayah pindah bersama pasukannya dan bermaksud kembali ke kota Ili, tetapi di tengah jalan kami melihat ada tanda api," begitu ia menerangkan, "Ayahku membawa tentaranya lantas memburu ke sini, karenanya aku juga harus ikut kemari. Tak terduga begitu sampai di sini, segera mengalami pertempuran yang gaduh itu, aku bertemu dengan empat orang penunggang kuda, aku berhasil membunuh dua di antara mereka, tetapi di antara mereka terdapat seorang perempuan, ia telah menggerakkan tangannya sekali dan aku lantas terluka olehnya!" Mendengar penuturan ini, air muka Nyo Hun-cong tiba-tiba berubah. "Hui-ang-kin!" serunya tiba-tiba. "Hui-ang-kin?" tanpa tertahan Nilan Ming-hui pun ikut berteriak. "Kau kenal dia?" tanyanya lagi. "Toako, balaskanlah dendamku ini!" 121 Sementara itu sambil berkata dengan manja, kepalanya sudah diletakkan di pangkuan Nyo Hun-cong. Panggilan yang tadinya 'Taihiap' kini pun sudah berubah menjadi Toako atau kakak, dengan setengah gusar dan setengah aleman ia mengucapkan kata-katanya tadi. Tetapi Nyo Hun-cong menyahut dengan rasa sedih dalam hati, kemudian dengan pelahan ia bangunkan orang. "Ming-hui dendam ini tidak bisa dibalas lagi!" katanya dengan rasa haru. "Kenapa?" tanya Ming-hui sambil menarik muka, lalu katanya lebih lanjut. "Oh, mengertilah aku, Toako tentu telah mencintai perempuan setan dari padang rumput itu!" Tiba-tiba Hun-cong memegang kencang kedua pundak orang, kedua matanya menatap tajam. "Ming-hui, apa yang kita bicarakan ini adalah sungguh-sungguh," katanya dengan suara yang berat dan kereng, "Coba katakan, manusia macam apakah Hui-ang-kin ini dalam pandanganmu? Apakah ia adalah iblis perempuan? Apakah musuhmu? Jika dia tidak melukaimu dengan jarum beracunnya, apakah kau juga benci padanya?" "Apakah karena ia bermusuhan dengan bangsamu? Atau karena ayahmu sering menyebut dia setan, iblis, dan menyuruhmu membenci dia, bukankah begitu?" tanya Hun-cong lagi. Sekaligus Hun-cong telah mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan itu, perasaannya penuh dengan kemendongkolan tetapi juga terharu, ia menantikan jawaban si gadis. Akan tetapi Nilan Ming-hui begitu molek, begitu cantik, Nyo Hun-cong yang berdiri di sampingnya seperti merasakan kehangatan, tetapi karena perkataan orang tadi yang seperti membawa bayangan gelap, membikin ia merasa dingin pula. Pada waktu itu, hatinya telah ada satu keputusan, jika Ming-hui berdiri di pihak ayahnya dan membenci Hui-ang-kin karena dia ini adalah pahlawan wanita dari padang rumput, maka gadis ini adalah musuhnya pula dan ia akan membunuhnya, atau sedikitnya tidak akan gubris dia lagi. 122 Justru keputusan yang tersebut belakangan itulah yang membikin ia terharu, sampai suaranya menjadi gemetar. Di lain pihak Nilan Ming-hui memandang Nyo Hun-cong dengan heran, ia tidak mengetahui apa yang terkandung dalam pikiran Nyo Hun-cong, ia hanya merasakan keadaan yang serius, ia paham perkataan Nyo Hun-cong sudah di luar persoalan asmara. Perkataannya bukan lagi seperti perkataan terhadap kekasih lagi, tetapi perkataannya seperti telah dipersembahkan bagi suatu perjuangan yang suci. Jiwa Hui-ang-kin begitu juga, oleh karena itu persahabatan di antara mereka begitu erat dan tak bisa putus. Karena itulah Nilan Ming-hui merasakan semacam kesedihan yang aneh. "Dengarkanlah omonganku ini," katanya kemudian dengan suara rendah, "Aku benci peperangan, kau juga pernah berkata padaku demikian, bukan? Ya, walaupun kita benci perang, tetapi justru peranglah yang membawa kita terlibat ke dalamnya, kalau ada perkataan nasib, maka ini adalah nasib kita yang sudah ditakdirkan." "Aku tidak kenal Hui-ang-kin, tetapi sejak aku datang ke padang rumput sini, aku lantas sering mendengar orang menyebut namanya. Ya, memang tidak salah perkataanmu, ayahku, bangsaku, semua mengatakan dia adalah perempuan setan, setan yang membunuh manusia tanpa berkedip, membunuh orang seperti membabat rumput, terhadap dia aku pun timbul rasa takut." "Tetapi aku juga tak percaya seluruh perkataan ayah, aku mengerti, waktu kami masuk ke sini pun telah membunuh orang tidak sedikit. Ya, tetapi ini toh adalah peperangan, kami membunuh mereka, dan mereka membunuh kami, kami menamakan Hui-ang-kin setan iblis, siapa tahu dia pun menamakan ayah setan iblis?" "Kadang aku malah berpikir, seorang nona muda seperti Hui-ang-kin, menunggang kuda perang dan berlari kian kemari di padang rumput, ia dihormati bangsanya, tetapi dikutuk oleh orang kami, tidak peduli bagaimana pun ia tetap adalah seorang pahlawan." "Terus terang saja, secara diam-diam aku pun pernah mengagumi dia!" 123 "Aku tidak kenal Hui-ang-kin, tetapi sampai pada waktu aku terluka oleh jarum beracunnya, aku telah menerka, perempuan yang pandai silat itu tentu adalah Hui-ang-kin. Ya, di waktu jarum beracunnya membuat aku kesakitan, maka aku membenci dia, benci karena gerak tangannya begitu keji." "Selain itu, aku masih ada persoalan lain pula yang membuat kubenci dia, sudahlah, Toako, aku tidak akan berkata lagi, aku tahu kau adalah sahabatnya yang paling baik." Sehabis berkata begitu tiba-tiba Nilan Ming-hui menjadi malu dan menundukkan kepala, matanya seperti ada sinar yang menggetarkan hati orang. Nyo Hun-cong menghela napas lega. Ia tahu, Nilan Ming-hui masih tetap benci pada Hui-ang-kin, tetapi benci ini jauh lebih enteng dibanding dengan benci yang ia kuaurkan im, bencinya ini tidak serupa dengan benci ayahnya. Perkataannya ada yang samar, ia memandang posisi perang di antara kedua pihak adalah sama, 'Ini toh adalah perang, kita membunuh mereka, mereka juga membunuh kita', seakan-akan dalam hal ini tidak ada soal putih dan hitam atau salah dan benar, ini adalah tidak betul, tidak betul! Dalam hati Hun-cong dengan tegas ia ingin mengatakan, 'tidak betul!'. Banyak perkataan yang hendak dia ucapkan padanya, agar gadis ini bisa membedakan antara yang salah dan yang benar. Tetapi ia tahu, pengertian ini tidak begitu saja dapat diterima oleh Ming-hui. Di samping im, ia merasa di antara orang Boan-ciu terdapat seorang wanita seperti dia ini sudah merupakan satu keistimewaan, di dalam perasaan mereka seperti juga ada tempat yang sama, ada semacam perasaan yang aneh, aneh sebab dengan anak musuh bisa ada persamaan perasaan. Tanpa terasa Nyo Hun-cong telah mengusap-usap rambut Nilan Ming-Hui. "Ming-hui," katanya kemudian pelahan-lahan, "Aku tidak menyalahkan kau lagi, dan kau juga jangan membenci Hui-ang-kin pula, kau terluka oleh jarumnya dan anggap dia terlalu ganas, tetapi apakah kau tahu, aku pun terluka oleh panah beracun dan hampir tewas?" 124 "Kau suruh aku membalaskan dendammu, tapi apa pula yang akan kauperbuat untuk membalaskan dendamku?" tanya Hun-cong pada aldiirnya. Nilan Ming-hui menjadi heran oleh kata-kata ini. "Memang kepandaianku dibandingkan kau masih terpaut jauh," sahutnya kemudian. "Tetapi bagaimana kau bisa tahu aku tidak bisa membalaskan dendammu? Beritahu aku, siapa yang melukaimu dengan panah beracun." "Ayahmu!" sahut Nyo Hun-cong dengan dingin. Mendengar itu, seketika Ming-hui seperti disambar petir, mukanya sekejap saja berubah menjadi pucat sekali, ia melompat bangun, tetapi segera roboh lagi dengan lemas. Namun Nyo Hun-cong sudah memegangnya. "Kenapa kau?" tanyanya. Tetapi Nilan Ming-hui telah memejamkan matanya, ia merasa sedih sekali, "Sekarang kau tentu benci sekali padaku," katanya kemudian dengan pilu. "Mengapa aku benci padamu, kau toh bukan ayahmu!" sahut Hun-cong. Tetapi Ming-hui masih belum bisa memahami perasaannya, hatinya laksana gelombang ombak yang bergolak. Ya, sejak ia bertemu Nyo Hun-cong, ia telah tertarik oleh semangat kepahlawanannya, setelah berpisah, dalam hatinya lantas seperti bertambah sesuatu, tetapi juga seperti berkurang sesuatu. Hanya dalam mimpi mereka beberapa kali bertemu, tak terduga kini si pemuda ini betul-betul telah berada di sampingnya, malahan ia telah rebah di pangkuannya. Akan tetapi saat itu ia merasakan bahwa jarak antara dia dan Hun-cong begitu dekat, tetapi juga begitu jauh! "Ia adalah milik Hui-ang-kin dan bukan milikku!" pikiran semacam ini terus bergolak dalam hatinya dan seperti jarum yang tajam sedang menusuk-nusuk, sakitnya melebihi jarum Hui-ang-kin yang berbisa tadi. 125 Tiba-tiba Hun-cong melihat Ming-hui seperti bunga yang layu, mukanya makin pucat dan napasnya makin sesak. Lekas ia pegang nadinya, ia merasakan denyutannya cepat luar biasa, ia lihat kulit mukanya kaku kejang, dalam hati ia menjadi heran, "Aku telah mencabut jarum beracun tadi, tetapi mengapa sakitnya berbalik begini berat dan berbahaya?" Seketika timbul semacam firasat pada Nyo Hun-cong seakan-akan merasa ketakutan, ia ambil lagi dua butir pil Pik-ling-tan yang terbuat dari teratai Thian-san itu untuk di-telankan pada Ming-hui. "Kau boleh istirahatlah, jangan kau kuatir, akan kubawa kau keluar dari sini!" katanya pelahan. Semalaman Nilan Ming-hui terus menerus bermimpi buruk, ia terus mengigau, kadang bahkan menangis dan terjaga dari tidurnya, dan berteriak, "Toako, jangan benci diriku!" Tetapi Nyo Hun-cong juga terus menghibur dia, "Aku tidak benci padamu!" Namun Ming-hui masih tetap mengigau begitu. Malam telah lewat, siang hari telah tiba kembali. Di angkasa gurun penuh dengan gumpalan awan putih yang indah karena sorotan sinar matahari. Nyo Hun-cong yang berjaga semalam, badannya terasa letih, tetapi ada orang sakit yang memerlukan penjagaannya, semacam rasa kewajiban menguatkan dirinya, ia harus membawa gadis ini keluar dari bukit ini. Di lembah yang sunyi ini tidak ada obat-obatan dan juga tiada makanan, kalau tinggal di sini terus tentu hanya menantikan Kematian belaka. Jika dibawa keluar, bila bertemu pasukan Boan, ia akan menyerahkan Ming-hui dan ia sendiri bisa lantas melarikan diri, sebaliknya bila bertemu pejuang penggembala, dengan pengaruhnya ia masih dapat menyelamatkan diri Minghui. 126 Maka setelah Hun-cong memperbaiki kereta rusak itu, ia letakkan Nilan Minghui di atasnya, lalu dengan pelahan-lahan ia mendorong kereta keluar dari lembah gunung itu. Di padang rumput di mana-mana hanya terlihat mayat yang bergelimpangan, di udara penuh dengan gerombolan elang-elang lapar yang menyergap ke bawah untuk memakan bangkai manusia. Ada elang raksasa yang kedua sayapnya bila dipentang lebarnya beberapa depa, kalau sedang menyambar turun dari atas membawa angin yang mengeluarkan suara keras, sungguh keadaannya sangat mengerikan. Waktu itu di padang rumput seorang manusia hidup pun tidak terlihat, yang tertampak hanya beberapa ekor kuda yang tak bermajikan sedang berlari kian kemari tanpa tujuan. Nyo Hun-cong bergidik, ia komat-kamit bergumam sendiri, "Perang, perang! Bilakah tidak ada perang lagi!" Kemudian Hun-cong menangkap dua ekor kuda tak bertuan im dan lantas dipasang di keretanya, ia mencari lagi sedikit makanan dan ditaruh di atas kereta dan segera dengan keretanya berjalan menuju selatan. Sepanjang jalan pun hanya mayat belaka, pasukan kedua belah pihak yang bertempur kemarin, kini entah telah sampai di mana. Pelahan-lahan, mayat-mayat mulai sedikit, tetapi manusia hidup masih tetap belum bisa dijumpainya. Sementara itu sakit Nilan Ming-hui makin lama ternyata makin berat, suhu badannya panas dan tidak hentinya mengigau, napasnya pun makin lemah. Padang rumput yang luas seaka" akan tiada ujungnya. Malam kemarin begitu banyak orang berada di padang rumput kini telah lenyap, Nyo Hun-cong mendorong kereta dan berjalan terus di padang luas, ia merasa anehnya kesunyian. Sedang sakit Nilan Ming-hui membuat ia semakin kuatir. 127 Sang surya yang terbit dari arah timur lambat-laun sudah hampir terbenam ke barat lagi. Kedua pipi Nilan Ming-hui merah membara, jantung Hun-cong berdebar melihat wajah yang begitu menggiurkan. Tetapi kekuatirannya itu hanya 'sinar yang membalik', hanya kemolekan im sudah di tepi jurang kematian. Kini Hun-cong tidak kikuk lagi tentang laki perempuan, dengan pelahan ia membuka baju Ming-hui dan memijit-mijit untuk melancarkan jalan darahnya. Hun-cong pernah mempelajari cara mengobati dengan jarum, tetapi ia tidak membekal jarum, terpaksa dengan jarinya ia memijit di antara urat nadi tempat-tempat yang perlu. Sebentar kemudian pelahan-lahan Nilan Ming-hui telah mulai sadar kembali. "Toako," tiba-tiba ia bertanya, "Aku tahu aku bakal mati, maukah kau katakan padaku dengan sesungguhnya, sedikitpun jangan membohongi aku, maukah kau?" "Bicaralah, aku pasti akan menjawab dengan sejujurnya!" sahut Hun-cong. Tetapi muka Nilan Ming-hui lantas menjadi merah jengah sampai di lehernya, ia bicara dengan suara lirih. "Toako," bisiknya kemudian, "Katakanlah.....katakanlah dengan sesungguhnya, apakah kau cinta padaku?" Seketika tergoncang hati Nyo Hun-cong, jantungnya berdebar-debar, terhadap orang sakit yang begitu berat, apakah ia harus mengecewakannya, dalam keadaan demikian ia sesungguhnya tidak bisa mengatasi perasaannya sendiri lagi. Ia merangkul Nilan Ming-hui dengan erat dan berbisik di tepi telinganya, "Ya, Ming-hui, dengan sesungguhnya aku cinta padamu." Aneh bin ajaib, seumpama bunga yang sudah kering layu dapat tiba-tiba segar dan hidup kembali. 128 Perkataan Nyo Hun-cong tadi ternyata melebihi kemanjuran Pik-ling-tan, Nilan Ming-hui merasa seperti ada sesuatu yang hangat mengalir di seluruh tubuhnya. Hun-cong merasa tangannya dipegang Ming-hui, tiba-tiba gadis ini telah bertenaga kembali, pelahan-lahan, ia bisa duduk dan ambruk lagi di pangkuan Nyo Hun-cong, mulutnya merapat berdekatan dengan muka Nyo Hun-cong. Hati pemudi yang sedang terbakar pun menempel lekat di hati Nyo Hun-cong. Senja di padang rumput hawa sedikit mulai dingin, tetapi hati Hun-cong sebaliknya terasa panas luar biasa, ya, panas sekali. Tanpa sadar Hun-cong merangkul Ming-hui juga, bermacam perasaan aneh dan kusut seperti kuda liar yang berlari dan juga seperti gelombang ombak yang mendampar lubuk hatinya, ruwet tetapi juga mengharukan. Dalam keadaan demikian tidak bisa dikatakan bahwa sedikit pun tiada perasaan menyesal dalam hati Nyo Hun-cong. Sekilas ia ingat juga kepada Hui-ang-kin. Hui-ang-kin atau si Selendang Merah, hati gadis ini begitu tulus, suara tawanya begitu nyaring seperti bunyi ke-lenengan unta di padang rumput. Ia ingat juga kala bersembayang pada malam itu, bersama Hui-ang-kin mereka berlarian dan bercakap sepanjang malam, gadis ini begitu lincah dan begitu bebas pula. Malam itu Hui-ang-kin samar-samar pun sudah mengutarakan isi hatinya yang sesungguhnya, tetapi ia seperti menolak perasaan orang, ia tidak membukakan pintu untuknya. Walaupun sejak pertama kali bertemu dengan Hui-ang-kin ia sudah menganggapnya sebagai keluarga yang paling dekat dan rapat, perasaan hatinya ini boleh dikata jauh di atas perasaannya terhadap Nilan Ming-hui sekarang ini. Tetapi rasa menyesal ini sekejap saja sudah lenyap. Nyo Hun-cong adalah seorang Enghiong, ksatria, seorang pahlawan, hati pahlawan menyuruh dia tidak boleh menyesal, menepati perkataan sendiri, itu sudah menjadi kebiasaannya, apalagi gadis yang ada dalam pelukannya sekarang ini begitu tulus cintanya. 129 Ia merasa Hui-ang-kin seperti dia, harus kuat menderita segala macam pukulan, termasuk pukulan batin. Sebaliknya Nilan Ming-hui dalam pandangannya seperti sekuntum bunga yang halus lemah, walaupun ia bisa bersilat, tetapi dia begitu bersih, begitu halus dan masih kekanak-kanakan yang memerlukan perlindungannya untuk pelahanlahan menuntun dia menuju ke pihak sendiri. Demikianlah dengan mesra Nyo Hun-cong dan Nilan Ming-hui saling rangkul dengan kencang, mereka telah tenggelam dalam suasana asmara yang memabukkan. Lewat beberapa lama, mereka baru sadar kembali terkaget oleh suara kelenengan kuda yang ramai. Nyo Hun-cong mengangkat kepala, terlihat olehnya dari jauh telah datang beberapa puluh penunggang kuda. Sebentar saja mereka sudah sampai di depannya, salah seorang yang mengepalai lantas tertawa menyindir. "Hai apakah kau yang bernama Nyo Hun-cong?" segera orang itu menegur, "Mengapa kau merampas tawanan kami dan juga telah membunuh kawan kami?" 6 Lekas Hun-cong melepaskan pelukannya atas Nilan Ming-hui dan cepat melompat keluar dari kereta. "Nyo Hun-cong, pengkhianat, rasakan golokku ini!" segera pula seorang yang berbadan tegap berewok berteriak sambil membacok tanpa menunggu orang buka suara. Tetapi dengan cepat Nyo Hin-cong menghindarkan ba-cokannya. "Nanti dulu, kau ini siapa?" tanya Hun-cong dengan mendongkol, "Aku Nyo Hun-cong adalah seorang laki-laki sejati, masa mau kaucemarkan dengan perkataanmu yang kotor itu, kapan aku berkhianat, sedikit pun aku tiada salah 130 terhadapmu, jika kau tidak bisa menjelaskan, aku pun akan menyeret kau untuk diadukan pada Hui-ang-kin!" Orang yang tegap berewokan itu mengeluarkan ejekan. "Hm, Hui-ang-kin, kau hanya tahu menggunakan Hui-ang-kin sebagai jimat pelindungmu! Tetapi aku hendak tanya padamu, mengapa kau membunuh pejuang kami dan melindungi musuh serta merebut tawan anku, sekarang kau malah berani berlagak? Apakah hal tersebut tidak bisa disebut sebagai pengkhianat?" Mendengar dampratan orang, muka Nyo Hun-cong menjadi merah padam karena gusarnya. "Kapan aku membunuh pejuangmu dan melindungi musuh?" ia membentak, "Aku telah bertempur beberapa tahun di daerah utara, kini aku datang pula ke daerah selatan sini dan bertempur di pihak kalian, jika aku hendak berkhianat mengapa harus bersusah payah menyeberangi gurun luas ini?" "Baik, coba aku tanya padamu," kata orang im lagi, "Siapakah orang yang berada di dalam kereta im? Dua orang yang telah kau bunuh di lembah gunung sana im siapa? Bukti-bukti telah jelas, apakah aku yang memfitnah kamu." Hun-cong terperanjat mendengarnya, batinnya, "Celaka, kesalah-pahaman ini kini sudah makin meluas lagi." Ketika ia hendak menerangkan, orang tadi sudah berkata pula. "Tahukah kau siapakah aku ini? Aku adalah Bing-lok, kepala suku Kedar, dua orang yang telah kau bunuh im adalah pejuang yang paling kuat dari bawahanku. Nah sekarang orang yang di dalam keretamu im adalah tawan-anku!" Ternyata kedua orang yang terkena pisau di dadanya dan terbunuh oleh Nilan Ming-hui kemarin malam im, yang seorang seketika im masih belum tewas, dalam keadaan yang payah ia masih merasa penasaran, ia ingin menulis nama musuh di atas tanah, tetapi ia tidak mengetahui namanya, dalam keadaan ceroboh dan saatnya yang terakhir, ia telah menulis dengan darahnya di atas tanah tiga huruf nama Nyo Hun-cong. 131 Waktu im malam gelap, Hun-cong juga sedang sibuk merawat luka Nilan Minghui, ia tidak memperhatikan bahwa orang yang telah dekat ajalnya im masih bisa meninggalkan suatu fitnahan kotor. Kedar adalah suku bangsa yang suka berkelahi dan pemberani, mereka mempunyai suatu adat kuno turun menurun, apabila bertempur dengan musuh dan mereka tidak bisa melawan serta terluka, jika kenal siapa musuh itu, sebelum ajalnya tentu menuliskan nama musuhnya dengan darah, harapannya supaya bisa diketahui oleh bangsanya dan membalaskan sakit hatinya. Pada waktu terjadi pertempuran yang gaduh sekali di padang rumput im, terlebih dulu pihak suku-suku bangsa selatan Sinkiang yang unggul, belakangan bala bantuan pasukan Boan telah datang, waktu itu Nyo Hun-cong telah melompat masuk ke cekungan gunung, suku-suku bangsa selatan Sinkiang berbalik terkepung, mereka dengan mati-matian menerobos kepungan dan mengalami kerugian yang tidak sedikit, itu pula sebabnya mengapa Hun-cong berjalan satu hari masih tidak menemukan manusia hidup satupun. Pasukan Boan selanjutnya mundur kembali ke kota Ili dan pejuang-pejuang dari suku bangsa itu juga telah terpecah dan terpencar di gurun pasir yang luas itu. Ketika pertempuran ribut itu terjadi, kepala suku Kedar, Bing-lok, dengan pejuang mereka tergencet di suatu sudut, pasukan induk musuh yang mengejar pihak lawan malah tidak sempat menghabiskan mereka dan akhirnya mereka beruntung bisa meloloskan diri. Mereka mencari anggota sukunya di mana-mana, ketika sampai di lembah gunung itu mereka telah menemukan mayat kedua orang pejuang suku mereka dan di atas tanah ada tulisan tersebut. Waktu itu Bing-lok terperanjat sekali, ia tahu nama Nyo Hun-cong yang termasyhur di daerah utara, tetapi ia masih belum mengetahui tingkah laku Nyo Hun-cong pribadi, ia pun tidak mengetahui bahwa nama Hui-ang-kin di daerah selatan. Ia mengira Nyo Hun-cong sama seperti Coh Ciau-lam, hanya seorang 'pembantu' saja yang karena ilmu pedangnya yang mengagumkan telah membuat namanya tersohor. 132 Sementara ini iapun mendengar Nyo Hun-cong adalah Suheng Coh Ciau-lam, kala Coh Ciau-lam menggabungkan diri pada pahlawan tua Danu, nama yang selalu ia agungkan pun pakai nama Nyo Hun-cong. Ia pun mengetahui tentang pengkhianatan Coh Ciau-lam, ia mengira Nyo Huncong akan mengikuti jejak Sutenya, Coh Ciau-lam, dan datang ke daerah selatan hendak mencelakai dan menipu mereka. Oleh karena itu, maka ia telah membawa pengikutnya yang berjumlah tiga puluh orang lebih mengikuti perjalanan Nyo Hun-cong. Nyo Hun-cong yang karena harus merawat Nilan Ming-hui dengan baik, ia tidak dapat melarikan keretanya dengan cepat, maka telah terkejar oleh mereka. Begitulah ketika Nyo Hun-cong merasa serba sulit, tiba-tiba Nilan Ming-hui telah menyingkap kerai kereta dan menongolkan mukanya. "Kamu jangan memfitnah dia, kedua orang itu akulah yang membunuh!" serunya. Nilan Ming-hui yang sudah merasakan hangatnya asmara, seperti ikan mendapatkan air, walaupun dalam keadaan sakit, matanya ternyata masih begitu jeli dan air mukanya terang. Ia memang wanita cantik suku Kijin dari Boan-ciu, ketika tiba-tiba ia menunjukkan dirinya di padang rumput yang luas itu keruan saja seakan-akan pelangi yang menghiasi angkasa dengan aneka warnanya di waktu senja. Seketika Bing-lok merasa seperti ada cahaya yang menyilaukan, pandangan matanya kabur, ia lekas menenangkan pikirannya. "Apa, apa yang kau katakan?" ia bertanya pula dengan membentak. "Kamu masih belum jelas? Kedua orang itu adalah nonamu yang membunuhnya!" Nilan Ming-hui menegaskan. Pada saat itu pula tiba-tiba Bing-lok telah melihat dua huruf 'Nilan' yang tersulam di kerai kereta itu, ia terperanjat dan juga senang. 133 Semula ia mengira di dalam kereta itu hanya keluarga orang biasa saja dari panglima Boan, kini setelah melihat keadaan yang sebenarnya itu segera ia teringat bahwa ia sudah lama mendengar panglima Boan, Nilan Siu-kiat, jenderal dari kota lli, jenderal itu mempunyai seorang anak gadis yang cantik dan mempunyai kepandaian rangkap yang sempurna, yakni ilmu silat dan ilmu surat, inikah orangnya? "Baik juga kalau kau yang membunuh, bukan kau yang membunuh pun baik, juga, kau kini hanya tawananku, maka lekas ikut aku kembali ke sana!" kata Bing-lok dengan tertawa sambil mengayunkan cambuknya. Namun Nilan Ming-hui tertawa mengejek. "Hm, barangkali kau pun ingin ikut kedua kawanmu itu pergi menemui Giam-loong (raja akhirat)? mereka berdua juga mengatakan hendak menawan aku baru terkena pisau terbangku!" ancamnya. Tetapi Bing-lok tidak mempedulikan ancaman si gadis, ia memberi tanda pada bawahannya untuk maju menyergap. "Tidak boleh!" tiba-tiba Nyo Hun-cong berteriak menghadang di depan. "Mengapa tidak boleh?" bentak Bing-lok dibarengi satu kali pecutan. Tetapi sekali Nyo Hun-cong menggerakkan tangannya, ia telah merebut cambuk musuh dan segera dibikin patah menjadi dua potong. "Untuk apa kau bertempur?" bentaknya kemudian. Melihat kedua mata Nyo Hun-cong mendelik dan kelihatan gagah perkasa, seketika Bing-lok menjadi jeri dan tidak berani maju mendesak. "Sebenarnya kau bertempur untuk siapa?" ia balik bertanya. "Aku telah bertempur melawan tentara Boan tidak kurang dari ratusan kali di daerah utara dan selatan, tetapi menggelikan sekali, ternyata kau bertempur untuk siapa masih belum mengetahui!" sahut Hun-cong. "Nyo Hun-cong, kaukira dengan membantu bertempur bagi kami, kau lantas boleh mengacau semanmu? Kami pun sudah bertempur sekian tahun, siapa 134 yang tidak tahu tujuannya adalah hendak mengusir bandit Boan," kata seorang bawahan Bing-lok dengan gusar. "Benar!" seru pula Nyo Hun-cong, "Tetapi apa gunanya hendak mengusir pergi orang Boan? Apakah bukan karena mereka tidak menganggap kita sebagai manusia, merampas peternakan kita, memperkosa wanita kita dan memperbudak rakyat kita? Kini kau hendak menangkap wanita ini buat tawananmu, bukankah juga hendak menodai dia dan tidak menganggap dia sebagai manusia, dan hendak mem-perbudaknya? Kamu tidak menginginkan musuh berbuat demikian, kini mengapa kamu sendiri yang hendak berbuat demikian ini?" Perkataan dan pertanyaan yang beruntun itu ternyata membikin orang-orang Bing-lok menjadi bungkam, mereka tidak bisa menjawab. "Dia adalah musuh kami, dia telah membunuh dua orang saudara kami, mengapa kami tidak boleh menangkap dia sebagai tawanan?" bentak Bing-lok pula dengan penasaran. "Yang berperang melawan kalian adalah tentara Boan-ciu dan bukan dia!" sahut Hun-cong lagi, "Di medan pertempuran kami membunuh orang Boan yang bersenjata, makin banyak membunuhnya makin baik, tetapi sekarang di sini kalian hendak mengerubuti seorang gadis yang bertangan kosong, apakah kalian tidak merasa malu? Ia telah membunuh kedua orangmu adalah karena mereka telah mengancam keselamatan dirinya, terpaksa dia harus membela diri. Aku mau berkata, yang salah bukan dia, tetapi adalah pihakmu sendiri!" Orang-orang Bing-lok semua mengetahui Nyo Hun-cong adalah pahlawan yang menghadapi tentara Boan dengan gagah berani, walaupun Bing-lok mencurigai dia berkhianat dan membawa bawahannya mengejar kemari, tetapi sebelum mereka mendapatkan bukti-bukti yang nyata, bagaimana pun mereka masih mempunyai rasa hormat pada diri Nyo Hun-cong. Ketika im Nyo Hun-cong dengan spontan telah melontarkan perkataan tadi, tampaknya seperti ada benarnya juga, tetapi soal memperbudak tawanan adalah adat turun temurun di padang rumput sejak ribuan tahun yang lalu, kebiasaan ini sudah meresap di batin tiap orang, maka seperti Nyo Hun-cong, ia hanya bisa berdebat dengan menggunakan akal sehat saja 135 Sebaliknya Bing-lok adalah orang yang sombong dan tinggi hati, ia pun pernah tertarik pada Hui-ang-kin, hanya Hui-ang-kin yang tidak menggubris padanya. Waktu pemilihan Beng-cu atau ketua perserikatan ia tidak ikut datang, pertama karena ada ganjalan hati tersebut, kedua karena dia tidak mau tunduk pada Hui-ang-kin. Begitulah maka sehabis Nyo Hun-cong berkata, lalu ia memandang Nilan Minghui pula. "Nyo Hun-cong," tiba-tiba Bing-lok membentak pula, "Aku hendak bertanya mengapa kau melindungi dia, kau bilang kau bukan pengkhianat dan adalah pahlawan besar, kenapa pahlawan besar kita ini hendak melindungi dan bertindak sebagai kusir untuk anak gadis musuh kita. Hahaha! Lucu sekali bukan?" Kegusaran Nyo Hun-cong memuncak karena ejekan ini, sampai tubuhnya gemetar. "Saudara-saudara," seru Bing-lok pula, "Lihatlah kalian, inilah jejak sang pahlawan besar Nyo Hun-cong. Tahukah karian siapa perempuan ini? Dia adalah anak gadis Ili Ciangkun Nilan Siu-kiat. Hm, Nyo Hun-cong, kalau kau bukan telah bersekongkol dengan mereka, mengapa mau terus melindungi dirinya, orang lain bertempur mati-matian, tetapi kau malah mengiring kereta anak gadis Nilan Siu-kiat." "Saudara-saudara! Tangkap dan ikat mereka berdua!" perintah Bing-lok pada bawahannya. Perkataan Bing-lok seperti minyak disiramkan di atas api, bawahannya ternyata dapat dihasut dan segera menjadi kalap, golok dan tombak lantas digerakkan dan mengepung maju. Sementara im Nilan Ming-hui telah siap dengan pisau terbangnya, tapi Nyo Hun-cong telah mencegahnya. "Jangan!" teriaknya. Namun sudah terlambat, pisau Nilan Ming-hui yang pertama sudah melayang, sinar putih yang gemerlap langsung menuju dada Bing-lok dengan tepat. 136 Syukur secepat kilat Hun-cong keburu melesat terus menjepit pisau itu dengan jarinya, pisau itu hanya kurang tiga inci di depan dada Bing-lok. Dalam keadaan gugup, Bing-lok telah membacok juga dengan goloknya, lekas Hun-cong menunduk dan menerobos lewat di bawah tajamnya golok musuh. "Ming-hui, lekas kau sembunyi di dalam kereta," seru Hun-cong pada Nilan Ming-hui. Karena diteriaki begitu oleh Nyo Hun-cong, pisau Nilan Ming-hui tidak dilemparkan lagi, namun dia belum mau masuk ke dalam kereta, ia ingin menonton cara Nyo Hun-cong berkelahi. Sementara itu, Bing-lok mana mau menerima begitu saja, goloknya telah membacok pula, anak buahnya pun mengembut maju, bahkan telah membagi tujuh.atau delapan orang pula memburu ke sana untuk menangkap Nilan Ming-hui. Melihat gelagat sudah runyam, dalam hati Nyo Hun-cong diam-diam mengeluh, "Celaka, urusan ini tidak dapat diselesaikan begitu saja!" Kemudian ia putar tubuhnya yang gesit dan cepat, ia menerobos kian kemari di bawah sinar tajam golok dan tombak, tangan menutuk dan kaki melayang, dalam sekejap saja lebih dari tiga puluh orang itu semuanya termasuk Binglok sendiri telah ditutuk jalan darahnya. Ada yang sedang hendak menubruk ke muka, ada pula yang berlagak mengangkat golok hendak membacok, tetapi semua ternyata tidak bisa bergerak, semuanya seperti terpaku di tempatnya masing-masing. Nilan Ming-hui yang melihat keadaan begitu menjadi geli, ia tertawa cekikikan di atas keretanya, tetapi Nyo Hun-cong berbalik merasakan kegetiran yang susah diucapkan, ini sungguh kesalah-pahaman yang berat dan kini ditambah pula lebih dalam lagi, ia tidak berani membayangkan bagaimana kesudahannya nanti. Dalam pada itu, tiba-tiba terdengar Nilan Ming-hui berseru girang, "Pasukan Boan telah datang!" Lekas Nyo Hun-cong melompat naik ke atas kereta, betul saja ia melihat dari jauh debu mengepul, lekas ia melompat turun lagi. 137 "Kalian lekas lari!" serunya pada Bing-lok, "Pasukan Boan dengan kekuatan cukup besar telah datang kemari, biarlah kutinggal di sini untuk mencegah kedatangan mereka!" Habis berkata begitu, segera ia seperti kupu-kupu yang menari menerobos kian kemari di antara orang-orang itu dan sebentar saja orang-orang itu sudah pulih kembali seperti semula, mereka sudah bisa bergerak lagi. "Tetapi aku tidak mau menerima budimu!" kata Bing-lok dengan sengit. Habis ini ia segera melompat ke atas kudanya dan pergi bersama orangorangnya. Nyo Hun-cong lantas melolos pedang pendeknya, ia siap begitu pasukan Boan itu datang mendekat, setelah menenangkan diri, ia sendiri segera menerobos pergi mencari Hui-ang-kin buat menerangkan apa yang sebenarnya telah terjadi. Selagi ia berpikir, rombongan pasukan Boan itu telah mendekat pula. Di depan berlari dua orang, semula Nyo Hun-cong masih mengira tentu dua opsir tentara Boan, tetapi setelah ditegasi dari dekat, baru ia tahu, serdadu Boan sedang melepaskan panah di belakangnya, dan kedua orang ini mengayunkan pedangnya membabat datangnya panah itu, kadang-kadang mereka membalikkan badan untuk bertempur sebentar dan kemudian lari lagi. Pasukan Boan itu semakin dekat, kini Nyo Hun-cong sudah bisa melihat jelas, kedua orang ini adalah laki-laki dan perempuan, yang laki berusia antara tiga puluhan lebih dan berdandan seperti sastrawan, ilmu silatnya tinggi sekali. Sedang yang perempuan antara dua puluhan tahun, gerakannya pun tidak lemah. Tiba-tiba hati Nyo Hun-cong menjadi girang sekali. Yang wanita memang dia tidak kenal, tetapi yang lelaki itu adalah sahabat baiknya sendiri. Lelaki itu adalah jago ternama dari Bu-tong-pay yang bernama Toh It-hang. 138 Menurut keterangan gurunya, Toh It-hang pun gemas akan keadaan di daerah dataran tengah, maka jauh-jauh telah menyingkir ke tempat yang sepi di daerah perbatasan ini. Suhunya pun mengatakan bahwa Toh It-hang mempunyai Lwe-kang yang sudah mencapai tingkat sempurna, walaupun umurnya sudah dekat enam puluh tahun, tetapi kalau dilihat masih seperti tiga puluh tahun lebih. Waktu Hun-cong masih berada di Thian-san, sudah beberapa kali bertemu dengan dia, Toh It-hang tidak menganggap dirinya lebih tua dari Nyo Huncong dan berkeras hendak bergaul sebagai saudara saja. Tentu saja Hun-cong tidak mau menerima. Belakangan baru ia tahu bahwa sebenarnya semula Toh It-hang hendak mengangkat guru pada Hui-bing Siansu. Hui-bing Siansu menganggap orang sejak lama sudah menjadi jago atau ketua dari salah satu cabang tersendiri, yakni Bu-tong-pay, maka tidak mau menerima pengangkatan im. Karena im juga, hubungan antara Toh It-hang dengan Hui-bing Siansu terbatas di tengah-tengah sahabat dan guru, di lain pihak Toh It-hang dengan Nyo Hun-cong pun terjalin di antara hubungan serupa itu. Kini demi melihat Toh It-hang dikejar oleh tentara Boan, segera Nyo Huncong mengayunkan pedangnya dan maju memapaknya. Ketika im Toh It-hang pun sudah mengenali Hun-cong. "Laute (saudaraku), kau bersama dia menandingi empat 'kelinci' yang di belakang im, aku sendiri akan membuat kocar-kacir serdadu Boan yang lain," katanya pada Hun-cong. Habis itu ia lantas membalik badan dan menerjang ke arah musuh. Nyo Hun-cong mengangkat kepalanya melihat pasukan Boan di sana, pasukan itu dipimpin oleh empat orang opsir. Yang mengepalai ternyata adalah orang yang bernama Nikulo, yang dulu bersama Coh Ciau-lam mengerubuti dirinya di gurun pasir itu. Pada saat im tiba-tiba terdengar suara seman dari belakang yang dikenal sebagai suara Nilan Ming-hui, dan lantas terlihat air muka Nikulo ada tanda-tanda curiga. 139 Nyo Hun-cong tidak sempat bertanya lagi, ia melangkah maju terus melayang ke depan, pedangnya mengikuti gerakan tubuhnya, sinar hijau segera menusuk ke dada Nikulo. Tetapi Nikulo keburu menangkis dengan senjata Song-bun-co secepat angin, "krek", suara senjata kawan Nikulo sendiri terbabat putus. Menyusul ia memberi satu tamparan telapak tangan, segera seorang opsir musuh yang lain terpental pula beberapa depa. Orang ketiga, kawan Nikulo memakai senjata tombak panjang yang beratnya tujuh puluh dua kati, dengan kuat ia menyongkel dengan tombaknya dan berbareng menusuk pula. Tetapi Nyo Hun-cong sempat menghindari ujung tombak itu, tangan kirinya diulurkan dan segera membetot tombak musuh. "Roboh!" teriaknya. Tidak diduga bahwa opsir Boan im adalah orang kuat ternama dalam pasukan Boan, walaupun ia tergopoh-gopoh karena terbetot oleh Nyo Hun-cong, akan tetapi ia belum jatuh dan masih coba mempertahankan tarikan musuh. Nikulo yang melihat begitu, cepat mengambil kesempatan yang baik ini, senjata Song-bun-co telah digerakkan mengarah bagian bawah Hun-cong dan berbareng tangan kirinya menghantam pundak sebelah kanan Hun-cong dengan sekuat tenaganya. Tiba-tiba dengan suara keras Nyo Hun-cong membentak. Tombak panjang yang ia betot tadi mendadak didorong ke depan. Opsir yang masih mempertahankan betotan Hun-cong tidak tahan lagi, ia menjerit dan tangannya berdarah, ia segera terpental pula beberapa depa jauhnya dan pingsan. Dengan kecepatan yang luar biasa, Nyo Hun-cong membalik tubuh dan senjata Song-bun-co musuh segera terlempar ke udara karena sampukannya. Sampukan Hun-cong ternyata tidak hanya sampai di situ saja, tapi juga telah mengenai tubuh musuhnya, yaitu Nikulo. 140 Di daerah Kwan-lwe, Nikulo yang terkenal dengan tangan besinya ini ternyata tidak tahan oleh kekuatan tangan Nyo Hun-cong yang hebat itu, badannya sampai mencelat tinggi beberapa depa ke atas seperti layang-layang putus benangnya. Beruntung ilmu kepandaiannya sudah mempunyai dasar yang tinggi, ia berjumpalitan satu kali dan turun kembali di antara pasukannya yang kacau itu, segera pula ia angkat langkah seribu alias kabur. Sementara itu. Toh It-hang dan wanita muda tadi dengan pedang mereka telah mengamuk dan menerjang pasukan Boan, pedang mereka diobat-abitkan ke sana kemari, maka terdengarlah suara jeritan yang mengerikan. Keadaan dengan cepat kembali sunyi, di sana-sini hanya terdapat mayatmayat serdadu musuh yang bergelimpangan dan banyak pula yang terluka atau lari. Pasukan musuh dengan cepat telah bubar seperti awan tersapu angin. "Hun-cong," sapa Toh It-hang kemudian, "Tidak nyana kepandaianmu telah maju begitu pesat." "Tetapi aku masih mengharap petunjuk Susiok," jawab Nyo Hun-cong. Toh It-hang kemudian melihat Nilan Ming-hui berada di atas kereta, ia agak terheran-heran. Nyo Hun-cong kuatir orang akan salah mengerti, maka ia lekas memberi tahu. "Ia seorang diri telah terpencar dari rombongannya dan terlunta-lunta di padang pasir, aku berpikir hendak mengantarkannya pulang," katanya. "Itu adalah pantas," ujar Toh It-hang, "Sungguh kebetulan sekali, kau mengantar orang, aku pun sedang mengantar orang." Setelah berbicara begitu Toh It-hang lantas memperkenalkan wanita muda tadi. "Dia ini adalah anak gadis Susiokku, namanya Ho Lok-hua," katanya, "Aku hendak mengantar dia pulang ke pedalaman sana, lain hari jika kau bertemu dia, kuharap kau suka membantu dia." 141 Selesai bicara ia berpamitan dan segera berpisah dengan Nyo Hun-cong. Hun-cong melihat air muka Toh It-hang seperti menunjukkan rasa sedih, apalagi hubungan antara mereka sebenarnya sangat kental, dalam keadaan biasa, tentu tidak berpamitan secara tergesa-gesa begitu, sekalipun dalam keadaan yang kalut juga pasti akan berbincang-bincang mengenai keadaan masing-masing selama ini. Akan tetapi kini, bahkan nama Suhunya saja tidak ditanya sudah buru-buru berpisah, ini sungguh aneh sekali. Ia tak mengerti orang pandai seperti Toh It-hang masih mempunyai urusan yang membuat ia begitu kuatir. Agaknya Hun-cong tidak tahu bahwa sekali ini Toh It-hang tergesa-gesa meneruskan perjalanan adalah karena kuatir Pek-hoat Mo-li akan mencari dia untuk bikin perhitungan. Begitulah, kemudian setelah Nyo Hun-cong dan Nilan Ming-hui berjalan beberapa hari lagi, mereka telah sampai di luar kota Ili (ibukota Sinkiang). Sementara im, kesehatan Ming-hui sudah pulih, kembali ia menata rambut dan tersenyum pada Nyo Hun-cong. "Kau tentu kurang enak jika masuk ke kota," katanya kemudian, "Sebaiknya nanti kalau sudah malam baru kau dan aku kembali ke sana, kereta ini kita buang saja." Perasaan Hun-cong kini terasa sangat berat, laksana tertindih barang yang antap, iapun merasa sedih karena harus berpisah. Karenanya ia jadi termangu-mangu, sesudah agak lama baru ia bisa bersuara. "Biar kau pulang saja ke sana sendiri, aku akan pergi, harap kaujaga dirimu baik-baik," katanya kemudian. Akan tetapi Nilan Ming-hui dengan cepat sudah menahannya sambil menggenggam tangan Hun-cong. "Tidak, kau jangan pergi, aku tidak perkenankan kau pergi," katanya dengan tertawa, "Kau harus menemani aku pulang, jangan kau takut, istana di mana kami tinggal sangat besar, sehingga kau tidak bisa kepergok ayahku. Aku punya seorang babu tua, ia baik sekali terhadapku, ia tinggal di suatu tempat 142 di sudut timur istana im yang terdiri tiga rumah. Ya, terpaksa harus sedikit merendahkan dirimu, nanti kubawa kau menemui dia, dan minta dia mengaku kau sebagai keponakannya, sementara itu kau jangan sembarangan bergerak, tanggung tiada orang yang bisa mengenalimu." Tetapi Nyo Hun-cong telah menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin," katanya, "Aku akan pergi mencari orang-orang Kazak saja." "Dan masih ada lagi, Hui-ang-kin, bukan?" sambung Nilan Ming-hui dengan suara berat. "Betul," sahut Nyo Hun-cong dengan serius. "Mengapa aku tidak boleh mencari dia, aku hendak mengetahui keadaan mereka dan suku-suku bangsa di daerah selatan sana setelah habis bertempur?" Nilan Ming-hui tertawa pula sambil meleletkan lidahnya. "Haya, Tuanku, hanya satu perkataanku saja lantas membuat kaumarah bukan?" ia menggoda, "Siapa yang bilang kau tidak boleh pergi mencari Huiang- kin. Cuma menurut pendapatku, sehabis pertempuran besar im, di gurun pasir yang luas apakah begitu gampang mencarinya? Lebih baik sementara kau tinggal di sini dulu, sumber berita ayahku sangat luas dan cepat, dari semua tempat ada berita yang dikirimkan padanya, tentu ia bisa tahu suku-suku bangsa di daerah selatan im berada di mana, aku nanti akan mencari kabar bagimu, jika kau telah mengetahui di mana Hui-ang-kin berada, baru kau pergi mencari dia, kan belum terlambat!" Nyo Hun-cong terdiam, ia pikir perkataan Ming-hui memang betul juga, kesempatan ini boleh sekalian aku gunakan buat mencari tahu keadaan musuh. Malam im betul-betul Nilan Ming-hui telah membawa Hun-cong pulang ke dalam istana ayahnya secara diam-diam. Setelah bertemu dengan babunya, ia menerangkan apa maksudnya, babu itu menjadi ketakutan sekali begitu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi babu im sangat sayang pada Ming-hui seperti anak kandung sendiri, ia tidak dapat menolak permohonan Nilan Ming-hui, akhirnya ia luluskan juga permintaannya. 143 Cuma saja babu itu pun minta syarat-syarat, di antaranya adalah Nyo Huncong tidak boleh bergerak di luar tiga ruangan rumah im. Nyo Hun-cong pun menyanggupi syarat im. Besoknya pagi-pagi sekali, secara diam-diam Nilan Ming-hui telah keluar pula, ke luar kota sana dan pulang dengan membawa keretanya. Setelah ia menemui ayahnya, ia pura-pura berkata bahwa ia telah dapat melarikan diri dari pertempuran im. Nilan Siu-kiat mengetahui anak gadisnya cukup pandai dalam ilmu silat, maka ia pun tidak curiga apa-apa. Dengan begitu, sekejap saja telah lewat setengah bulan pula. Nilan Ming-hui belum mendapat kabar tentang tempat Hui-ang-kin dengan orang-orangnya, satu soal lain yang datangnya mendadak telah menindih perasaannya seperti tertindih gunung. Tekanan batin yang sangat menyakitkan dan meruwetkan pikirannya itu adalah seperti pada waktu ia sendiri mencurigai Nyo Hun-cong telah mencintai Huiang- kin, tekanan batin yang berat ini bagaimana pun tidak bisa dihilangkan begitu saja. Dulu yang membuat tekanan batinnya adalah bayangan Hui-ang-kin, tetapi kini adalah seorang tamu yang ada dalam istana ayahnya. Belasan hari sesudah dia pulang ke rumah, istana jenderal im telah kedatangan seorang tamu dari jauh. Tamu ini bernama To Tok, usianya tahun ini baru dua puluh lima, tetapi dalam usia semuda im ia sudah menjabat pangkat Ting-wan-ciangkun, pangkatnya ini lebih tinggi daripada ayahnya. Tidak hanya im saja, ia masih terhitung putra bangsawan dari keluarga kerajaan yang menjadi kesayangan raja, semua ini tidak dapat ditandingi oleh Nilan Siu-kiat. To Tok yang dapat berpangkat tinggi dalam usia muda, sama sekali bukan karena ayahnya yang bangsawan, tetapi karena ia sendiri memang seorang 144 lelaki yang perkasa di antara orang-orang Kijin dari bangsa Boan, sejak kecil ia suka ilmu silat, memanah, ilmu pedang dan menunggang kuda, dalam kalangan kaum muda setingkatannya, ia terhitung kelas satu di antara tentara Ki-jin. Tiga tahun yang lalu, ia mengikuti maharaja menjajah ke barat, dan telah mengamankan daerah-daerah di sana, sehingga namanya segera tersebar harum di seluruh negeri, semua pejabat kerajaan siapa yang tidak mengagumi dirinya. Usianya masih muda dan ia masih belum mengikat diri dengan gadis mana pun, banyak kaum bangsawan dan pejabat tinggi yang hilir mudik datang hendak merangkap jodoh dengan dia, akan tetapi ia mempunyai pandangan dan pilihan yang terlalu tinggi, satu pun belum ia pandang cocok untuk menjadi pasangannya. Bakal istri idealnya jelas selain harus cantik laksana bidadari, harus pula pandai ilmu silat dan ilmu surat. Tapi gadis yang sempurna begitu harus dicari di mana? Sejak To Tok berumur tujuh atau delapan belas tahun sudah banyak yang hendak merundingkan perjodohannya, tetapi sekejap saja tanpa terasa kini ia sudah menginjak usia dua puluh lima tahun. Di jaman permulaan dinasti Boan, lelaki yang sudah berusia dua puluh lima tahun tetapi masih belum mendapatkan jodoh, yang menjadi orang tua biasanya lantas menjadi kuatir. Ayahnya, Ok Jin-ong atau pangeran Ok, waktu mendapat tahu bahwa jenderal dari Ili, Nilan Siu-kiat mempunyai seorang anak gadis berparas cantik molek, di antara bangsa Kijin boleh dikata tiada bandingannya. Lebih jauh ia mendapat tahu gadis im baru berumur mendekati dua puluh tahun dan juga masih belum dapat jodoh. Tadinya karena Nilan Ming-hui masih kecil, sementara im Nilan Siu-kiat sendiri kian kemari menjalankan tugas di daerah perbatasan sana, maka ayah To Tok tidak memperhatikan gadis itu, tapi kini setelah ingat, ia merasa selain gadis ini kiranya tiada yang lebih setimpal pula. 145 Kemudian setelah ayah-bunda To Tok membicarakannya dengan To Tok sendiri, pangeran ini pun sudah mendengar nama Nilan Ming-hui, bahkan paman seperguruannya, Nikulo, bertugas pula di bawah Nilan Siu-kiat, waktu To Tok masih bertempur di daerah barat sana, Nikulo pernah jauh-jauh datang dari Sinkiang menemui dia dan membicarakan diri Nilan Ming-hui, Nikulo telah memuji setinggi langit gadis itu. Katanya gadis ini tidak hanya cantik laksana bidadari, tetapi soal ilmu silat pun jauh di atas jago-jago bangsa Boan umumnya. Malahan dengan tertawa ia pernah berkata, "Ciangkun, menurut penglihatanku, bisa jadi ilmu silatnya masih di atasmu!" Keruan saja hati To Tok tergerak, tetapi karena belum melihat dengan mata kepala sendiri, ia masih belum puas dan percaya penuh. Karenanya, waktu ayah-bundanya membicarakan dengan dia, ia lantas bilang, "'Biarlah jangan bicara soal jodoh dulu, tunggu aku pergi ke Sinkiang melihatnya sendiri." Kebetulan waktu itu suku-suku bangsa di daerah Sinkiang dengan gigih bangkit melawan pasukan Boan, Nilan Siu-kiat yang mengepalai tentara di kota Ili, walaupun mendapat beberapa kemenangan, tetapi masih tidak berdaya menindas kekuatan perlawanan rakyat gembala dari Sinkiang itu. To Tok lantas mengajukan dirinya berkeliling ke Sinkiang, sudah tentu kaisar girang sekali dan segera menitahkan dia sebagai utusan raja dan pergi memeriksa situasi militer di Sinkiang, bahkan raja bilang padanya, "Kau adalah seorang ahli militer kelas satu di antara bangsa Boan kita, kau berangkatlah ke sana dan memberi sedikit saran pada Nilan Siu-kiat." Ternyata raja tidak mengetahui bahwa kepergian To Tok ke Sinkiang mempunyai maksud tujuan lain. Setelah To Tok tiba di kota Ili dan tinggal di dalam istana jenderal, selain menjadi tamu agung Nilan Siu-kiat, sementara itu ia pun menjadi atasannya karena To Tok datang sebagai utusan raja. Keruan saja Nilan Siu-kiat sangat memuji dia. Nikulo yang mengetahui maksud kedatangan To Tok yang menjadi keponakan seperguruannya, diam-diam ia telah memberitahu pada Nilan Siu-kiat. 146 "Ciangkun, kuucapkan selamat, pangeran muda kita masih belum mengikat jodoh, dengan Siocia kita mereka sungguh merupakan pasangan yang setimpal," katanya pada Nilan Siu-kiat. Mendengar itu hati Nilan Siu-kiat tergoncang keras, ia terkejut dan juga bergirang. "Bagaimana aku berani mengharapkan," sahutnya sambil tersenyum. "Asal Ciangkun setuju saja, soal ini pasti akan jadi, hal lain-lain aku berani tanggung," kata Nikulo pula, "Walaupun ia adalah orang yang agung, tetapi kalau diurut ia masih keponakan seperguruanku, jika aku yang bicara pasti urusan ini akan beres." Sebenarnya Nikulo sudah mengetahui maksud tujuan kedatangan To Tok, tentu saja tiada halangannya ia mendahului menjadi perantaranya. "Ok Jin-ong jauh-jauh berada di Pakkia (Beijing), masakah kita yang berada di tempat yang sepi terpencil begini mendadak bisa membicarakan soal perjodohan dengan dia?" ujar Nilan Siu-kiat pula. "Tentu juga tidak perlu begitu tergesa-gesa," kata Nikulo. "Biarlah mereka saling bertemu muka dulu, aku tanggung keponakanku im begitu tiba kembali di kota raja, pangeran tua tentu segera akan mengutus orangnya ke sini untuk melamar." Sementara im Nilan Ming-hui walaupun mengetahui adanya seorang utusan raja yang bernama To Tok telah datang meninjau, tetapi semula ia tidak menaruh sesuatu pikiran dalam hatinya. Pada suatu hari, ayahnya telah memanggil dan mengajaknya pergi bermain ke taman bunga di belakang istana, ayah anak berdua berjalan sampai di ruangan berlatih silat, tiba-tiba Nilan Siu-kiat dengan tertawa berkata pada gadisnya, "Anakku, mari kita coba berlatih memanah." "Wah, kiranya ayah akan menjajal aku," sahut Ming-hui, "Baiklah, berlomba pun boleh, hanya saja jika aku yang menang, apakah yang ayah akan hadiahkan padaku?" "Aku akan memberimu hadiah barang yang paling bagus, supaya selama hidupmu terbenam dalam kejayaan dan kebahagiaan," jawab Nilan Siu-kiat. 147 "Ayah, kau omong tak keruan, mana ada barang yang begitu bagus, aku tidak mengharapkan," kata Ming-hui, "Jika aku menang, cukup ayah menghadiahkan aku kulit banteng yang ayah dapatkan dari berburu." "Hanya selembar kulit banteng terhitung apa? Baiklah kita berlomba!" kata Nilan Siu-kiat akhirnya. Lalu ia mementang busur panahnya, tiga anak panah beruntun telah dia bidikan dan segera kena pada tanda merah di depan sana yang berjarak kirakira seratus tombak, lalu ia memanah dengan membalik mbuhnya, tiga anak panah segera menancap pula di tengah tanda merah, kemudian ia lemparkan busurnya dan tertawa panjang. "Anakku, lihatlah, ayahmu masih belum begitu tua, bukan?" katanya "Ayah tentu masih belum tua" sahut Nilan Ming-hui seraya tersenyum, "Ilmu memanah ayah bagus betul, tetapi anakmu kiranya juga tidak memalukan, lihatlah aku!" Habis berkata begitu, satu anak panahnya telah menyambar ke angkasa menyusul ia bidikan satu anak panah yang lain, anak panah pertama yang baru turun telah terkena persis oleh anak panah kedua dua anak panah yang saling bentur segera naik pula ke atas dan kemudian jatuh semua. Nilan Ming-hui seakan-akan tidak memanah dengan sungguh-sungguh, tetapi tangannya tidak henti-hentinya bergerak, berturut-turut ia lepaskan enam anak panah, tiap-tiap anak panah membentur anak panah yang lebih dulu dilepaskan. "Ilmu memanah yang mengagumkan," tiba-tiba terdengar suara pujian orang menyelingi suara tertawa Nilan Ming-hui, lalu dari belakang semak-semak sana terlihat muncul dua orang lelaki, yang seorang adalah Nikulo sedang yang lain adalah To Tok. Waktu Nilan Ming-hui melihat Nikulo, mendadak ia teringat tempo hari waktu berada dalam satu kereta bersama Nyo Hun-cong dan telah dipergoki olehnya walaupun tidak mengetahui apakah waktu im orang melihat jelas dirinya atau tidak, tetapi air mukanya lantas berubah. 148 Nilan Siu-kiat lantas memegang tangan anak gadisnya dan hendak memperkenalkannya pada To Tok, di luar dugaan tiba-tiba Ming-hui meronta melepaskan tangannya dan berlari pergi. "Sungguh tidak tahu aturan, harap pangeran jangan marah," kata Nilan Siukiat pada To Tok sambil mengomel pada putrinya, "Anak perempuan tidak tahu adat dan memalukan, ia tidak mengetahui kau adalah pangeran, ia memang takut bertemu dengan orang asing." Padahal Nilan Ming-hui yang sudah biasa kian kemari di padang rumput luas itu, mana bisa disamakan seperti bangsa Han yang terlalu kokoh dalam adat pergaulan laki-laki dan perempuan, hanya Nilan Siu-kiat sendiri yang sengaja mengolok-olok anak gadisnya seperti Siocia bangsa Han saja. Sementara itu, demi melihat Nilan Ming-hui, semangat To Tok sudah terbang ke awang-awang, ia tidak menduga di jagad ini betul-betul ada perempuan secantik bidadari, bahkan mempunyai keahlian silat yang begitu tinggi, dalam keadaan kesengsem terpesona pada hakikatnya ia tidak mendengarkan apa yang Nilan Siu-kiat katakan padanya tadi. Sementara itu setelah Nilan Ming-hui lari balik ke rumah babu inangnya, diam-diam ia telah menceritakan pengalamannya itu kepada Nyo Hun-cong. "Aku telah bertemu dengan orang yang dipanggil To Tok, dia masih sangat muda seperti dirimu," demikian tuturnya. "Hah! Jahanam ini, dengan maksud apa dia datang di daerah Sinkiang sini?" kata Hun-cong dengan gemas, "Apakah ia datang ke sini buat menjagal pula rakyat-rakyat gembala? Hm, aku pasti akan menusuk dia hingga tembus!" "Aduh! Begitu kejamnya," kata Nilan Ming-hui dengan meleletkan lidahnya. Tapi Hun-cong diam saja dengan wajah yang marah. Karena itu Nilan Ming-hui lantas memeluk tubuhnya dan menggoyanggoyangnya. "Baiklah tidak usah menyebut dia lagi, kau jangan marah. Ya, berceritalah padaku hal lain saja, maukah?" godanya. 149 Hun-cong tertawa karena banyolan Nilan Ming-hui. "Adalah berbahaya sekali kau berada di sini, kau masih banyak tugas lain yang agung, tidaklah menguntungkan jika sekarang kau mengajak To Tok berkelahi, sekalipun sepuluh To Tok juga tidak dapat dibandingkan kau seorang, dengarlah kataku dan jangan kau berbuat hal-hal yang begitu bodoh!" katanya kemudian pada Hun-cong. Hati Hun-cong menjadi dingin kembali, ia merasakan hangatnya kasih sayang dari seorang gadis. Kasih sayang begini ini tidak ia dapatkan dari Hui-ang-kin. Hui-ang-kin masih punya kekurangan dasar kehalusannya sebagai seorang gadis, ia masih belum paham bagaimana harus mengutarakan perasaannya yang halus itu. Tiba-tiba, semacam perasaan beruntung telah mengalir masuk lubuk hati Nyo Hun-cong bagaikan aliran listrik, ia peluk tubuh Ming-hui dengan kencang, pipinya digosokkan pelahan-lahan ke pipi Ming-hui, napasnya rada memburu tapi sepatah kata pun tak sanggup diucapkannya. Ia hanya berpikir, "Perkataan Ming-hui memang betul. Aku akan mengumpulkan orang-orang Kazak lagi untuk mengusir tentara Boan, berperang tidak bisa mengandalkan hasil dari pembunuhan satu-dua orang panglima musuh saja lantas segalanya bisa beres!" Besoknya, hari kedua, seperti biasa Ming-hui pergi memberi selamat pagi pada ayahnya. Begitu melihat gadisnya ini Nilan Siu-kiat lantas bertanya dengan muka berseri-seri. "Anakku, berapakah umurmu tahun ini?" demikian tanya orang tua ini. "Ayah kok begitu pelupa, umur gadisnya sendiri saja tidak ingat lagi, sudah sembilan belas tahun, bukan?" jawab Nilan Ming-hui dengan mendekap mulurnya yang mungil. Atas jawaban gadisnya ini Nilan Siu-kiat tertawa terbahak-bahak. 150 "O, ya sudah sembilan belas tahun, ayahmu ini sungguh celaka, mempunyai gadis yang sudah berumur sembilan belas tahun masih belum mencarikan mertua baginya!" katanya lagi. "Ayah, janganlah kau menggoda diriku," ucap Ming-hui dengan air muka berubah. "Ming-hui, kau tak usah malu-malu," ujar Nilan Siu-kiat lagi sambil mengeluselus rambut gadisnya "Ayahmu sesungguhnya sudah menemukan jodoh yang setimpal bagimu, sekalipun mimpi kau pasti tak pernah menyangkanya!" Keruan Ming-hui terperanjat, ia membuka matanya lebar-lebar karena kagetnya tetapi Nilan Siu-kial masih berbicara terus. "Coba kau terka siapakah dia itu, ia bukan lain adalah To Tok, jika kau menjadi jodohnya, dengan sendirinya kau bakal menjadi permaisurinya!" Begitulah Nilan Siu-kiat berkata sambil memandang gadisnya dengan tersenyum girang, sebaliknya Nilan Ming-hui tiba-tiba berteriak, "Aku tidak mau kawin!" berbareng air matanya segera turun deras bagaikan hujan. Nilan Siu-kiat heran dan terperanjat sekali. "Orang semacam ini tidak kau kawini, lalu siapa lagi yang inemdak kaupilih?" tanyanya dengan suara keras, "Selain prJ*a mahkota yang ada sekarang ini, siapa lagi orang yang bisa membandingi dia? Kau ini, baiknya jangan terus berlaku seperti anak-anak saja!" Tetapi mendadak Nilan Ming-hui menutup mukanya dan menangis tersedusedu. "Aku tidak mau kawin dan juga tidak kepingin menjadi permaisuri segala," sahutnya kemudian dengan suara serak. Sudah tentu Nilan Siu-kiat menjadi marah, ia berjingkrak, berulang-ulang ia membanting kakinya. Sementara itu, tiba-tiba dari luar kamar sana terdengar suara Nikulo yang melapor hendak bertemu. 151 Nilan Siu-kiat memberi tanda dengan tangannya dan berkata pada gadisnya "Baiklah, kau kembali ke kamarmu dan berpikir dulu, nanti kusuruh ibumu bicara denganmu." Agaknya sedikitpun ia tidak mengerti hubungan Ming-hui dengan Nyo Huncong, malahan ia mengira gadisnya sengaja malu-malu kucing. Dan sejak itulah, beberapa hari beruntun ibu Ming-hui terus mendekati gadisnya omong sana dan bujuk sini, tetapi ternyata Ming-hui masih tetap bandel dan hanya menangis saja. "Coba kau pikirkan," kata ibunya. "Aku dan ayahmu hanya mempunyai seorang anak perempuan, di hari tua nanti pun mengharap bisa mendapatkan sandaran! Kau adalah Ki-jin, sedangkan To Tok adalah anak tunggal dari Ok Jin-ong yang dalam usia begitu muda sudah mendapatkan pahala begitu besar, apakah dari kalangan bangsawan bisa kau dapatkan orang kedua seperti dia?" "Sementara itu, ia pun merupakan atasan ayahmu, jika kau tidak mengawuti dia coba pikirkan, apa ayahmu bisa mendapat kebaikan! Ming-hui, apakah kau hendak bikin susah ayah-bundamu? Kau biasanya begitu berbakti, tetapi mengapa sekali ini kau begini bandel, toh ayah dan ibu semua menginginkan kau bahagia!" kata ibunya mengakhiri. Ming-hui mendengarkan petuah sang ibu yang panjang lebar ini, ia merasa seperti sambaran petir di atas kepalanya dan dia hanya terpaku hingga lama tak dapat mengeluarkan sepatah kata ibunya hanya menghela napas dan lantas tinggal pergi. Setelah ibunya pergi pikiran Nilan Ming-hui segera tenggelam seperti gelombang ombak di tengah samudera yang tiada hentinya bergolak. Ia sangat mencintai Nyo Hun-cong, tetapi Nyo Hun-cong adalah musuh besar pula dari ayahnya dan juga bangsanya jika ia dan Hun-cong terus saling cinta secara membuta begitu, bagaimanakah akibatnya Mereka sebenarnya tidak mungkin menjadi pasangan, apalagi seperti sekarang ini Nyo Hun-cong sembunyi di dekat dirinya tidak lebih hanya untuk sementara saja sekitarnya penuh musuh yang ingin mencelakainya walaupun Hun-cong mempunyai kepandaian setinggi langit, kalau hanya seorang diri terkurung di antara tentara musuh yang banyak tentunya sangat berbahaya sekali. Jika dirinya ingin mendapat kesudahan yang baik, jalan satu-satunya dirinya ikut pergi bersama Nyo Hun-cong dan ikut memanggul senjata melawan kedua orang tua dan bangsanya. 152 Akan tetapi, ini adalah tidak mungkin, ia adalah gadis tunggal dari ayahbundanya melawan orang tua itu sungguh tidak pernah ia bayangkan, ia mencintai Nyo Hun-cong, tapi ia pun mencintai kedua orang tuanya. Ia tidak tahu harus mengorbankan siapa di antara mereka ia terus berpikir selama sehari semalam. Beruntun hingga beberapa hari Nyo Hun-cong tidak melihat Nilan Ming-hui datang menemui dirinya ia sendiri merasa heran, malam ini ia termenung di dalam kamarnya tiba-tiba Ming-hui muncul. Beberapa hari tidak bertemu, ternyata gadis ini sudah banyak kurus, matanya merah bengkak, keruan Huncong menjadi kaget, lekas ia bertanya. Akan tetapi tanpa menjawab Nilan Ming-hui telah menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Nyo Hun-cong dan menciumnya berulang-ulang dengan mesra ia memeluk dengan sangat erat. "Ming-hui, soal apakah yang membuat kau begini, katakanlah pada orang yang paling mencintaimu dan jangan terus bungkam," kata Hun-cong sambil mengelus rambut si gadis dengan suara penuh kasih sayang. "Sungguhkah kau mencintai aku, mati atau hidup tidak bakal berubah cintamu?" tanya Nilan Ming-hui tiba-tiba. "Apakah perlu aku rogoh dan menunjukkan hatiku?" sahut Nyo Hun-cong. Karena jawaban ini, di luar dugaan mendadak Ming-hui berseru, "Jika kau betul-betul mencintai aku, baiklah, kuharap kau segera meninggalkan diriku!" "Apa katamu?" tanya Hun-cong dengan kaget. "Ya biarlah aku yang akan menerima segala penderitaan, aku tidak menginginkan kau menghadapi bahaya di sini!" kata Ming-hui dengan menangis. "Ming-hui, mengapa kau berkata begitu," ujar Hun-cong, "Aku pasti akan melindungi dirimu sekuat tenagaku, apakah kau mengira aku tak mampu membela dirimu? Kalau tidak, marilah kaupergi denganku, padang rumput yang demikian luas, apakah kau masih kuatir tidak bisa mendapatkan tempat untuk berteduh?" 153 Tetapi dengan pelahan-lahan Ming-hui melepaskan genggaman tangannya "Kita tidak mungkin menjadi suami-isteri, tidak mungkin!" ratapnya pula. "Mengapa tidak mungkin?" seru Hun-cong sambil melompat, ia seperti terkena sekali cambukan, hatinya terpukul. "Sudahlah tak usah kau tanya lagi! Kita telah ditakdirkan tidak bisa berkumpul menjadi satu. Ya siapa yang menyuruh kau adalah bangsa Han?" kata Ming-hui pula. Mendengar itu, muka Nyo Hun-cong berubah, teringat olehnya dia ini adalah anak gadis musuhnya sekilas hati sanubarinya seperti sedang menegur padanya "Hai! Nyo Hun-cong, sadarlah, bukankah memang begitu. Bagaimana kau bisa terus tergoda oleh gadis musuh." Hatinya ternyata tidak dapat memahami perasaan yang lemah dari Nilan Ming-hui. Setelah pemuda ini tahu bahwa Ming-hui tidak bersedia ikut dengan dirinya, hatinya terasa seperti teriris-iris oleh senjata tajam, ia menjadi salah sangka bahwa Ming-hui masih tetap berdiri di pihak ayahnya. Begitulah, maka selagi Nyo Hun-cong hendak mendorong pergi Nilan Ming-hui, tetapi demi melihat mukanya yang penuh air mata, tangannya lantas dilepas lagi. Saat lain Nilan Ming-hui telah memeluk dirinya pula dengan kencang. "Sebelum kita berpisah, aku mohon kau jangan gusar dan jangan memarahi diriku," serunya dengan suara serak. "Ming-hui, aku selamanya tak akan menyesali dirimu!" kata Hun-cong pasti dengan menghela napas. "Ya, aku tahu kau mencurigai diriku, tetapi percayalah, untuk menghilangkan kecurigaanmu im, aku bersedia menyerahkan segala milikku padamu, walaupun kita tidak dapat menjadi suami-istri, tetapi aku tetap masih menjadi istrimu," kata Ming-hui. "Ming-hui, janganlah kau berkata demikian!" ujar Hun-cong dengan perasaan hancur. Akan tetapi sesaat im, bibirnya sudah terkancing oleh bibir Nilan Ming-hui yang halus lemas sampai ia hampir tak dapat bernapas. 154 Pelahan-lahan, ia lupa diri, ia telah merasakan sesuatu kebahagiaan untuk pertama kali dalam kehidupannya, tetapi merupakan pula penderitaan bagi kehidupan selanjutnya. Sewaktu Hun-cong sadar kembali, Nilan Ming-hui sudah tak terlihat, dalam kamar hanya tinggal keadaan yang kosong dan gelap. Hun-cong menghela napas dan berkata dalam hati, "Aku harus pergi sekarang juga!" 7 Selagi ia akan bebenah buntalannya untuk berangkat, tiba-tiba jendelanya dibuka orang, menyusul telah melompat masuk seorang lelaki. "Nyo Hun-cong, kau harus pergi sekarang juga!" bentak orang im yang ternyata bukan lain daripada Nikulo. Nyo Hun-cong melompat bangun, "Nikulo, apa kaucari mampus!" bentaknya pula. "Aku bukan tandinganmu, itu aku cukup tahu," kata Nikulo, "Tetapi jika aku takut dibunuh olehmu tentu tak nanti aku datang kemari. Sudah lama aku mengetahui kau berada di sini, kau telah mencintai Siocia kami, bukan?" "Kau tak perlu urus!" sahut Hun-cong dengan gusar. "Hm, kauanggap dirimu seorang pahlawan, tetapi aku melihat dirimu sedikitpun tiada tanda-tanda kepahlawanan!" kata Nikulo menyindir. Mendengar sindiran im, Nyo Hun-cong mendelik matanya. "Di manakah letak kesalahanku, coba katakan!" teriaknya sengit. "Jika kau sungguh-sungguh mencintai Nilan Ming-hui Siocia, mengapa kau tidak memikirkan dirinya," kata Nikulo, "Tahukah kau bahwa dia sudah mempunyai orang dalam hatinya, jika bukan tahun ini tentu tahun depan ia sudah akan menikah, suaminya beribu kali lipat lebih baik daripada dirimu, mengapa kau masih terus menggoda dia dan membikin dia menderita!" "Siapa bakal suaminya?" tanya Nyo Hun-cong dengan membentak. 155 "Taiciangkun To Tok!" jawab Nikulo. Baru habis perkataannya, mendadak ia menjerit sekali, ternyata ia sudah roboh di atas tanah, Nyo Hun-cong bergerak secepat kilat, ia tutuk 'Nuimoa- hiat' Nikulo. Tempo hari sewaktu Nikulo mengejar Toh It-hang di padang rumput, pernah ia memergoki Nyo Hun-cong berbarengan dengan Nilan Ming-hui, waktu itu meski Nilan Ming-hui dengan cepat telah bersembunyi dalam kereta, akan tetapi dengan jelas Nikulo sudah dapat melihat orangnya, kejadian ini terus ia simpan dalam hati. Beberapa hari ini waktu ia berbincang dengan Nilan Siukiat dan mengetahui Nilan Ming-hui tidak mau mengawini To Tok. Nilan Siukiat juga berkali-kali menghela napas, walaupun tidak terus terang diceritakan, tetapi Nikulo sudah menduga tentu ada sebab-sebabnya. Setelah ia pikir, ia mendapatkan satu akal, maka malan-malam ia datang menemui Nyo Hun-cong dan hendak membuat pemuda ini pergi dengan perkataannya. Demikianlah, maka sesudah Nyo Hun-cong menutuk roboh Nikulo, hatinya masih merasa gusar dan juga tertusuk, ia mestinya sudah hendak angkat kaki, tetapi karena omongan orang tadi, pikiran lain segera timbul dalam hatinya, "Coba aku lihat-lihat ke dalam istana sana, toh aku memang hendak menyelidiki keadaan musuh." Ia segera melayang keluar jendela, dalam keadaan gusar dan benci, hakikatnya ia sudah tidak memikirkan bahaya bagi jiwanya lagi. Tidak lama kemudian, di istana jenderal telah kedatangan tetamu yang tak diundang, dengan mendekam di atas atap ruangan tengah dan sedang mengintip ke bawah, orang ini adalah Nyo Hun-cong. Kebetulan di ruang pendopo itu sedang duduk bercakap-cakap antara Nilan Siu-kiat dan To Tok, Nyo Hun-cong telah siap dan berjaga-jaga, ia memegang kencang pedangnya, ia pikir mereka tentu sedang mempersoalkan perjodohan Nilan Ming-hui, biarlah aku mendengarkan apa yang mereka percakapkan, walaupun aku harus tewas di padang pasir sini, sedikitnya aku akan memberi sekali tusukan lebih dulu pada jahanam To Tok ini. 156 Tengah ia berpikir, terdengar Nilan Siu-kiat lagi berkata, "Khim-ce-tajin (paduka tuan utusan), biarlah kita giring kedua orang Hwe itu untuk diperiksa, bagaimana?" Mendengar percakapan ini Hun-cong menjadi heran, "Aneh, ternyata mereka bukan sedang mempersoalkan perjodohan, melainkan sedang merembuk orang Hwe apa yang kurang jelas!" Ia tak tahu bahwa soal perjodohan Ming-hui harryi berjalan di belakang layar saja, menunggu ayah To Tok yang jauh berada di kota raja, menurut kebiasaan atau adat isi-adat kaum bangsawan, untuk mencari putri pangeran bukan soal sederhana, tentu tidak mungkin diselesaikan begitu saja oleh To Tok sendiri. Kali ini mereka berkumpul, yang diurus justru betul-betul adalah urusan 'dinas' dan sedang akan buka sidang memeriksa orang Kazak yang tertawan. Maka setelah perintah Nilan Siu-kiat dilaksanakan, tidak lama kemudian barisan pengawal menggiring masuk seorang lelaki dan seorang perempuan. Begitu melihat kedua orang ini, darah Nyo Hun-cong seketika membara, ternyata yang lelaki itu adalah adik angkatnya sendiri, Mokhidi. Sejak terpencar karena serangan angin topan di gurun Taklamakan, Hun-cong tak pernah bertemu pula dengan Mokhidi. Waktu sedang mencari 'sumber air hitam', ia telah bertemu dengan adik angkat yang lain, Asta, tetapi Asta pun tidak mengetahui mati hidup Mokhidi, tidak diduga kini malahan bertemu di dalam istana jenderal sini, bahkan di samping Mokhidi masih ada pula seorang nona bangsa Kazak yang cantik. Mokhidi dan nona itu J;borgol dengan rantai yang besar sementara Nilan Siukiat telah membentak menyuruh mereka berlutut, tetapi ternyata mereka berkepala batu, mereka malah melengos dengan angkuh. "Orang gagah!" puji To Tok dengan mengacungkan jempolnya, "Kau orangorang Kazak kini berkumpul di mana, bicaralah padaku, aku m ~"ghargai lelaki yang gagah, maka aku berjanji padamu boleh kcn pergi menawarkan penaklukan bagi mereka, sedikitpun aku tidak akan mencelakai bangsamu!" "Siapa percaya dengan omongan bangsa Boan-ciu!" sahut Mokhidi dengan gusar dan berani. 157 "Hm, arak suguhan tidak diterima, tetapi minta arak dendaan, baik, seret dia dan segera rangket!" bentak Nilan Siu-kiat dengan gusar. Akan tetapi belum habis suara perkataannya, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras. Nyo Hun-cong telah melayang turun dari atas genting, pedangnya laksana sambaran kilat, dengan cepat telah menusuk muka To Tok. Ketika To Tok melihat Nyo Hun-cong mendadak melompat turun dari atas dan sinar pedangnya menyambar menusuk mukanya, ia berteriak sekali dan berbareng angkat sebuah kursi di sampingnya terus ditangkiskan. Maka terdengarlah suara berantakan, kursi itu telah terbelah menjadi dua, To Tok segera memukul pula dengan kepalannya, akan tetapi Hun-cong tidak gampang terkena, pada saat lain sebelah kakinya telah melayang, seketika musuli terjungkal menyusul pedangnya hendak ditusukkan pula. Akan tetapi tiba-tiba ia melihat Nilan Siu-kiat dengan tidak mempedulikan jiwanya sendiri telah merangkul tubuh To Tok sambil mendelik padanya. "Tidak kuperkenankan kau mencelakai ayahku!" demikian tiba-tiba perkataan yang pernah diucapkan oleh Nilan Ming-hui mendadak berkumandang di telinganya. Karena itulah Nyo Hun-cong merandek dan terlambat sedikit, sementara im Nilan Siu-kiat dengan masih merangkul To Tok telah menggelinding pergi sejauh beberapa depa, barisan pengawal pun lantas datang mengurung. Nyo Hun-cong menjadi gusar sekali, ia membentak dengan suara menggeledek, "Yang merintangi aku mati!" segera pula pedangnya menusuk dan telapak tangannya membelah, sekejap saja ia telah dapat menewaskan lima orang, dengan satu lompatan, pedangnya segera diayun beruntun, rantai yang memborgol diri Mokhidi dan nona im lantas putus menjadi dua. "Dapatkah kalian naik ke atas rumah?" tanyanya. Perempuan muda itu memanggut. "Ayo, pergi!" ajaknya, lalu ia mengadang di belakang dengan pedangnya, ia melindungi kawan-kawannya dan melompat ke atas atap rumah, sementara im anak panah dari bawah telah berhamburan laksana hujan. 158 Hun-cong melepaskan baju luarnya, ia menggunakan tenaga dalamnya, bajunya dikebutkan naik turun, anak panah yang tersapu oleh baju panjang im lantas berserakan tak keruan, tidak lama mereka bertiga sudah lepas dari bahaya dan telah berada di luar istana. Sewaktu Nyo Hun-cong mengenakan bajunya kembali, ternyata baju im masih baik-baik saja, satu lubang kecil pun tiada. "Nyo-taihiap sungguh luar biasa!" Mokhidi memuji. Hun-cong hanya tersenyum saja, segera ia membawa mereka melalui jalan kecil dan keluar dari kota. Setelah berada di luar kota, Mokhidi berkata pada perempuan muda tadi, "Inilah orang yang selalu aku bicarakan padamu im, Nyo-toako, Nyo Hun-cong Taihiap!" Maka tanpa ayal wanita muda im segera memberi hormat. "Ia adalah nona- yang selalu kukatakan padamu itu, namanya Malina," kata Mokhidi sambil memperkenalkan wanita muda im pada Nyo Hun-cong. Malina adalah sahabat baik Mokhidi sejak masih kanak-kanak, mereka sering perg, berburu bersama, belakangan ia ikut keluarganya pindah ke aaerah selatan, karena im hubungan mereka pun terputus, tetapi Mokhidi masih selalu merindukan gadis ini. Asta suka menggoda mereka berdua, maka begitu Hun-cong mendengar gadis ini ialah Malina, ia lantas mengerti apa artinya. Tentang kisah Mokhidi sejak serangan topan itu sederhana saja, pada hari terjadinya angin ribut, akhirnya ia bertemu serombongan saudagar yang akan menuju ke selatan, justru di antara mereka terdapat pula keluarga Malina, maka Mokhidi lantas menggabungkan diri bersama mereka dan telah bertemu kembali dengan Malina. Waktu itu di perkampungan mereka sedang diadakan perayaan dan permainan 'domba nakal', kaum muda menunggang kuda saling berkejaran, ada juga yang mengajak Malina, tetapi ia selalu menolak, sedang ia merasa kesepian, kebetulan Mokhidi telah tiba, keruan gadis im kegirangan dan bersorak. Segera pula Malina memohon pada kakaknya untuk menyediakan seekor kuda bagi Mokhidi, dan tanpa bertanya bagaimana keadaannya sesudah berpisah, mereka bersama pergi bermain 'domba nakal'. Begitu pemuda-pemuda lain 159 mengetahui bahwa mereka adalah kekasih lama yang bertemu kembali, semuanya ikut bergembira juga. Begitulah setelah Hun-cong mendengar cerita itu, ia lantas memberi selamat juga pada mereka. Ketika berbicara tentang tempat berkumpulnya orang Kazak di daerah selatan, ternyata jarak dengan tempat di mana Hui-ang-kin menetap tidak lebih dari tiga ratus li, hanya saja karena di padang rumput yang luas, sedang bangsa gembala yang kian kemari berpindah tiada menentu, maka saling tidak mengetahui. Bangsa Kazak adalah bangsa yang baru berpindah ke daerah selatan, kecuali rombongan keluarga Malina masih ada pula beberapa kelompok lainnya. Lalu Nyo Hun-cong bertanya pula bagaimana sampai mereka bisa tertawan, mendengar pertanyaan ini muka Mokhidi segera berubah menjadi gemas. "Nyo-taihiap," katanya kemudian, "Kau baik dalam segalanya, hanya satu hal saja yang tidak baik!" "Apa yang tidak baik?" tanya Nyo Hun-cong dengan heran. "Kaupunya seorang Sute yang busuk, mengapa kau tidak memberi ajaran padanya?" sahut Mokhidi sengit. "Ya, itu memang kesalahanku!" kata Hun-cong, "Tetapi aku pun belum lama ini baru tahu ia telah berubah begitu busuk. Kenapa, ada soal apa lagi antara kamu dengan Coh Ciau-lam?" "Justru dialah yang telah menawan kami dari padang rumput Garsin dan terus digusur ke kota Ili," sahut Mokhidi pula. "Apakah dia yang telah menggiring kau ke sini?" tanya Hun-cong, "Kalau begitu tentu ia kini masih berada di Ili, biarlah aku kembali ke sana untuk menangkap dia!" "Bukan dia yang datang sendiri, kini ia sendiri malah sedang repot," tutur Mokhidi, "Ia sedang berangkat pergi bersama satu pasukan tentara untuk menduduki satu benteng antara tiga puluh li di padang rumput Garsin dan terus mengincar gerak-gerik kami. Ia telah mengirim satu orang datang pada 160 kami dan meminta orang Kazak harus bekerja dan memberi rangsum padanya, sudah tentu kami tidak mau dihina. Kepala suku kami telah mengusir pergi utusan itu, tetapi mendadak pada malam buta ia telah datang sendirian dan menawan pergi anak kepala suku kami sebagai jaminan. Sungguhpun demikian, kepala suku kami tetap membandel dan tak menggubris padanya, tetapi bagaimanapun juga kasih sayang ayah anak yang dahm tidak bisa diabaikan, maka diam-diam ia telah menyuruh kami pergi menyelidiki." "Ya, memang, kau dan Asta termasuk orang yang pating perkasa di antara bangsa Kazak, kau telah sampai di daerah selatan sini tentu saja ia menugaskan kamu, aku kira kepala suku tentu ingin kau diam-diam merebut kembali anaknya, bukan?" ujar Nyo Hun-cong. "Ya, memang betul!" sahut Mokhidi, "Ia tidak mengetahui kepandaian silatku sebenarnya masih jauh dibandingkan Coh Ciau-lam. Akan tetapi, aku tentu tak dapat menolak perintah itu, bukan? Walaupun aku tidak dapat menandingi Coh Ciau-lam, tetapi kau tentu sudah tahu bahwa kami bangsa Kazak selamanya tidak pernah takut pada musuh yang lebih tangguh, aku toh tidak bisa membuang muka bangsaku dan mengatakan bahwa aku tidak berani pergi bukan? Lagi pula aku juga tidak takut padanya, kupikir jika bertemu dia paling banyak hanya mati, buat aku itu bukan masalah. Sementara itu supaya ia mengetahui bahwa di antara bangsa Kazak kami juga ada pahlawan yang tak gentar mati, ia telah menyerang kami waktu tengah malam, kami pun sanggup memberikan perlawanan!" "Bagus, kau tidak malu melakukannya sebagai saudaraku!" puji Hun-cong sambil mengacungkan jempolnya atas keberanian dan jiwa pahlawan orang. Ia memuji Mokhidi dengan sungguh-sungguh, bahkan diam-diam ia sendiri merasa malu. Mokhidi dan Malina adalah kekasih yang sudah lama baru bertemu kembali, baru berkumpul beberapa hari, Mokhidi sudah rela mempertaruhkan jiwanya untuk mempertahankan keagungan nama bangsa Kazak, perkataannya begitu tegas, sedikitpun tanpa sangsi, seperti hal itu sudah sepantasnya demi keadilan. Ia juga percaya dirinya sendiri, jika dalam keadaan mendesak, ia pun dapat memandang kematian seperti kembali ke asalnya saja, akan tetapi kini ia ternyata tidak dapat memutuskan perasaannya terhadap anak gadis musuhnya itu. 161 "Terus terang saja, Toako, aku sebenarnya juga tak tega meninggalkan Malina," kata Mokhidi pula, "Sebelum aku berangkat telah kukatakan padanya bahwa kepergianku kali ini tiada harapan hidup, karena pihak musuh jauh lebih lihai dari diriku, aku telah katakan padanya, sesudah aku mati, agar menjaga diri baik-baik dan jangan mengenangkan diriku, di antara bangsa kita masih banyak pemuda perkasa, janganlah berbuat bodoh, harus memilih satu yang baik di antaranya dan kawinlah dengan dia serta boleh berikan namaku untuk nama anaknya yang pertama, dengan begitu aku sudah cukup puas." "Tak tahunya nona bodoh ini malahan mengalirkan air mata," Mokhidi menutur lebih jauh, "Tetapi lekas pula ia menyusut kering air matanya dan dengan nekat hendak pergi bersama aku, aku tidak memperkenankan, ia lantas akan bunuh diri di hadapanku, ia telah berkata pula bahwa aku memandang enteng pada wanita, katanya lelaki bisa pergi mengapa wanita tidak dapat pergi. Aku katakan pada Malina, aku tahu dia juga mengerti ilmu silat, tetapi hendak berterus terang padanya, sekalipun ditambah dirinya juga masih bukan tandingan musuh! Tetapi Malina sedikitpun tidak mau mengerti, ia berkata dengan tertawa, jika mau mati biarlah mati bersama, dengan begitu biar musuh tahu juga bahwa wanita bangsa Kazak pun mempunyai pahlawan yang tidak boleh dibuat permainan! Ia berbicara demikian serius dianggapnya mati bersamaku adalah hal yang tidak perlu dipikirkan lagi!" Nyo Hun-cong terharu sekali mendengar cerita ini, matanya telah basah mengembeng air mata. "Nona Malina kau hebat sekali!" katanya kemudian dengan tersenyum. Lalu ia teringat pada Nilan Ming-hui, Ming-hui tidak bersedia meninggalkan ayahnya dan ikut dia. Menghadapi Malina, perasaannya kagum dan juga girang serta getir pula, ia kagum dan girang bagi diri Mokhidi yang bisa mendapatkan gadis yang begitu baik dan getir untuk dirinya sendiri. "Nyo-taihiap, kau jangan percaya omongannya," kata Malina tersenyum, "Urusan kecil ini tidak berharga dibuat cerita, ia telah menambah dan membumbui seperti perbuatan yang seharusnya dilakukan itu adalah hal-hal yang luar biasa, sungguh menjemukan!" Hun-cong menepuk-nepuk pundak Mokhidi. 162 "Saudaraku yang baik," katanya, "Ceritamu sangat menarik, ceritakanlah terus. Malina kelihatannya mengomeli-mu, tetapi sesungguhnya ia sangat menyayangi kau, apa yang ia perbuat memang hal yang luar biasa dan kau sedikitpun tidak membesar-besarkan." "Wah, Nyo-taihiap, kau malahan menyokongnya, tentu akan makin membuat dia lebih besar kepala lagi!" kata Malina. "Kemudian aku dan nona Malina malam-malam lantas mengunjungi benteng Coh Ciau-lam," sambung Mokhidi, "Akan tetapi belum kami ketemukan anak kepala suku, kami telah kepergok lebih dulu oleh Coh Ciau-lam. Coh Ciau-lam sudah kenal padaku, maka kami berdua bertempur mati-matian. Sungguh kurang ajar sekali, jika dia membunuh kami tentu sudah beres, justru ia hanya mengurung kami dengan pedangnya, kami tidak bisa melukai dia, sedang pedangnya hanya berkelebat ke sana-sini sekitar kami sambil berseru agar kami menyerah, sudah tentu kami marah sekati, dengan tak memikirkan jiwa lagi kami telah menubruk ujung pedangnya, entah mengapa segera kami merasa lemas tak berdaya terus roboh ke tanah. "Kamu telah kena ditutuk," kata Nyo Hun-cong. "Aku pun pernah mendengar kau cerita ilmu menutuk ini, tetapi tak tahu kalau begitu lihai!" kata Mokhidi pula. "Setelah ia menawan kami, ia lantas berkata, bagus sekali Mokhidi, sudah lama aku tahu kau adalah pahlawan yang gagah dari bangsa Kazak dan tangan kanan Nyo Hun-cong, baiklah, aku harus memberimu sedikit kegetiran, supaya kau tahu. Malina juga dikenal orang sebagai nona yang paling berani dari wanita Kazak, musuh selalu menyebut demikian padanya. Lantas Coh Ciau-lam merangket kami masing-masing dua puluh kali, kami sudah tak bisa bergerak lagi karena pukulan-pukulan' itu, kemudian ia baru memerintahkan orang menggiring kami ke kota Ili sini dan diserahkan kepada orang yang disebutnya Nilan-ciangkun." "Setelah kami berada di Ili," sambung Mokhidi lebih lanjut, "Lantas kami di penjara dalam istana Ciangkun, orang-orang di situ sedikit ramah kepada kami, setiap hari ada ikan dan arak, kami pikir paling banyak hanya mati, tidaklah rugi kalau makan sepuasnya. Malina yang melihat selera makanku begitu malah berkuatir atas diriku, katanya 'Hai, Mokhidi, kau perlu hatihati, jangan masuk perangkap musuh, mereka meladeni kita begini adalah memakai cara halus hendak membuat kita menyerah padanya kau jangan 163 percaya pada belas kasihan harimau dan senyuman serigala' Aku tertawa terbahak-bahak oleh ucapan Malina ini, aku telah katakan padanya kau dan aku walaupun sudah berpisah beberapa tahun, namun apakah kau tidak tahu apa artinya kesedihan, di sini ada makanan, ada minuman, buat apa sungkansungkan, jadi setan yang sudah kenyang lebih baik daripada setan kelaparan. Karena aku membanyol ia tertawa, belakangan ia sendiri malahan makan lebih banyak dan lebih bemapsu daripada aku," kata Mokhidi mengakhiri ceritanya. "Nyo taihiap jangan kau dengar dia, aku mengerti dia adalah lelaki yang baik, betul atau tidak?" sahut Malina sambil mendekat. "Mokhidi," kata Hun-cong dengan sungguh-sungguh, "Kau beruntung sekali, kau mempunyai nona yang begitu memperhatikan dirimu, adalah beribu kali lebih baik daripada berpeluk cium padamu!" "Mokhidi, aku pasti membalaskan sakit hatimu ini, aku akan menawan Coh Ciau-lam dan akan kuserahkan padamu untuk balas dirangket masing-masing empat puluh kali," katanya kemudian. Sepanjang jalan mereka bertiga saling menceritakan keadaan masing-masing selama berpisah, setelah berjalan lima enam hari, mereka telah memasuki padang rumput yang luas dan sudah jauh sekali dari Ili. Pada suatu hari, mereka sampai di suatu pos pemberhentian di padang rumput itu, yakni tempat untuk menambali makanan kuda dan tempat penginapan untuk orang lewat, m sekitar tempat pemberhentian itu ada warung-warung makan yang menjual daging kuda dan arak. Mereka masuk ke sana untuk minum, tiba-tiba mereka melihat ada tujuh delapan serdadu Boan sedang makan di sana. Terdengar percakapan mereka, "Nikulo sesumbar kepandaiannya adalah ajaran guru silat ternama dari Kwan-lwe, tetapi dalam perkelahian ternyata sedikit pun tak berguna, ratusan orang kita telah dipukul morat-marit oleh tiga orang saja, kalau kita yang tak berkepandaian ini tak usah dipersoalkan, tetapi dia begitu saling gebrak sudah lantas melarikan diri?" "Dia adalah Toh It-hang yang kita kejar, katanya adalah jagoan dari golongan Bu-tong, di samping dia masih ada seorang pemuda yang katanya lebih lihai lagi, ia adalah Nyo Hun-cong yang namanya telah menggetarkan seluruh Sinkiang utara, aku tidak pernah kenal, apakah betul dia?" kata seorang yang 164 lain, "Aku percaya omongan Nikulo, hari itu dengan mata kepalaku sendiri aku telah melihat orang she Nyo im menangkap dan melemparkan beberapa kapten kita seperti elang mencengkeram ayam saja, aku kira kalau bukan Nyo Huncong, orang lain pasti tak memiliki kepandaian yang begitu tinggi!" Bercakap sampai di sini, sekilas serdadu yang berbicara ini tiba-tiba melihat Nyo Hun-cong sedang minum di pojok-an sana, keruan ia terkejut dan gugup sekali. "Lekas lari, lekas selamatkan jiwa!" teriaknya cepat. Serdadu-serdadu yang lain menjadi bingung tak mengerti, di samping sana Hun-cong dengan enaknya masih minum araknya terus dan tak mempedulikan mereka. Serdadu-serdadu lain yang melihat kawannya berteriak ketakutan, segera ada beberapa orang lain yang melihat Nyo Hun-cong, seketika suara teriakan ketakutan bergemuruh dan berebut lari keluar. Akan tetapi, tiba-tiba di tempat pemberhentian im muncul seorang nenek tua yang mengadang di tengah jalan sambil mementangkan kedua tangannya, tanpa ampun segera beberapa serdadu itu terpental kembali ke dalam warung arak im, dua serdadu yang lain bermaksud menerobos di bawah bahu orang tetapi sekali nenek im menggerakkan tangannya, dua serdadu itu sudah kena tercengkeram olehnya dan segera terbanting mampus. "Tidak boleh pergi!" bentak nenek im. "Lekas katakan, di mana Toh It-hang berada dan kenapa kau mengejar dia?" Tentu saja serdadu itu ketakutan bukan main, saking takutnya sehingga tak mampu buka mulut lagi, akhirnya ada beberapa di antaranya dengan gemetar mengatakan, "Ia telah ditolong oleh Nyo Hun-cong, pergi ke mana lagi kami tidak mengetahuinya." Kemudian nenek im dapat melihat Nyo Hun-cong sedang minum arak. "Hm, kau juga ada di sini, kalau begitu tidak usah tanya pada mereka!" ujarnya Habis im satu persatu serdadu-serdadu im telah dilempar keluar dan semua terbanting mampus. Gudang Ebook (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net Menyaksikan kejadian luar biasa ini, pelahan-lahan Malina bertanya "Siapakah nenek tua ini? Kenapa begitu bengis? Serdadu-serdadu ini toh tidak bertempur dengan kita di medan perang, apa gunanya membunuh mereka secara begitu keji!" "Ia adalah Pek-hoat Mo-li, kau sekali-kali jangan bikin gusar padanya" Huncong menerangkan dengan bisik-bisik. Sementara itu Pek-hoat Mo-li telah mengulur tangannya hendak menjambret Nyo Hun-cong, namun dengan enteng Hun-cong telah berkelit ke samping dan terus memberi hormat. "Pek-locianpwe, angin apakah yang telah meniup kau sampai di sini?" Hun-cong lantas menyapanya. "Aku tiada waktu untuk bercakap banyak denganmu," sahut Pek-hoat Mo-li, "Lekas kau beritahu padaku, Toh It-hang telah pergi ke mana bukankah ia bersama dengan seorang wanita?" "Toh-susiok betul bersama dengan seorang nona ia bilang hendak mengantar kembali nona im ke Kwan-lwe!" jawab Hun-cong. "Hm! Aku tidak percaya omongannya im, dulu aku telah mengusir mereka tetapi mereka tidak mau pergi, kini sebaliknya mereka mau pergi dengan sendirinya?" kata Pek-hoat Mo-li dengan tertawa dingin. Hun-cong menjadi bingung, ia tidak mengetahui seluk-beluk apa yang dikatakannya ini. "Nyo Hun-cong, kau bawa aku mencari mereka!" kata Pek-hoat Mo-li, berbareng tangan bergerak ia hendak menjambret Nyo Hun-cong lagi. Namun Nyo Hun-cong dengan cepat bisa mengegos, tangan Pek-hoat Mo-li kembali menangkap angin. "Pek-locianpwe, Tecu sesungguhnya tidak tahu ke mana perginya Toh-susiok," kata Nyo Hun-cong pula. Dua kali hendak mencekal tak kena agaknya Pek-hoat Mo-li tercengang juga ia agak kurang senang pula. 166 "Kepandaianmu ternyata maju pesat, terhadap orang muda dan tingkatan bawah, sekali aku serang tak kena pasti tidak aku ulangi lagi, baikkah, terhitung kau yang beruntung, bolehlah kau pergi, tanpa kau aku pun bisa mencari dia" kata Pek-hoat Mo-li akhirnya. Habis berkata Pek-hoat Mo-li pergi menuju ke barat, sedang Nyo Hun-cong bersama Mokhidi dan Malina bertiga meneruskan perjalanan ke selatan, sepanjang jalan Mokhidi masih merasa penasaran oleh sikap Pek-hoat Mo-li tadi. "Pek-hoat Mo-li suka berlaku sangat bengis, perkataannya tidak bisa dibantah orang lain, kali ini boleh dikata terhitung baik buat kita" kata Hun-cong. Sedang untuk apa Pek-hoat Mo-li mencari Toh It-hang, itulah yang Hun-cong sendiri tidak tahu. Setelah mereka berjalan tujuh delapan hari lagi, mereka telah sampai di padang rumput Garsin, kegembiraan Hun-cong luar biasa orang-orang Kazak yang hendak ia cari akhirnya telah diketemukan. Selagi ia berpikir hendak membentuk kembali pasukan sal ^rela untuk melawan tentara Boan, tiba-tiba Mokhidi menuding ke depan dan berkata dengan gembira "Nah, sesudah lewat bukit ini, di muka sana adalah perkampungan kami." Segera Hun-cong melarikan kudanya ke depan, setelah melalui bukit itu, benar saja terlihat banyak perkemahan besar-kecil di sana sini, sementara itu Mokhidi dan Malina lantas berteriak, "Kawan-kawan, kami telah kembali!" Rakyat gembala yang ada dalam perkemahan segera membanjir keluar, suara sorak sorai gemuruh berkumandang. Dalam rombongan orang itu tiba-tiba terlihat satu selendang merah berkibar tertiup angin, Nyo Hun-cong terperanjat, mendadak seorang wanita muda telah menerobos ke luar di antara orang banyak dengan cepat dan berseru memanggil, "Nyo Hun-cong, mengapa kau juga telah datang!" Wanita muda ini bukan lain adalah Hui-ang-kin atau si Selendang Merah. Demi melihat gadis ini, sesaat perasaan Nyo Hun-cong tercekat, tidak keruan rasanya pahit, getir, manis, pedas dan kecut bercampur aduk, sesaat ia tak dapat mengeluarkan eepatdh katapun. 167 Dalam pada itu dengan tersenyum simpul Hui-ang-kin telah menyapa pula padanya tetapi yang disapa tidak buka suara. Waktu itu memang Hun-cong seketika menjadi linglung, bayangan Nilan Minghui telah berkelebat dalam hatinya tiba-tiba Hun-cong merasa seperti dirinya berdosa. Dan saat ia hendak berkata sekonyong-konyong seorang tegap berewokan telah muncul dari samping. "Nyo Hun-cong sama sekali tidak gendeng?" kata orang itu, "Sedang kita bertempur secara mati-matian, ia malah enak-enakan bersatu kereta dengan wanita ayu dan mengantar putri Nilan Siu-kiat kembali ke kota Ili!" "Tutup bacotmu!" bentak Hun-cong dengan sengit. Muka Hui-ang-kin seketika berubah, tetapi ia lekas tenang kembali dan menarik pergi Nyo Hun-cong dan Bing-lok, orang yang tinggi tegap dan berewokan itu. "Kalau ada omongan sebaiknya dibicarakan nanti malam saja kini orang Kazak sedang menyambut kedatangan pahlawan mereka kau malahan ribut-ribut di sini!" kata Hui-ang-kin pada Bing-lok. Sementara itu kepala suku Kazak di daerah selatan demi mendengar kedatangan Nyo Hun-cong, telah berjingkrak kegirangan, ia seperti ketiban rejeki, seperti kejatuhan mes-tika dari langit. Nyo Hun-cong telah beberapa tahun ini membantu orang Kazak di daerah utara orang Kazak yang berada di selatan dengan sendirinya pun sudah mendengar. "Nyo-taihiap, kami telah mengharap siang dan malam, akhirnya terkabul juga harapan itu atas kedatanganmu," kata kepala suku, "Beberapa hari yang lalu, pahlawan wanita Hamaya telah datang kemari, ia juga telah menceritakan soal dirimu, kalian berdua ternyata sudah saling kenal, itu sungguh sangat baik, aku sedang berunding dengan Hamaya cara bagaimana memperkuat perserikatan kita kini kau telah datang, kau tentu dapat lebih banyak memberi saran kepada kami." Mendengar percakapan ini, dari samping Bing-lok tertawa menyindir. Nyo Hun-cong terpaksa menahan diri dengan penuh kedongkolan. Di samping 168 berbincang dengan kepala suku Kazak itu, ia pun menanyakan keadaan dan pengalaman Hui-ang-kin sesudah berpisah. Ternyata pada pertempuran besar di padang rumput im, semula suku-suku bangsa daerah selatan mendapat keunggulan, belakangan bala bantuan pasukan Boan telah datang secara besar-besaran, rakyat penggembala im tak dapat menahan lagi dan berlari berpencar. Seperti diketahui, Hui-ang-kin terluka oleh kebakaran api pada waktu menyelidiki 'sumber air hitam', beruntung ia telah ditolong oleh keempat pahlawan dan terus buron hingga ratusan li lebih baru bertemu kembali dengan orang-orang Kazak di sini, sedang Bing-lok menyusul bersama kepalakepala suku yang lain. Ketika malam tiba kepala suku Kazak dan kepala-kepala suku di daerah selatan lainnya mengadakan perjamuan untuk Nyo Hun-cong. Selagi kepala suku Kazak memuji-muji Nyo Hun-cong, kepala suku Kedar, Bing-lok, tiba-tiba berdiri dan berkata, "Mata kita perlu lebih awas dan terang sedikit, jangan seorang pengecut dianggap orang gagah dan mata-mata musuh dianggap pahlawan!" "Apa maksudmu im," kata kepala suku Kazak heran dengan mata membelalak. "Di waktu pertempuran besar im Nyo Hun-cong telah melarikan diri sendiri dan membantu putri Nilan Siu-kiat membunuh dua orang pejuang bangsa Kedar kami, sepanjang jalan ia bersatu kereta dengan putri musuh dan tinggal di Ili sekian lamanya baru kembali ke sini," kata Bing-lok dengan tertawa menyindir, "Aku ingin bertanya pada Hamaya Beng-cu dan para ketua dari suku-suku, tindakan seperti Hun-cong ini sebenarnya mata-mata musuh atau pahlawan?" "Betulkah demikian?" tanya Hui-ang-kin segera pada Nyo Hun-cong. Sebelum pemuda ini menjawab, terdengar kepala suku dari Tahsan berteriak, "Siapa bilang Nyo Hun-cong adalah mata-mata musuh, sampai mati pun aku tidak percaya!" Namun Hun-cong sudah lantas berdiri dengan tenang, mukanya menghadap pada Hui-ang-kin dan berkata, "Memang betul, putri Nilan Siu-kiat betul aku yang telah menolong!" 169 Air muka Hui-ang-kin berubah keras mendengar pengakuan Hun-cong, seluruh ruangan pun menjadi ribut. "Akan tetapi, yang menolong Bing-lok pun adalah aku. Ada satu pasukan Boan telah mengejar datang, tetapi akulah dan satu tokoh terkemuka dari kalangan silat lain yang telah menghalau musuh, barulah dia bisa menyelamatkan diri!" tutur Nyo hun-cong. Muka Bing-lok menjadi merah padam. "Aku tak akan terima budimu," teriaknya, "Lebih dulu kau telah menutuk aku, kemudian kau pura-pura menolongku dan bertempur dengan serdadu Boan itu." "Kalau begitu memang benar Nyo Hun-cong yang telah membantu kau menahan kejaran pasukan Boan!" kata Hui-ang-kin. Bing-lok tidak bisa menjawab, ia bungkam, tetapi Mokhidi telah berteriak, "Kau tidak mau menerima budinya aku yang menerima budinya kami berdua juga dia yang telah menolong, semua berkat Nyo-taihiap yang telah menggempur mundur pasukan pengawal Nilan Siu-kiat dan melukai To Tok baru kita bisa meloloskan diri!" "Ya akupun tidak percaya kalau Nyo Hun-cong adalah mata-mata musuh, tetapi mengapa kau telah menolong putri Nilan Siu-kiat?" tanya Hui-ang-kin tiba-tiba. "Dan mengapa kau telah membantu dia membunuh dua orang pahlawan kami?" Bing-lok menambahkan pertanyaan Hui-ang-kin. Segera tertampak air muka Nyo Hun-cong berubah menjadi kereng dan dengan suara keras ia balas bertanya pada Hui-ang-kin. "Hamaya, kau adalah wanita, aku hendak bertanya padamu, jika seumpama kau dipaksa dengan kekerasan oleh orang lain, kau melawan atau tidak? Nilan Siukiat adalah musuh kita, tetapi putrinya belum pernah bermusuhan dengan kita, orang bawahan Bing-lok hendak melanggar dia dan telah terbunuh olehnya, mengapa kesalahan tersebut dipikulkan atas diriku." "Dia adalah tawanan kami, mengapa tidak boleh diperbuat menurut kesukaan kami?" jawab Bing-lok. 170 "Justru itulah aku tidak setuju mempermainkan tawanan tidak sebagai manusia," sahut Nyo Hun-cong dengan lantang, "Seandainya orang kita yang tertawan musuh, lalu wanitanya diperkosa, diperbudak sesukanya, apakah kamu hendak meniru cara mereka?" Kiranya kebiasaan menganggap tawanan adalah milik pihak yang mendapat kemenangan itu sudah turun-temurun ribuan tahun di antara suku-suku bangsa di Sinkiang, keruan perkataan Nyo Hun-cong telah membikin gempar mereka, segera keadaan menjadi riuh, di sana-sini terdengar bisikan-bisikan saling mempercakapkan soal ini. "Lagi pula ia belum menjadi tawanan kamu, orangmu belum sempat turun tangan sudah lantas terbunuh olehnya, waktu itu dia malahan masih dalam keadaan sakit berat," kata Nyo Hun-cong pula dengan menyindir. Muka Hui-ang-kin kelihatan muram, tetapi tenang, tiba-tiba ia menepuk tangan meminta semua diam. "Mengancam wanita dalam keadaan sakit, dosanya memang patut dihukum," ujar Hui-ang-kin. "Tetapi Nyo Hun-cong, sebaliknya aku hendak bertanya kepadamu, cara bagaimana kau berkenalan dengan putri Nilan Siu-kiat dan mengapa kau melindungi dia?" "Menyesal, Hui-ang-kin, itu adalah urusan pribadiku," sahut Nyo Hun-cong dengan suara rendah, "Cukup apabila ia bukan musuh kita, mengapa aku tidak boleh bersahabat dengan dia." "Terang dalam hatimu ada kepalsuan," bentak Bing-lok, "Nilan Siu-kiat adalah musuh besar kita, sudah tentu putrinya juga bukan orang baik-baik, mana ada orang bersahabat dengan putrinya tetapi bermusuhan dengan ayahnya. Nyo Hun-cong, biarlah aku membuka kedokmu, aku lihat kau telah tergoda oleh kecantikan putrinya dan secara diam-diam telah menjadi 'tamu halus'nya." Sesaat itu hati Hui-ang-kin seperti teriris-iris, tetapi ia tidak buka suara, sedapat mungkin ia menahan kepedihan perasaannya. Sementara itu, semua orang telah berbisik-bisik pula, pandangan mereka dalam hal membedakan orang baik atau busuk di antara pihak musuh, kebanyakan kepala-kepala suku itu masih belum mempunyai pandangan. 171 "Ya, aku pun mengetahui tindakanku ini bakal menimbulkan kecurigaan," kata Hun-cong pula dengan suara nyaring, sinar matanya mengerling seluruh ruangan, "Tetapi cara bagaimana agar supaya kamu tidak curiga. Aku mempunyai satu jalan, coba kalian setuju atau tidak?" "Silakan berbicara!" kata kepala suku dari Tahsan. "Begini, aku dengar anak kesayangan kepala suku Kazak telah ditawan oleh Coh Ciau-lam dan sampai kini belum dilepas kembali, aku bersedia merebut kembali anaknya dan menawan hidup-hidup Coh Ciau-lam serta akan kubawa kemari!" kata Nyo Hun-cong. Mendengar perkataan ini kepala suku Kazak matanya menjadi basah berkacakaca saking terharunya. "Nyo Hun-cong, aku toh tidak mencurigai dirimu, kau adalah talang punggung kami, aku tidak ingin kau pergi menghadapi bahaya sendiri," kata kepala suku itu dengan suara pelahan. Tetapi Bing-lok ternyata berkata lain, "Siapa yang tidak mengetahui Coh Ciau-lam adalah Sutemu," katanya, "Mana bisa kau pergi sendiri untuk menghadapi bahaya, sudah jelas kau bersekongkol dengan dia, menyuruh kau pergi sama saja dengan melepas harimau kembali ke gunung!" Keruan amarah Nyo Hun-cong memuncak karena tuduhan orang yang tidaktidak ini, kedua tangannya ditepuk dan segera akan bertindak, namun tibatiba Hui-ang-kin telah bersuara mencegah. "Kalian tentunya tidak akan mencurigai aku adalah mata-mata musuh bukan?" kata Hui-ang-kin. "Nah, sekarang aku pergi bersama dia, jika tidak bisa menangkap Coh Ciau-lam, kami pun tak akan kembali, aku jamin dengan kepalaku bahwa Nyo Hun-cong bukan mata-mata musuh?" Hui-ang-kin adalah Beng-cu atau ketua perserikatan dari suku-suku bangsa di daerah selatan, begitu perkataannya diucapkan, seluruh ruangan menjadi sunyi dan tidak seorang pun berani berdebat lagi. Malam kedua, Hui-ang-kin dan Nyo Hun-cong telah berpakaian peranti jalan malam dan bersama-sama berangkat menyelidiki benteng musuh yang menjadi kedudukan Coh Ciau-lam yang letaknya berapa puluh li jauhnya. 172 Sepanjang jalan Hui-ang-kin hanya bersungut dan tidak berkata-kata, beberapa kali Nyo Hun-cong hendak menerangkan mengenai Nilan Ming-hui, tetapi Hui-ang-kin hanya menarik muka dan menyahut, "Itu kan urusan pribadimu, aku tidak boleh ikut campur, apa gunanya menceritakan padaku!" demikian ia berolok-olok. "Hui-ang-kin," kata Hun-cong akhirnya, "Dengan hubunganmu dan aku, maka aku berlaku begitu sungguh-sungguh, aku tidak ingin bicara di hadapan orangorang itu bukan berarti tidak ingin membicarakan padamu, aku menganggap kau sebagai saudaraku yang paling dekat, jika kau tidak menolak aku pun bersedia menganggap kau sebagai "ji d.n i kandungku!" "Betulkah itu? Aku tentu bersedia memanggilmi,- cna-gai kakak, cuma aku kuatir jangan-jangan setelah kau melihat taci lantas melupakan adik," ucap Hui-ang-kin dengan tertawa. "Hui-ang-kin, biarlah aku mengatakan terus terang padamu, antara aku dengan Nilan Ming-hui....." Belum habis perkataannya, tiba-tiba Hui-ang-kin telah menyambung, "Tiada hubungan yang istimewa, begitu bukan yang hendak kau katakan? Sudahlah, kau tidak usah mencoba menerangkan lebih jauh lagi, biarlah kita menawan Coh Ciau-lam lebih dulu." Hati Nyo Hun-cong seperti tertasuk-tusuk dan tak tahan karenanya sama sekali tidak ia duga bahwa Hui-ang-k;n bisa percaya antara dirinya dengan Nilan Ming-hui tiada sesuatu huhungan istimewa padahal dirinya malah sudah berhubungan suami istri dengan Ming-hui. Sebenarnya Hun-cong hendak menjelaskan, tetapi demi melihat Hui-ang-kin begitu percaya pada dirinya perkataan yang hendak diutarakan segera tertahan lagi. Ia pikir, jika sekarang ia menerangkan apa yang terjadi, ia kuatir Hui-ang-kin tidak tahan pukulan itu, sehingga tugas mereka bisa menjadi kacau dan urusan menangkap Coh Ciau-lam akan gagal. Biarlah sesudah urusan beres semua baru akan dijelaskan padanya. Kedua orang mempunyai kemahiran ilmu meringankan tubuh yang tinggi itu, belum habis percakapan mereka, benteng di mana Coh Ciau-lam berada sudah terlihat di depan, sesudah mereka berjanji dengan tanda-tanda, mereka 173 lantas berbagi dua jurusan, satu arah selatan dan yang lain jurusan utara serta bersama-sama melayang naik ke atas benteng itu. Mereka berdua memang berilmu meringankan tubuh yang tinggi, mereka melayang dari rumah ke rumah dengan cepat. Tak seberapa lama mereka sudah sampai di gedung yang dituju. Baru Hui-ang-kin hendak melompat naik ke atas rumah itu, tidak terduga ada sambaran angin yang keras berbareng sesosok bayangan orang telah menubruk dari atas kepala Hui-ang-kin. Sama sekali Hui-ang-kin tidak menduga akan serangan itu, maka hampir saja terbacok, ia terkejut sekali, tidak sempat lagi melolos pedangnya, maka dengan cepat ia menggunakan gerakan 'Se-hing-giau-hwa-hun', ia mencelat ke belakang menghindarkan diri dari serangan itu. Setelah mengawasi, baru ia tahu bahwa yang menerjangnya ternyata seorang Hwesio tinggi besar, tangannya menggenggam golok. Hui-ang-kin balas merangsek, maka segera terdengar "creng-creng", suara beradunya senjata, antara pedang pendek Hui-ang-kin dan golok besar Hwesio itu. Hwesio itu tidak berhasil membacok, sebaliknya lawannya berputar cepat seperti kitiran, suara angin menyambar, dengan gerakan 'Kwai-bong-hwan-sin' atau ular besar membalik tubuh, segera ia membabat pula ke pinggang Huiang- kin. Hui-ang-kin menjadi gusar sekali, cambuknya bersuara, sekali diayunkan, tangan Hwesio itu sudah terbelit oleh pecutnya dan dibarengi dengan satu tarikan, tubuh Hwesio yang besar seperti kerbau telah terseret maju. Ketika Hwesio itu hendak berteriak, bawah ketiaknya telah terkena tutukan, kiranya Nyo Hun-cong dengan cepat telah memburu datang dan telah menutuk jalan darahnya. Hui-ang-kin masih hendak menusuk dengan pedangnya, tetapi tangannya keburu dicekal oleh Nyo Hun-cong, "Nanti dulu!" kata pemuda titi, segera pedangnya ditodongkan di belakang leher Hwesio itu. "Apakah kau murid Thian-liong Siansu?" tanya Hun-cong pada Hwesio itu. "Bagaimana jika betul?" sahut Hwesio itu dengan marah. 174 "Lima tahun yang lalu aku pernah diperintah oleh Suhu pergi menemui Thianliong Siansu, jika dihitung kita masih sahabat," kata Nyo Hun-cong, "Aku tidak akan mencelakai jiwamu, lekas katakan pada kami, kamar yang mana tempat tinggal Ha-ciangkun?" Thian-liong Siansu yang dikatakan Nyo Hun-cong itu adalah seorang Hwesio atau Lama besar dari Tibet, ilmu silatnya cukup tinggi dan mempunyai corak tersendiri, ia menciptakan seratus dua puluh enam rupa pukulan yang disebut Thian-liong-cio-hoat, gerakan pedang dan goloknya pun terjelma dari pukulan itu dan mempunyai keistimewaan tersendiri. Thian-liong Siansu menerima murid di Tibet secara luas, ia dengar ilmu silat dan ilmu pedang Hui-bing Siansu menjagoi dunia persilatan, ia lantas mengutus orang dan menantang hendak menjajal ilmu Hui-bing Siansu, waktu itu Huncong sedang akan menggabungkan diri dengan pasukan bangsa Kazak dan ada urusan hendak pergi ke Tibet untuk menghubungi rakyat Tibet di sana dan diajak bersama-sama melawan kekuasaan Boan-ciu. Hui-bing Siansu yang sudah sungkan turun gunung lantas memerintahkan Nyo Hun-cong sekalian mampir mengunjungi Thian-liong. Sesudah Hun-cong dan Thian-liong Siansu saling berdebat tentang ilmu pedang, ia baru mengerti walaupun Thian-liong-kiam-hoat mempunyai keistimewaan tersendiri, tetapi masih banyak kelemahannya, karena ia masih muda dan tak bisa berpikir panjang, ia telah mengutarakan apa yang dipikirkannya im sehingga' Thian-liong Siansu merasa kurang senang, segera dia menyuruh murid utamanya bertanding dengan Nyo Hun-cong, tetapi muridnya im hanya bertahan beberapa jurus saja sudah dikalahkan oleh Huncong, muridnya masih belum mau menerima begitu saja dan minta bertanding lagi dengan tangan, tetapi juga tiada beberapa gebrakan sudah terkurung pula oleh pukulan tangan Hun-cong dan tak mampu bergerak lebih jauh. Walaupun Thian-liong Siansu angkuh dan tinggi hati, tetapi ia pun bisa melihat dengan jelas, ia tahu kemahiran Hun-cong bahkan masih di atas dirinya sendiri, tentu tak usah bertanya lagi tentang ilmu Hui-bing Siansu. Sesudah im rasa keangkuhan dan kesombongannya lantas lenyap semua, sebaliknya lantas mengusulkan berhubungan baik dan mengikat persahabatan yang kekal dengan Nyo Hun-cong. 175 Tentang kejadian ini, murid-murid Thian-liong Siansu banyak yang mengetahui, kala im, Hwesio besar berjubah merah ini tidak mengenali orang, tetapi setelah mendengar cerita Hun-cong tadi ia terperanjat. "Apakah kau adalah Nyo-taihiap?" tanyanya. "Betul, aku adalah Nyo Hun-cong," sahut yang ditanya sambil menurunkan pedang dan memulihkan tutukan tadi. "Aku adalah orang yang didatangkan oleh Ha-ciangkun sebagai penjaga di sini, tentu aku tidak bisa memberitahu padamu di mana ia berada, karena kau adalah sahabat Suhu, biarlah aku tidak akan berteriak, jika kau tidak suka, mau kau bunuh, boleh lekas bunuhlah aku!" kata Hwesio atau Lama itu. Mendengar ucapan itu, diam-diam Hun-cong memuji Lama ini sebagai laki-laki tulen. "Baiklah kalau begitu," katanya kemudian dengan tersenyum kepada Hui-angkin, mereka lantas menggunakan gerakan 'Pek-ho-jiong-thian' atau burung bangau menjulang ke langit, mereka melayang pergi lagi. Hui-ang-kin melihat ruangan-ruangan begitu banyak dan rumah berjajar, ia lantas bertanya kepada kawannya. "Gedung-gedung begini banyak seperti ini, bagaimana kita bisa mencari?" "Kau tak usah kuatir, aku ada akal," ujar Hun-cong, lantas ia mengeluarkan belerang dari kantongnya dan membakar belerang tersebut serta dilemparkan ke kandang kuda, api lantas berkobar dengan cepat, kuda-kuda ketakutan dan menerjang keluar dari kandang, sementara im barisan pengawal musuh pun sudah datang hendak menolong memadamkan api, keadaan menjadi panik. Hun-cong dan Hui-ang-kin yang berpakaian malam hitam, dari atas wuwungan rumah mereka bisa melihat dengan jelas sekali, mereka melihat ada satu orang tegap bangsa Boan yang mengenakan jubah kebesaran dengan lagak dan sikap yang kereng sedang memberi petunjuk dan menenteramkan mereka supaya tidak ribut, agaknya ia bisa mengatur dengan baik. "Aku kenal dengan orang ini yang bernama Ha-haptoh, dia adalah salah satu panglima bawahan To Tok, panglima pemerintah Boan yang ada di Sinkiang 176 kecuali Nilan Siu-kiat, dia ini terhitung yang paling pandai, agaknya tidak salah kelihatannya," kata Hun-cong. Setelah itu ia menarik Hui-ang-kin, berbareng mereka melayang turun ke bawah. Di bawah penerangan api obor, mereka telah dapat terlihat, segera di bawah terjadi suara teriakan yang ribut. Beberapa pengawal segera menerjang maju, yang pertama memakai sepasang tameng berbentuk Pat-kwa, begitu berhadapan langsung menyerang dengan gerakan 'Tok-pi-hwa-san' atau membelah gunung Hwa-san, ia telah membelah dari atas kepala Hui-ang-kin. Hui-ang-kin ayun cambuknya hendak memberi pukulan balasan, tidak tahunya Nyo Hun-cong ternyata lebih cepat dari dia, dari samping pedangnya sudah memotong, sinar pedangnya berkelebat tubuh pengawal itu seketika terkurung menjadi dua. Di samping sana Hui-ang-kin pun dengan cepat mengayun cambuknya, dan pengawal yang kedua sudah terlempar ke gundukan api, sebelah pedangnya bergerak pula dan pengawal ketiga pun tertusuk tembus. Ketiga pengawal itu sebenarnya adalah orang terkuat di kediaman Ciangkun itu, kini tiada satu gebrakan satu persatu sudah tewas semua, pengawal lainnya segera berlari bersebaran, walaupun bagaimana tenangnya Ha-haptoh kini pun menjadi gugup. "Anak kepala suku Kazak ada di mana, lekas lepaskan dia!" bentak Hun-cong mengancam. Akan tetapi, pada saat itu juga, tiba-tiba di antara sinar api yang berkobar itu berkelebat keluar satu orang. "Nyo Hun-cong, inilah anak kepala suku Kazak itu, jika kau ada kemampuan, rebutlah ini!" seru orang itu dengan gelak tertawa. "Kau pengkhianat Coh Ciau-lam!" damprat Hui-ang-kin pada orang itu yang ternyata bukan lain daripada Coh Ciau-lam. Tanpa pikir lagi segera Hui-ang-kin mengayun cambuknya, tetapi Coh Ciau-lam telah mendorong maju anak kepala suku Kazak itu, keruan Hui-ang-kin lekas 177 menarik kembali pecutnya, dalam pada itu anak tanggung yang baru berusia belasan tahun itu sudah pucat ketakutan. "Lepaskan dia, kalau tidak aku akan habisi jiwa Ciang-kunmu ini lebih dulu!" bentak Nyo Hun-cong. "Suheng," kata Coh Ciau-lam dengan cengar-cengir, "Kau tak usah marah, kau lepaskan dulu Ha-ciangkun, nanti aku juga lepaskan anak ini." Amarah Nyo Hun-cong bukan main, tiba-tiba ia berteriak keras, "Baik, kau terima ini!" berbareng itu ia melemparkan tubuh Ha-haptoh ke arah Coh Ciaulam seperti melempar bola, dengan tak terasa Coh Ciau-lam mengulurkan kedua tangannya hendak menerima. Tetapi pada saat itu juga, dengan satu suitan panjang, dengan cepat Hun-cong telah menubruk ke arah Coh Ciau-lam, dengan satu gerak tipu 'Twi-jong-bonggwat' atau membuka jendela memandang rembulan, dengan pukulannya ia memaksa Coh Ciau-lam mundur ke samping, sedang tangan kirinya berbareng menarik anak muda itu. Hui-ang-kin tidak tinggal diam, segera gadis ini melompat maju menyambut anak muda itu, setelah Coh Ciau-lam melepaskan Ha-haptoh, pedang 'Yu-liong-kiam'-nya segera dikeluarkan, dengan gerak tipu 'Kiam-ciam-in-soa' pedangnya segera ditusukkan ke belakang punggung Huiang- kin. "Hm, masih berani kau berlaku ganas?" bentak Hun-cong, berbareng telah menusukkan pedangnya ke pundak Coh Ciau-lam. Dalam pada. itu, tiba-tiba Coh Ciau-lam berteriak, "Thian-bong Siansu, lekas bantu aku!" Lalu dengan sekuat tenaga ia menangkis rangsekan Hun-cong. "Hui-ang-kin, kau boleh pergi dulu, tunggu aku di luar benteng, setelah kutangkap pengkhianat ini segera akan kususul!" seru Hun-cong. Setelah Coh Ciau-lam berteriak tadi ternyata tidak ada sahutan, sebaliknya serangan Hun-cong makin gencar saja, Coh Ciau-lam sudah tak berdaya menangkis lebih lama lagi, dengan sekali lompatan ia bermaksud untuk melarikan diri. Akan tetapi gerakan Nyo Hun-cong laksana kera yang gesit sekali, tangan kirinya menutuk dan mengenai 'Sam-li-hiat', Coh Ciau-lam hendak menghindar, tetapi sudah tak keburu lagi, walaupun tutukan im tidak kena persis, tetapi salah satu bahunya sudah mati kaku. 178 Dengan sebelah tangannya, Hun-cong segera merebut pedang 'Yu-liong-kiam' sambil membentak, "Ikut aku!" berbareng tiga jarinya telah memijat dengan keras urat nadi tangan Coh Ciau-lam dan lantas ditarik meloncat ke atap rumah. Para pengawal pada kaget terkesima, tiada satupun yang berani mengejar. Tidak lama kenudian, Hun-cong sudah keluar dari benteng, tiba-tiba terdengar di lapangan luas sana ada suara pertempuran yang ramai, setelah ia perhatikan, ternyata Hui-ang-kin yang tangan kanannya menyeret anak kepala suku Kazak dan hanya dengan cambuk di tangan kirinya sedang bertempur dengan seru melawan seorang Hwesio. Hwesio im menggunakan sebatang pedang, tindakannya menggeser menurut aturan Pat-kwa dan sedang merang-sek Hui-ang-kin hingga gadis ini terpaksa hanya bisa menangkis saja. Demi nampak Hwesio ini, segera terdengar Coh Ciau-lam berteriak lagi, "Thian-bong Siansu, Nyo Hun-cong berada di sini!" Thian-bong Siansu adalah Sute Thian-bong Siansu, ilmu pedangnya juga tinggi. Dahulu waktu mendengar Nyo Hun-cong telah mengalahkan Thian-liong, hatinya tidak terima, ia ingin sekali mencari Hun-cong untuk diajak bertanding, karena im ia telah ditarik kemari oleh Coh Ciau-lam, Ha-haptoh melayani dia dengan hormat sekali. 8 Waktu Nyo Hun-cong dan Hui-ang-kin berdua melompat turun tadi, ia sebenarnya sudah berada di situ, tetapi karena ia tidak kenal Nyo Hun-cong dan hanya melihat seorang pemuda sedang bertempur melawan Coh Ciau-lam, sedang seorang wanita muda telah menyeret seorang anak muda untuk kabur, ia berpikir Coh Ciau-lam yang berkepandaian tinggi tentu tidak menjadi soal melawan si pemuda, ditambah pula suara-suara orang yang ramai, hakikatnya ia tidak mendengar apa yang Coh Ciau-lam teriakkan padanya tadi, tanpa pikir lagi ia lantas mengejar Hui-ang-kin. Ilmu meringankan tubuh Hui-ang-kin walaupun mempunyai keistimewaan sendiri dan di atas Thian-bong, tetapi karena bertambah satu beban, yakni membawa seorang anak, akhirnya terkejar olehnya dan telah bertempur 179 ratusan jurus, Hui-ang-kin yang hanya bisa menggunakan satu tangan saja, ternyata berbalik terdesak di bawah angin. Ketika mendadak Thian-bong Siansu melihat Ciau-lam diseret oleh Nyo Huncong seperti orang menuntun kambing, ia menjadi terkejut sekali, ia lepaskan Hui-ang-kin dan memapak Hun-cong dengan pedangnya. Lebih dulu Nyo Hun-cong dengan tatakannya yang keras membuat Coh Ciaulam tak bisa berkutik, dengan demikian, walaupun ia bisa melancarkan sendiri tutukan itu, sedikitnya harus enam jam lagi. "Kau ini apa bukan Suheng Coh Ciau-lam?" tanya Thian-bong segera dengan terheran-heran. "Coh Ciau-lam membaui 3 pemerintah Boan-jin menindas rakyat Sinkiang, Tibet dan Mongolia, mengapa kau bersedia membantu yang jahat supaya semakin jahat?" sahut Nyo Hun-cong cepat. "Aku, Jut-keh-lang, tidak mengurusi segala tetek-be-ngek, hanya mendengar dari Thian-liong Suheng, bahwa kau berani berdebat tentang ilmu pedang dengan kami, itulah yang ingin kujajal!" kata Thian-bong lagi. "Ya, waktu itu aku masih terlalu muda dan kurang mengerti," Nyo Hun-cong menerangkan. "Sebenarnya Thian-liong Siansu mempunyai ilmu pedang dan Cio-hoat yang hebat, kami orang muda mana bisa menyelami begitu saja." "Kau mau memberi pelajaran, itulah yang kurasakan telah menghinakan kami!" kata Thian-bong menjengek. Hui-ang-kin menjadi jengkel melihat lagak dan perkataan Hwesio ini, kontan ia pun balas menyindir, "Kau ingin dia memberi pelajaran padamu, sesungguhnya kau jangan mencari susah sendiri!" Thian-bong menjadi merah padam mukanya, ia menjadi gusa"- sekali dan lantas berteriak, "Nyo Hun-cong, hati-hati, terimalah serangan ini!" belum habis perkataannya, satu tusukan pedang segera menuju ke dada Nyo Huncong. 180 Hun-cong berkelit menurut gaya serangan orang, beruntun ia menghindari tiga kali serangan pedang lawan. "Mengapa kau tak melolos pedangmu?" bentak Thian-bong mendongkol. "Wan-pwe tidak berani menggerakkan senjata di hadapan Cian-pwe," kata Nyo Hun-cong dengan kedua tangannya diturunkan lurus ke lutut, perkataannya kelihatan merendah, tetapi sebenarnya sebaliknya. Thian-bong menjadi gusar, pedangnya beruntun me-rangsek lagi dengan cepat. "Kau berani pandang enteng padaku," dampratnya lagi. Nyo Hun-cong berkelit semaunya, ilmu pedang Thian-bong Siansu walaupun lihai, toh sedikit pun tidak dapat melukainya. "Mengapa kau harus sungkan-sungkan padanya," ujar Hui-ang-kin dari samping, "Sebentar lagi jika ada pasukan Boan yang mengejar kemari bukankah kita akan menjadi tambah repot." Hun-cong pikir omongan itu ada betulnya juga, mendadak tubuhnya bergerak cepat, kedua jarinya diulur mengarah pada kedua mata Thian-bong, keruan Thian-bong terperanjat sekali, pedangnya ditarik untuk menangkis, tetapi bahunya telah terpukul oleh Hun-cong, pedang panjangnya langsung jatuh ke tanah. "Maaf," kata Hun-cong, lantas ia mengempit tubuh Coh Ciau-lam dan kabur dengan cepat bersama Hui-ang-kin. Maka kembalilah Thian-bong Siansu ke Tibet dengan hati penuh rasa dendam. Sesudah Nyo Hun-cong dan Hui-ang-kin berangkat tadi, para kepala suku lantas menyalakan lilin besar dan duduk berputar di dalam kemah, kebanyakan kepala-kepala suku itu kuatir atas keselamatan Hui-ang-kin dan Nyo Huncong, mana mereka mau pergi tidur, hanya Bing-lok seorang yang masih berbisik-bisik dengan begundalnya ia malah kuatir Hun-cong yang telah pergi itu akan kembali lagi. Kepala-kepala suku itu bercakap-cakap sepanjang malam, tanpa terasa sudah jauh malam, kepala suku Sinjia telah menguap. 181 "Kenapa begitu tak berguna," kata kepala suku Tahsan menggoda, "Malam ini kita semua tidur, sedikitnya akan menunggu sampai besok pagi." Kepala suku Kazak menyetujuinya, kemudian berkata, "Ya, tetapi dikuatirkan sampai pagi nanti mereka masih belum kembali. Karena anakku y ari"; tak berguna harus membikin Nyo-taihiap dan Hamaya pergi menghadapi bahaya, aku sesungguhnya merasa tak enak sekali." "Ya, serdadu Boan yang ribuan banyaknya berkumpul di suatu benteng kecil, ditambah orang lihai seperti Coh Ciau-lam, mereka berdua hendak pergi menolong dan menawan orang dengan masuk keluar benteng musuh sesukanya, sesungguhnya adalah mimpi belaka," kata Bing-lok menyindir. "Sebaliknya aku kuatir Nyo Hun-cong saat ini sudah bersekongkol dengan Sutenya dan telah menahan Beng-cu kita." Karena olok-olok ini kepala suku Tahsan memandang hina kepada Bing-lok, ia menjadi sangat mendongkol, dan ketika ia hendak unjuk gigi, tiba-tiba pintu kemah tersingkap dan Hui-ang-kin dengan tersenyum simpul telah melangkah masuk. "Inilah putramu telah kembali, sedikit pun tak kurang sesuatu apa pun, kami telah menyelesaikan tanggung jawab yang tadi diberikan kepada kami!" katanya sambil mendorong anak muda im kepada kepala suku Kazak. "Dan mana Nyo Hun-cong?" tanya Bing-lok dengan cepat ketika tidak melihat Nyo Hun-cong. Namun dari luar kemah terdengar Nyo Hun-cong telah menyahut dan lantas melangkah masuk, ia meletakkan Coh Ciau-lam di tengah kemah, selanjurnya ia tertawa terbahak-bahak. "Syukurlah aku tidak sampai membikin kalian kecewa, inilah Coh Ciau-lam yang kalian kehendaki im!" katanya kemudian. Dalam keadaan girang dan terharu kepala suku Kazak merangkul putranya, air matanya mengalir deras, berulang-ulang ia menghaturkan terima kasih pada Nyo Hun-cong. Kepala suku Tahsan pun tidak ketinggalan mengacungkan jempolnya memuji, sedang Hui-ang-kin terlihat gembira. Hanya Bing-lok sendiri yang mati kutu, ia tak bisa berkata apa-apa lagi. 182 "Keparat Coh Ciau-lam ini aku serahkan padamu," kata Hun-cong pada kepala suku Kazak. Segera kepala suku im memerintahkan orangnya meringkus Coh Ciau-lam dengan rantai besi, walaupun bagaimana tingginya kepandaian Coh Ciau-lam kini ia tak akan bisa bergerak lagi. Menurut rencana, pada malam kedua nanti sesudah mengumpulkan kepala-kepala suku lainnya, akan diadakan upacara pembalasan sakit hati. Coh Ciau-lam akan dibuat sesajen sembahyang bagi pejuang-pejuang yang telah menjadi korbannya. Sesudah Nyo Hun-cong dan Hui-ang-kin melaksanakan tugas semalaman, kini mereka pun sudah merasa lelah sekali, sesudah mereka minum sedikit susu kuda lantas pergi mengaso. Sebelum mereka berpamitan, diam-diam Hui-ang-kin berkata pada Nyo Huncong dengan tersenyum, "Sampai ketemu, besok kita bicarakan dengan baik." Nyo Hun-cong hanya manggut-manggut dengan masgul. "Kenapa kau masih tidak bergembira?" kata Hui-ang-kin pula dengan tertawa, "Kalau ada omongan apa-apa, besok bisa kau katakan dengan baik-baik, jika kau ada permintaan apa-apa, akan kuhaluskan semuanya untukmu." Setelah berkata begitu, kembali ia tertawa lagi. Hui-ang-kin mengira bahwa besok Nyo Hun-cong pasti akan mengutarakan semua isi hatinya, mengutarakan rasa cinta padanya, maka malam ini ia bahkan sudah akan membayangkan akan bermimpi yang muluk-muluk. Esok paginya Nyo Hun-cong telah dibangunkan oleh penjaga, katanya ada orang yang mencarinya. Nyo Hun-cong mengenakan pakaiannya dan bangun, sementara itu kepala suku Kazak telah membawa masuk seorang lelaki setengah umur. "Ha, Sin Liong-cu, kiranya adalah kau," panggil Nyo Hun-cong, "Bagaimana kau bisa sampai di sini?" Sin Liong-cu adalah murid Toh It-hang, ia sebenarnya adalah putra seorang penggembala Kazak, setelah berguru pada Toh It-hang, ia telah belajar dengan sungguh-sungguh dan tidak rnempedulikan segala persoalan di luar, 183 terhadap ilmu pedang dan pukulan dari golongannya, boleh dikatakan sudah memperoleh seluruh ilmu dan kepandaian gurunya. Sewaktu di Thian-san, ia dan Nyo Hun-cong serta Coh Ciau-lam sering berkumpul bersama, hanya wataknya agak aneh, dengan Hun-cong ia tidak begitu cocok, sebaliknya dengan Ciau-lam ia bisa lebih akur. Ketiga orang ini sering merundingkan bersama soal ilmu silat dan saling memanggil sebagai saudara. Sin Liong-cu dengan kepala suku Kazak sebenarnya memang kenal, kepala suku itu sangat girang dan bangga sekali bahwa di antara sukunya terdapat seorang yang menjadi murid salah satu jagoan dari Bu-tong-pay. Setelah bertemu Nyo Hun-cong, dengan memutar biji matanya yang aneh Sin Liong-cu lantas bertanya, "Bagaimana dengan guruku? Tahukah kau ke mana perginya?" "Mengapa beberapa hari ini aku selalu ditanya orang mengenai gurumu itu?" sahut Hun-cong dengan tertawa, "Pek-hoat Mo-li bertanya soal gurumu padaku, kini kau juga menanyakan gurumu padaku." "Itulah karena aku juga telah bertemu Pek-hoat Mo-li si siluman tua itu, aku kemudian kemari untuk menanyai kau," kata Sin Liong-cu lagi, "Aku bertanya keadaan Suhu pada Pek-hoat Mo-li, tetapi dia malah telah memberiku satu tendangan sehingga aku terjungkal, kemudian ia berkata pula dengan menyindir, 'Kau boleh pergi dan bertanya kepada murid Hui-bing Siansu, Nyo Hun-cong, siapa sudi mengurus Suhumu!'. Hm, dia mengatakan tidak mengurus, tetapi ia telah memaksa Suhuku hingga tidak tahan berdiam lebih lama lagi di Thian-san. Hm, jika dia berani mencelakai guruku, walaupun kepandaianku rendah aku akan berlatih beberapa puluh tahun lagi untuk menuntut balas." "Kau tak usah kuatir, Pek-hoat Mo-li tak nanti akan mencelakai Suhumu," kata Nyo Hun-cong tertawa. "Suhumu sebenarnya sudah bertemu juga denganku, tetapi sedikit pun aku tidak mengetahui bagaimana keadaannya sekarang." Lalu ia menceritakan dengan jelas apa yang terjadi pada saat bertemu dengan Toh It-hang. 184 "Meski harus mengelilingi seluruh padang rumput ini, harus tetap kutemukan Suhu," kata Sin Liong-cu dengan mata merah, "Sebab masih ada beberapa jurus ilmu pedang yang belum aku pelajari, hanya sayang aku tidak mendapatkan sebatang pedang yang bagus." Sehabis berkata begitu ia lalu mengamat-amati kedua batang pedang yang menggantung di pinggang Hun-cong. "Sayang kedua pedang ini semua adalah pusaka guruku, kalau tidak, diberikan padamu satu juga tidak menjadi soal," ujar Hun-cong dengan tertawa. "Aku hanya merasa aneh mengapa kau membawa dua batang pedang, aku bukannya menginginkan barangmu," kata Sin Liong-cu. "Kedua pedang ini apakah masih belum kaukenali?" kata Hun-cong, "Yang satu ini adalah pedangku Toan-giok-kiam', sedang yang lain adalah 'Yu-liong-kiam' milik Coh Ciau-lam, sewaktu di Thian-san kau tentu sudah pernah melihatnya." "Mengapa pedangnya bisa berada di tanganmu?" tanya Sin Liong-cu dengan mengerling mata yang aneh. "Suteku yang tak berguna ini telah menyerah pada tentara Boan dan banyak berbuat kejahatan, sehingga aku telah menawannya," tutur Hun-cong dengan wajah masgul. "Betul apa yang dikatakannya!" tiba-tiba kepala suku Kazak menyeletuk, "Maka kini kami akan membikin upacara pembalasan sakit hati, harap kau tinggal di sini dulu untuk menyaksikan keramaian." "Ha, Suheng menawan Sute, ini sungguh suatu hal aneh di kalangan persilatan!" kata Sin Liong-cu. Pada saat im tiba-tiba Nyo Hun-cong teringat sesuatu. "Kau masih akan kembali ke Thian-san, bukan?" tanyanya kemudian. Sin Liong-cu memanggutkan kepalanya. "Tentu aku akan kembali ke sana," sahurnya, "Aku a-kan pergi mencari Suhu dulu, sesudah kuketemukan lantas kembali ke sana bersama dia, jika tidak 185 ketemu, aku pun akan kembali dulu sekaligus untuk berpamitan pada Hui-bing Supek, baru kemudian kuakan pergi mencari dia lagi." Karena itu Hun-cong lantas melepaskan pedang Ciau-lam, Yu-liong-kiam, dan diserahkan kepada Sin Liong-cu. "Ini adalah salah satu di antara pedang pusaka gunung kami," Hun-cong berpesan padanya, "Barang ini tidak boleh terjatuh ke tangan orang lain, aku sementara mengembara ke timur dan ke barat tanpa ada ketentuan mati atau hidup, aku pun tidak tahu kapan baru bisa kembali ke Thian-san, juga tak tahu kapan akan menemui ajal, aku hanya minta tolong kau suka menyerahkan kembali pedang ini pada Suhuku, berbareng memintakan maaf padanya bahwa Coh Ciau-lam telah melanggar larangan besar dari perguruan, aku tidak keburu memberitahu pada Suhu, tetapi telah lebih dulu mengambil tindakan sendiri." Sin Liong-cu menerima pedang pusaka itu, tangannya agak gemetaran. Sementara im, di luar telah ada orang melapor lagi, kali ini adalah pesuruh Hui-ang-kin yang berkata pada Nyo Hun-cong, "Nyo-taihiap dipersilakan datang pada Hamaya Siocia." Sebenarnya Sin Liong-cu pun berpikir hendak mohon diri, tetapi oleh kepala suku Kazak itu ia ditahan terus. "Kau telah lama meninggalkan kampung halaman kita, banyak urusan yang sudah tak kaupahami lagi," katanya pada Sin Liong-cu, "Bangsa kita sedang mendapat perlakuan sewenang-wenang dari orang lain, ada baiknya kalau kau tinggal beberapa hari lagi untuk bercakap-cakap dengan keluarga kita di sini." Maka Sin Liong-cu pun menyatakan setuju, sedang Hun-cong lantas keluar menuju perkemahan Hui-ang-kin. "Kau ada hubungan apakah dengan Hui-ang-kin Siocia?" tanya Sin Liong-cu yang merasa heran. "Hamaya Siocia adalah pahlawan wanita yang tersohor dari daerah selatan, Hui-ang-kin, sungguh mereka merupakan pasangan yang setimpal," kata kepala suku Kazak dengan tertawa, "Liong-cu, bagaimana kau sampai tidak mengenal nama Hui-ang-kin yang telah tersohor im?" 186 Tetapi Sin Liong-cu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dalam usia dua-tiga belas tahun aku sudah naik gunung dan tinggal di Thiansan sudah hampir dua puluh tahun lebih, bagaimana aku bisa mengetahui di padang rumput sini telah muncul seorang pahlawan wanita?" katanya kemudian. "Kabarnya dia adalah murid Pek-hoat Mo-li!" tutur kepala suku itu lagi. "Pek-hoat Mo-li telah mengejar guruku, tetapi selamanya ia tak pernah membawa serta muridnya, darimana aku bisa mengetahui dia itu Hui-ang-kin atau Hui-pek-kin segala?" kata Sin Long-cu lagi dengan gemas. "Hm, murid Pek-hoat Mo-li, aku kira dia pun bukan seorang yang baik." Kepala suku Kazak berkerut kening demi mendengar perkataan Sin Liong-cu ini. "Kau telah mencurahkan seluruh pikiranmu buat belajar, itulah hal yang bagus sekali, tetapi terhadap urusan di luar sedikitpun kau tidak pernah bertanya dan tidak mau tahu, hal itu nanti akan membikin susah dirimu sendiri," katanya, "Agaknya kau tidak bisa membedakan antara yang benar dan yang salah, tidak jelas antara putih dan hitam, kau harus berlaku hati-hati dan jangan tertipu. Hui-ang-kin adalah ketua perserikatan suku-suku bangsa di daerah selatan sini, ia bertempur melawan musuh dengan gagah berani, semua orang memuji dia, bagaimana mungkin dia bisa menjadi orang yang busuk!" Mendapat omelan ini Sin Liong-cu menjadi kurang senang, tetapi karena kepala suku adalah orang yang lebih tua dan sangat dihormati, maka ia tidak enak untuk mendebatnya. Kebetulan waktu itu telah ada orang yang datang memanggil kepala suku, maka orang tua ini lantas berkata lagi. "Dalam dua hari ini aku repot sekali dengan berbagai macam urusan, kau toh orang sendiri, kau boleh pergi melihat-lihat dan berbincang dengan saudarasaudara kita di sini, aku terpaksa tidak menemanimu." Sementara itu Nyo Hun-cong yang dipanggil Hui-ang-kin telah sampai di perkemahannya, gadis ini mengajak Hun-cong sarapan pagi di tempatnya dan kemudian menarik dia pergi jalan-jalan di padang rumput. 187 Suasana pagi di padang rumput sangat menarik, sinar matahari terang benderang, rumput menghijau masih basah oleh embun pagi bagaikan butiran mutiara, seperti seorang gadis yang habis bersolek dengan mukanya yang berseri-seri sedang tersenyum, sungguh cantik dan molek sekali. Perasaan Hui-ang-kin waktu itu sedang gembira, ia bersandar di bahu Huncong sambil bernyanyi-nyanyi kecil, tetapi sebaliknya hati Nyo Hun-cong bergolak seperti ombak mendampar, suara nyanyian yang merdu sama sekali tidak ia dengarkan lagi. Sesudah Hui-ang-kin menyanyikan beberapa buah lagu populer dari padang rumput, ketika dilihatnya Nyo Hun-cong seperti sedang memikirkan sesuatu, ia telah menarik tangannya. "Hun-cong," tegurnya, "Katakanlah sekarang juga apa yang hendak kau ucapkan, walaupun kita berkumpul belum begitu lama, tetapi hubungan kita sudah sangat baik, betul tidak kata-kataku ini? Malam kemarin kau bilang hendak menganggap aku sebagai adik kandung perempuanmu, kalau begitu, perasaan sang kakak seharusnya biarlah adik juga ikut mengetahuinya, Huncong, mungkin kau tidak tahu, bahwa sejak pertempuran yang gaduh di padang rumput itu dan berpencar denganmu, aku telah merasa kesepian, hatiku selalu terkenang padamu." Tergetar hati Nyo Hun-cong, ia menggigit bibirnya dengan menahan perasaan. "Hamaya, kau adalah adikku yang paling baik, selama hidup aku akan menganggap kau sebagai adikku yang paling baik!" demikian sahurnya. "Selain adik, apa sudah bukan apa-apa lagi?" tanya Hui-ang-kin mendesak dengan senyum simpul. "Ya, betul, hanya antara kakak dan adik saja," sahut Nyo Hun-cong memanggut. Melihat pemuda ini berkata dengan sungguh-sungguh dan dari air mukanya kelihatan ada perasaan yang aneh dan menderita, Hui-ang-kin terkejut sekali. "Hun-cong, apa yang kau katakan? Apakah kau telah mempunyai seorang gadis yang lain?" tanyanya cepat. 188 "Ya," jawab Nyo Hun-cong dengan memanggut kepala, "Sebelum bertemu denganmu, aku telah bertemu dengan seorang gadis yang lain, ia adalah....." "la adalah putri Nilan Siu-kiat, bukan?" Hui-ang-kin memotong dengan suara agak gemetar. "Ya," jawab pula Nyo Hun-cong sambil menggigit bibir lebih kencang. Karena jawaban ini, muka Hui-ang-kin seketika berubah muram seperti udara yang tadinya terang mendadak tertutup oleh awan mendung, ia tidak berkata lagi, ia coba menahan mengalirnya air mata, adatnya yang keras dan hati yang halus dari seorang gadis yang untuk pertama kalinya terbakar oleh api asmara telah bergolak dengan hebat. Sesaat itu pikirannya menjadi sangat kalut, selama hidupnya tak pernah ia merasakan pukulan yang begitu hebat, sekalipun musuhnya yang paling buas tidak mungkin membikin hancur hatinya seperti apa yang ia terima dari Nyo Hun-cong sekarang ini. Akhirnya, lahirnya harus meayerah kepada batinnya yang keras, ia menutup mukanya dan meratap, "Hm, ternyata benar perkataan Bing-lok, kau sungguh telah mencintai putri musuh!" "Ya, memang betul, Hui-ang-kin, ia telah menjadi is-teriku," kata Hun-cong pula dengan hati cemas. "Nyo Hun-cong, kau telah berbuat salah!" seru Hui-ang-kin tiba-tiba. Karena im, seluruh tubuh Nyo Hun-cong gemetar, tiba-tiba bayangan Nilan Ming-hui muncul dalam ingatannya, gadis im begitu halus, begitu agung dan begitu menggiurkan, Nilan Ming-hui serupa dengan rumput kecil yang ada di padang rumput dan memerlukan perlindungannya. "Tetapi Hui-ang-kin," kata Nyo Hun-cong kemudian dengan suara memprotes, "Ia adalah seorang gadis yang baik dan berhati lembut, aku kira ia pun akan menganggapmu sebagai tacinya. Sukalah kau pun menganggap dia sebagai adikmu?" Namun sekonyong-konyong Hui-ang-kin membalikkan tubuh terus berlari kembali menuju ke jalan ketika mereka datang tadi, air mata si gadis sudah menetes turun. Ia tidak ingin Nyo Hun-cong melihat air matanya dan mengetahui kelemahan perasaannya, walaupun Nyo Hun-cong adalah orang yang paling ia cintai. 189 Perbuatan Hui-ang-kin yang tiba-tiba im telah membuat Nyo Hun-cong tidak berdaya. Menarik tubuh gadis itu juga tidak enak, tidak menarik pun salah, ia coba menenangkan semangatnya dan lantas berlari mengejar. "Hui-ang-kin, adikku yang baik, harap tunggu dulu, tunggu dulu!" ia berteriak memanggil. Akan tetapi Hui-ang-hin masih terus berlari sambil menangis. Pikiran Nyo Hun-cong waktu im sudah kalut sekali dan hanya berlari mengikut di belakang Hui-ang-kin secara tak sadar. Pada saat itu juga, tiba-tiba dari depan sana telah menerjang datang beberapa penunggang kuda dengan cepat dan berteriak dengan ramainya "Nyo taihiap, Hui-ang-kin, apa belum tahukah kalian? Tidak usah kalian kembali ke sana kejarlah ke jurusan barat daya Coh Ciau-lam dan Sin Liong-cu telah kabur!" Mendengar teriakan yang ramai ini, Nyo Hun-cong terkejut sekali, pikirannya segera tersadar dari kekusutan, secepat kilat ia mencemplak seekor kuda dan lantas dipecut mengejar bagaikan terbang, di atas kuda ia masih sempat berseru, "Hamaya bantulah aku, lekas kejar dan tangkap kembali pengkhianat itu!" Hui-ang-kin diam saja tidak menyahut, tetapi ia pun segera mencemplak seekor kuda dan ikut mengudak. Di atas padang rumput yang luas terlihat empat penunggang kuda berkejaran dengan cepat, sekejap saja yang lainnya sudah tertinggal jauh, Nyo Hun-cong berjajar dengan kuda Hui-ang-kin, tetapi sama sekali Hui-ang-kin tidak memandang diri pemuda ini. Tidak lama kemudian, kedua penunggang kuda di depan sana sudah mulai terlihat, kedua penunggang kuda tersebut adalah Sin Liong-cu dan Coh Ciaulam. Hun-cong mengempitkan kedua kakinya dengan kencang di atas perut kuda sehingga berlari lebih cepat lagi, ia berpaling dan berseru pada Hui-ang-kin. "Sebentar lagi kau cegat Sin Liong-cu, tetapi jangan mencelakai jiwanya sedangkan aku pergi menangkap Coh Ciau-lam," katanya. 190 Hui-ang-kin masih diam saja tidak menyahut. Sementara itu kuda Nyo Huncong sudah berada di muka kelihatatanya segera sudah bisa mencapai kedua penunggang kuda yang berada di depannya itu. Tiba-tiba dari depan sana berlari dengan cepat dua orang penunggang kuda lagi, belum sempat Nyo Hun-cong melihat jelas siapa kedua orang yang mendatanginya im, tiba-tiba terdengar Sin Liong-cu berseru memanggil, "Susiokco, bantulah menahan mereka mereka hendak mencelakai kami!" Mendadak Nyo Hun-cong mengendalikan tali kudanya ketika itu kedua penunggang kuda pun sudah datang mendekat, kedua penunggangnya ternyata adalah dua orang Tosu atau imam, masing-masing tangannya memegang sebatang pedang panjang yang mengkilap. Ketika Nyo Hun-cong hendak berkata di belakangnya ternyata Hui-ang-kin dengan cepat sudah menerobos datang. "Kau pernah apanya Pek-hoat Mo-li?" bentak salah seorang Tosu tua yang memakai tudung kuning dengan tiba-tiba Hui-aing-kin yang memang sedang mendongkol pikirannya sejak tadi, tanpa menjawab lagi mendadak cambuknya telah memecut. "Kamu mengapa menghalangi aku, kamu malahan berani menyebut nama guruku dengan tidak hormat!" dampratnya dengan gusar. Atas jawaban ini, kedua Tosu im saling pandang dan kemudian berteriak, "Ha akhirnya ketemu juga biarlah Toa-ya membereskan kalian berdua siluman kecil ini dulu baru kemudian pergi mencari gurunya!" Habis berkata pedang mereka diacungkan, dari dua jurusan segera mereka menyerang, sinar pedang bergemer-depan dengan cepat, serangannya ternyata tipu pukulan yang berbahaya. "Hai, ada perkara apa berbicaralah lebih dulu!" seru Hun-cong cepat sambil menghindar dari serangan orang yang membabi buta. "Siapa sudi berbicara dengan kau!" bentak pula Tosu itu. Pedangnya terus menyerang dengan cepat dan beruntun tiga kali, ternyata tipu serangannya adalah kiam-hoat yang paling lihai dari golongan Bu-tongKang Zusi http://cerita-silat.co.cc/ 191 pay, walaupun Nyo Hun-cong dapat menduga asal usul mereka, tetapi pertandingan antara jago silat, mati atau hidup hanya tergantung dalam sekejap mata saja, maka ia tidak berani gegabah, ia harus mencurahkan sepenuh perhatiannya untuk mengawasi setiap gerak gerik musuh. Tiap serangan imam itu ternyata sangat lihai, sedang keuletannya lebih-lebih selama hidup belum pernah dialami Nyo Hun-cong. Terpaksa Nyo Hun-cong harus mengeluarkan 'Han-tho-kiam-hoat' yang merupakan bagian dari Thian-san-kiam-hoat, serangan pedang pendeknya begitu dilancarkan langsung sinar mengkilapnya berkilauan, sebatang pedang segera menjelma seperti beberapa puluh batang, di waktu cepat, permainan pedangnya seperti arus air yang mengombak ke angkasa dan sinar perak beterbangan, beratus ribu bintik-bintik purih bersebaran turun! Akan tetapi Tosu itu ternyata sangat lihai juga, pedangnya tidak cepat pula tidak lambat, sinar pedangnya hanya melingkar seperti membentuk satu pagar tembaga dan tembok besi di depan Nyo Hun-cong, ujung pedang Hun-cong sampai di mana saja tentu terbentur balik oleh suatu kekuatan dalam yang luar biasa besarnya, 'Han-tho-kiam-hoat' yang dimainkan selekasnya sudah akan habis jurusnya, tetapi ia masih belum dapat mendesak mundur musuh. Dalam kerepotannya Hun-cong masih mencoba memandang ke pihak Hui-angkin, gadis ini kelihatan sudah kerepotan sampai rambutnya bersebaran tak teratur, pecut panjangnya hanya berayun tak keruan dan pedangnya berputar-putar tanpa tujuan, agaknya sudah tak tahan lebih lama lagi. Hun-cong menjadi kuatir sekali, lekas ia mengeluarkan seluruh ilmu pedang Thian-san yang paling lihai dan menyerang secepat kilat. Melihat permainan Nyo Hun-cong yang hebat, Tosu itu bersuara dengan penuh keheranan, akan tetapi ia tetap terus mempertahankan diri, pedangnya menyambar naik turun, kadang-kadang malahan pedang Nyo Hun-cong tertangkis ke samping, Nyo Hun-cong sudah mandi keringat, tetapi tetap masih tidak dapat melepaskan diri. Hun-cong yang telah menguasai Thian-san kiam-hoat sebenarnya sudah sulit dicari tandingannya, ilmu pedangnya sungguh sangat lihai dan kalau dibandingkan dengan ilmu pedang Tosu itu tentu jauh lebih bagus, tetapi kalau 192 soal keuletan sebaliknya ia masih kalah jauh, maka ia berbalik berada di bawah angin. Sementara itu di lain pihak Hui-ang-kin sudah dalam keadaan lelah letih dan kelihatannya segera akan menjadi pecundang, Hun-cong tidak berdaya, ketika ia hendak menggunakan serangan yang paling lihai untuk mengadu jiwa dengan Tosu tua itu, tiba-tiba Tosu tua ini sudah melompat keluar dari kalangan pertempuran. "Berhenti, berhenti dulu!" teriaknya tiba-tiba. Nyo Hun-cong menarik pedangnya dan dilintangkan di dadanya, ia melihat ke jurusan Hui-ang-kin, kelihatan gadis ini sudah tersengal-sengal napasnya dan juga sudah melompat keluar dari kalangan. "Sute, kedua orang ini sudah kuketahui sedikit asal-usulnya!" kata Tosu tua yang bertanding melawan Nyo Hun-cong im pada kawannya. "Tidak salah, memang juga sudah kuketahui sedikit asal-usulnya, ia mempunyai ilmu silat yang khas dan menandakan betul adalah ajaran Pek-hoat Mo-li, mereka tidak membohongi kita, dan kalau sudah terang mereka adalah murid Pek-hoat Mo-li, mengapa Suheng berhenti sampai di sini?" sahut Tosu yang melawan Hui-ang-kin tadi. Kemudian imam tua berhidung kuning im mendadak tertawa sambil mendongak ke atas. "Sudah lama aku mendengar Thian-san-kiam-hoat tiada bandingannya di kolong langit, kini terbukti memang tidak salah lagi. Hai, kau pernah apanya Hui-bing Siansu?" tanyanya dengan suara nyaring. Imam tua yang sudah mumpuni dengan ilmu pedangnya yang sudah terlatih puluhan tahun lamanya dan adalah jagoan kelas satu dari Bu-tong-pay ternyata harus bergebrak begitu lama dengan Nyo Hun-cong yang masih begitu muda, jidatnya sendiri sampai berkeringat, tentu saja ia terperanjat dan heran sekali. "Hui-bing Siansu adalah guruku, maaf numpang tanya siapakah gelar suci Locianpwe?" sahut Hun-cong kemudian dengan hormat. 193 "Kalau kau adalah murid Hui-bing, mengapa berbalik membela murid Pek-hoat Mo-li?" bentak Tosu di sebelah sana dengan tiba-tiba. "Aku tidak memandang pihak mana pun," jawab Nyo Hun-cong dengan lantang, "Lienghiong ini adalah ketua dari perserikatan suku-suku bangsa di Sinkiang selatan sini, ialah Hui-ang-kin Lienghiong yang namanya tersohor di seluruh padang rumput, mengapa aku tidak boleh membantunya?" "O, kiranya jagoan wanita ini adalah Hui-ang-kin, sungguh tidak nyana ia adalah murid Pek-hoat Mo-li!" ujar Tosu tua im agak tercengang. "Aku memang adalah murid Pek-hoat Mo-li, pahlawan-pahlawan yang berada di daerah luar sini siapa yang tidak mengetahui?" sahut Hui-ang-kin dengan lagak agak congkak, "Ada apa dengan guruku, ia adalah ahli pedang kelas satu di kalangan persilatan, perbuatan memalukan apakah yang telah diperbuatnya sehingga membuat para Locianpwe begitu gusar?" "Lienghiong, maafkanlah kami!" kata Tosu tua tadi yang kini lagu suaranya sudah berubah menjadi halus. "Perkara ini panjang ceritanya, aku sepatutnya tidak ingin mengutuk nama gurumu di hadapanmu, tetapi kau masih terlalu muda, banyak urusan yang belum kau ketahui, kau boleh pergi melawan tentara Boan dan menjalankan tugasmu yang mulia, untuk ini kami tentu membantu kau dan tidak nanti merintangi, hanya saja jika kau menuruti perintah gurumu pergi menindas murid keponakanku, itulah yang kami tidak bisa biarkan!" "Kalau begitu, kiranya kedua Totiang adalah Susiok Toh-taihiap?" tanya Huncong terperanjat. "Betul!" sahut kedua Tosu im dengan memanggut. Jika diurutkan ternyata Nyo Hun-cong masih lebih rendah dua tingkat, maka lekas ia memberi hormat pada kedua orang tua ini. "Kami dengan Hui-bing semua adalah sahabat yang sudah turun-temurun," kata Tosu tua lagi, "Masing-masing mempunyai hubungan yang khusus, kami menganggap gurumu dari tingkatan yang sama, tetapi karena ia menghormati Sutit kami yang pernah mengetuai satu golongan persilatan, maka ia juga menganggap kedudukannya setingkat, kalau kau hendak mengurutkan secara adat, maka biarlah kau menyebut aku sebagai Susiok juga." 194 "Maafkanlah aku!" kata Nyo Hun-cong sambil memberi hormat lagi, perasaannya pun penuh rasa heran, tetapi ia tak berani bertanya. Kiranya kedua imam ini baru datang dari Su-jwan, maka mereka tidak mengetahui seluk-beluk Hui-ang-kin. Sedang diri Toh It-hang asalnya adalah dari kaum bangsawan, belakangan ia telah menjadi Ciang-bun atau ketua Butong- pay, tapi di atasnya masih ada lagi empat orang Susiok atau paman guru, kepandaian It-hang lebih rendah sedikit daripada Ji-susioknya yakni Tosu yang bertanding dengan Nyo. Hun-cong tadi, yang bernama Oei-yap Tojin, kepandaian Ji-susioknya ini jauh lebih tangguh daripada Susiok yang lain. Yang bertanding dengan Hui-ang-kin tadi adalah Si-susiok yang bernama Pekciok Tojin. Mengenai diri Pek-hoat Mo-li, ia asalnya adalah seorang begal besar dari daerah Su-jwan. Kedekatannya dengan Toh It-hang sebenarnya adalah hubungan percintaan yang sudah dekat pada pernikahan, akan tetapi para Susioknya menganggap Bu-tong-pay adalah salah satu aliran yang bersih dalam kalangan persilatan. Toh It-hang adalah orang pilihan di dalam golongan mereka dan baru saja menerima jabatan sebagai Ciang-bun atau ketua, maka tidak pantas mendapatkan jodoh seorang begal perempuan. Pada masa itu, soal perjodohan masih harus menurut kepada keputusan orang tua, Toh It-hang yang sudah piatu dengan sendirinya harus menurut pada perkataan para Susioknya, karena rintangan inilah yang telah membuatnya sangat menderita dan penuh kemasgulan. Sebenarnya, soalnya bukan sudah tak dapat diperbaiki lagi, tak terduga Pelchoat Mo-li yang berwatak keras sekali, dengan amarahnya ia telah mengeluruk ke Bu-tong-san dan bergebrak dengan Susiok Toh It-hang. Waktu itu, Oei-yap Tojin dan Pek-ciok Tojin justru tidak berada di situ, Toh It-hang masih mempunyai dua Susiok yang lain yaitu Ang-hun Tojin dan Jingsui Tojin, merekalah yang telah mengerubuti Pek-hoat Mo-li beserta enam murid mereka yang tertua. Pek-hoat Mo-li yang sendirian melawan delapan jago dari Bu-tong-pay ternyata telah dapat melukai Ang-hun Tojin, sebaliknya iapun terluka oleh pedang Jing-sui Tojin, kedua pihak sama-sama ada yang mengalami luka, PekKang Zusi http://cerita-silat.co.cc/ 195 hoat Mo-li yang telah patah hati dalam soal asmara mengerti tidak dapat menetap terus di daerah Su-jwan lagi, maka jauh-jauh ia telah datang ke Thian-san dan menyembunyikan diri di sana. Dan rambutnya dalam semalaman telah berubah menjadi putih semua, maka orang lantas menyebut dirinya Pekhoat Mo-li atau si iblis perempuan berambut putih. Toh It-hang yang juga mengalami pukulan batin begitu hebat, ia pun menjadi putus asa, tiba-tiba ia meninggalkan kewajibannya sebagai Ciang-bun dan menyusul ke daerah perbatasan, tetapi Pek-hoat Mo-li yang telah salah paham padanya di samping cinta juga benci, maka mereka susah diakurkan kembali. Selama beberapa puluh tahun ini, kedua orang ini selalu dalam keadaan yang bertentangan dan berlainan jurusan. Belakangan bahkan Pek-hoat Mo-li mengira Toh It-hang telah bermain cinta dengan murid perempuan Oei-yap Tojin yang bernama Ho Lok-hua dari cemburu menjadi gusar dan hendak mengusir mereka keluar dari daerah Sinkiang, Toh It-hang yang mengetahui watak Pek-hoat Mo-li yang cukup ganas, ia menjadi kuatir Ho Lok-hua dicelakai maka cepat ia mengantar Ho Lok-hua keluar dari daerah Sinkiang, tidak terduga Oei-yap Tojin yang entah mendapat kabar dari mana, jauh-jauh ia telah datang menyusul. Di waktu masih kecil Sin Liong-cu pernah bertemu sekali dengan Oei-yap Tojin, dengan kedatangan mereka yang secara kebetulan ini justru telah menghindarkan bahaya bagi diri Sin Liong-cu dan Coh Ciau-lam berdua. Kembali tentang Hui-ang-kin, setelah mendengar perkataan Oei-yap Tojin tadi, ia menjadi gusar. "Hm, kamu masih berkata membantu aku melawan tentara Boan, tetapi matamata musuh justru telah lolos karena kamu!" katanya sengit. Keruan Oei-yap Tojin terperanjat sekali mendengar dampratan itu. "Apa?" tanyanya cepat, "Sin Liong-cu adalah mata-mata musuh? Ah, mana mungkin! Walaupun aku tidak berada di Thian-san, tetapi pernah juga mendengar murid Toh It-hang ini selalu belajar dengan baik dan sungguhsungguh, bagaimana ia bisa membantu pemerintah Boan-jing!" 196 "Sin-toako mungkin tidak, tetapi maafkan kalau Tecu harus berterus terang, ia biasanya terlalu ceroboh, mungkin ia sudah kena hasutan Coh Ciau-lam dan telah membebaskan dirinya yang telah kami tawan dan lantas kabur bersama!" kata Nyo Hun-cong. "Coh Ciau-lam yang mana?" tanya Oei-yap Tojin. "Coh Ciau-lam adalah Tecu punya Sute yang tak berguna itu," sahut Hun-cong, "Ia telah mengkhianati sumpah perguruan dan menyerah pada pihak Boan untuk berbuat sewenang-wenang, kemarin malam telah tertangkap oleh Tecu, tetapi paginya telah terlepas dan kini sudah melarikan diri!" Karena keterangan ini lantas Oei-yap Tojin ketok-ketok batok kepala sendiri. "Ya, ya, memang aku si tua bangka ini yang ceroboh!" katanya berulang-ulang, "Baiklah begini saja, kalau kami ketemukan Toh It-hang, kami akan meminta dia memberi ajaran dan hukuman yang setimpal pada Sin Liong-cu, sedang mengenai Coh Ciau-lam, karena ia bukan orang golonganku, maka kami tidak pantas mengurusi dia." Sementara itu, Sin Liong-cu dan Coh Ciau-lam sudah pergi terlalu jauh, hendak mengejar pun sudah tak keburu lagi, maka terpaksa Nyo Hun-cong dan Hui-ang-kin berpamitan pada Oei-yap Tojin dan Pek-ciok Tojin kembali ke perkemahan bangsa Kazak sana. Sepanjang jalan Nyo Hun-cong mencoba mengajak Hui-ang-kin bercakapcakap, tetapi Hui-ang-kin tidak menyahut dan tidak menggubris, karena tidak tahan lagi Nyo Hun-cong telah mengalirkan air mata. "Hui-ang-kin," kata Hun-cong dengan sungguh-sungguh, "Anggaplah aku telah mengecewakan maksud baikmu, tetapi kita masih harus melawan tentara Boan bersama!" Tidak diduganya, perkataannya itu makin menambah kegusaran Hui-ang-kin. "Nyo Hun-cong," sahurnya dengan gemas, "Siapa yang memikirkan dirimu, kau pandang aku Hui-ang-kin sebegitu rendah dan harus tetap mengikutimu? Hm!" akhirnya ia menjengek. 197 Habis berkata beruntun ia memecut kudanya terus dilarikan kembali ke arah datangnya tadi, Hun-cong tertegun dan tak berani buka suara lagi. Setelah sampai di perkemahan, lebih dulu Nyo Hun-cong menemui kepala suku Kazak dan meminta maaf, ia menceritakan pengalamannya. "Cukuplah," kata kepala suku itu sambil tertawa, "Coh Ciau-lam dapat lolos, hal ini walaupun sangat disayangkan, tetapi kalau kau tetap bersama kami, apakah masih kuatir tidak dapat menangkap dia lagi? Pihak yang benar pasti menang, Tuhan melindungi kita, musuh dan kaum pengkhianat pasti tidak akan mendapat pengampunan, sekarang boleh kau pergi istirahat dulu!" Dengan perasaan penuh kemasgulan, setelah kembali ke dalam kemah, Huncong tidak pergi mencari Hui-ang-kin. Pada besok paginya, kepada suku Kazak tiba-tiba menerobos datang padanya dan berteriak, "Apakah artinya ini? Hui-ang-kin telah pergi dengan membawa orang-orangnya!" Pikiran Nyo Hun-cong tergoncang keras mendapat kabar yang tiba-tiba im. "Ha? Ia telah pergi tadi malam?" tanyanya cepat. Kepala suku itu mengangsurkan selembar kulit domba, di atasnya penuh tertulis huruf Vigor, ternyata itulah surat yang Hui-ang-kin tinggalkan. Hun-cong membaca surat itu, di situ tertulis : Kami suku dari daerah selatan menghaturkan banyak terima kasih atas kesediaan menampung kami. Kini para pejuang kami yang tersebar telah terhimpun kembali dan sebagian besar sudah kembali ke pangkalan, pejuang-pejuang kami yang berada di sini mengambil keputusan untuk balik ke tempat lama dan menyusun kembali ladang gembala yang baru dan belajar bersama untuk melawan pasukan Boan. Dengan suku saudara, kami bersedia mengikat tali serikat yang kokoh untuk kebaikan selama-lamanya. -H a m a y a "Ia kembali ke sana untuk mengakhiri masa berjuang dan guna menyusun kembali ladang peternakannya, sesungguhnya adalah urusan yang betul juga," kata Nyo Hun-cong dengan berat. "Di daerah selatan sini mereka hakikatnya 198 hanya tamu belaka tentu tidak dapat tinggal terlalu lama, tetapi mereka pergi sedemikian cepat, adalah di luar dugaan juga, ia seharusnya menunggu perundingan urusan yang maha besar selesai barulah berangkat." Kepala suku Kazak terdiam tak bisa bicara, Nyo Hun-cong lebih kesal hatinya. Tetapi situasi peperangan dalam keadaan yang genting, awan peperangan sudah gelap, Coh Ciau-lam yang lolos itu telah kembali ke pangkalan pasukan Boan-jing, begitu api peperangan berkobar. Nyo Hun-cong harus membantu suku Kazak mengatur siasat, ia sesungguhnya tiada tempo lagi untuk memikirkan urusan pribadinya. Kalau Nyo Hun-cong berada dalam perkemahan di padang rumput Garsin dengan perasaan tegang, maka di sana, di tempat berjarak ribuan li, Nilan Ming-hui yang berada dalam istana jenderal pun sedang dalam keadaan bingung. Sejak Nyo Hun-cong pergi, tubuhnya telah mengalami perubahan, ia selalu merasa kurang tidur, baru bangun pagi, lewat sebentar sudah merasa kantuk hendak tidur lagi, perutnya pun dirasakan sangat tidak enak, sering kali muntah-muntah, begitu makan lantas muntah, bahkan dalam keadaan perut kosong pun bisa memuntahkan air kecut. Wajahnya yang cantik tiba-tiba berubah menjadi kumal dan timbul guratan, bahkan timbul pula sedikit bintik-bintik hitam. Makanannya pun aneh, dulu yang dia suka kini berbalik merasa bosan, tetapi yang dulu tak disukai kini berbalik ingin mencoba, lebih-lebih ia suka makan yang kecut-kecut, perangainya pun berubah suka marah-marah, berbeda jauh dengan sebelumnya, ia sendiri pun merasa agak heran. Ibunya biasanya memang jarang bertemu dengan dia pernah juga bertemu, ia hanya mengira putrinya sedang sakit dan hendak memanggil tabib untuk memeriksanya. Ming-hui hakikatnya tidak mengetahui dirinya sakit apa setelah kembali di kamarnya ia hanya merasa sangat kesal dan marah-marah tanpa sebab, ia obrak-abrik dan melemparkan barangnya bersebaran. 199 Babu inangnya yang mendengar ribut-ribut lalu masuk ke kamar untuk bertanya. "Ibu hendak memanggil tabib buat memeriksa sakitku, entah sakit aneh macam apa ini, sehari-hari hanya merasa mual saja tetapi toh tidak diketahui sebab musababnya!" katanya pada babu itu. Segera si babu itu menutup pintu kamar dan katanya pelahan pada Siocianya "Siocia sebenarnya aku tidak akan omong, aku telah berpikir beberapa hari ini, aku merasa lebih baik aku beritahukan saja pada Siocia kini keadaan telah mendesak, lebih-lebih harus kukatakan sekarang. Siocia kau sekali-kali jangan periksa tabib!" Mendengar perkataan babunya itu Nilan Ming-hui terkejut sekali, ia mengeluarkan suara keheranan. "Naima apa yang kau katakan?" tanyanya pada babunya itu, "Apa yang kau ketahui dan mengapa aku tidak boleh periksa pada tabib, boleh kau katakan terus terang." Naima nama babu itu, mengelus-elus rambut si gadis dan lalu berbisik di pinggir kupingnya "Nak, kau telah mengandung!" Bukan main terkejutnya Nilan Ming-hui sampai tak dapat mengeluarkan separah kata pun, ia merasa tubuhnya lemas lunglai dan ambruk ke bawah, ia bingung, entah senang atau sedih, getir atau gembira air matanya tidak terasa telati mengalir keluar. Dengan kedua tangan Nahw segera merangkul pundak Ming-hui. "Anakku sayang, janganlah menangis, biarlah aku carikan daya upaya" kata babu itu dengan menghela napas dan penuh rasa kasih sayang, "Tabib yang diundang Hujin sekali-kali tidak boleh memeriksamu, besok sebaiknya kau pergi jalan-jalan ke padang rumput, aku nanti yang akan menemui Hujin dan menjelaskan bahwa kau hanya kurang enak badan saja dan tiada sakit apa-apa kini sudah baik. Sebenarnya kalau Hujin mengetahui itu pun pantas, hanya dikuatirkan Loya pun mengetahui, inilah yang berbahaya. To Tok sedang menyuruh orang meminang dirimu, di lain pihak Hujin pun takut kepada Loya jika sampai Loya tahu, meski kau tidak didamprat, pasti ibumu yang akan didampratnya habis-habisan." 200 "Kalau begitu, kelak kalau anakku lahir bagaimana bisa mengelabui mereka?" tanya Nilan Ming-hui. Naima pun menghela napas pula. "Siocia maafkan keberanianku untuk mengatakan hal ini secara berterus terang, bagaimana kalau dihilangkan saja anak ini?" kata Naima. "Kau..... kau maksudkan menggugurkan kandunganku?" tanya Ming-hui dengan mata terpentang lebar. Naima manggut-manggut agak menyesal. Entah kekuatan yang datang darimana tiba-tiba Nilan Ming-hui melompat bangun dan dengan suara yang begitu keras serta tabah ia berteriak. "Tidak, tidak mungkin, aku tidak mau! Aku harus mempertahankan anak ini, tidak peduli ia laki-laki atau perempuan, ia adalah anak yang kucintai!" katanya. Sesaat itu, hatinya tiba-tiba penuh dengan kegembiraan, ia merasa jiwanya dan jiwa Nyo Hun-cong telah terikat menjadi satu, apabila anak ini bisa lahir dengan selamat, maka Nyo Hun-cong akan tetap hidup untuk selamanya di sampingnya dan terus begitu sampai mereka berdua meninggal, tetapi jiwa mereka masih akan bersambung terus, bersambung di atas jiwa anak mereka. Ia mencintai Nyo Hun-cong dengan sepenuh hati, ia pun mencintai anak yang belum lahir ini walaupun belum diketahui laki-laki atau perempuan. "Aku sudah tidak lagi takut pada orang yang bernama Hui-ang-kin, jiwa Nyo Hun-cong kini sudah hidup dalam tubuhku!" teriaknya pula mendadak. "Hui-ang-kin siapakah maksudmu, Siocia?" tanya Nai-ma dengan heran. Nilan Ming-hui hanya tersenyum, ia tidak menjawab. Sebaliknya Naima dalam hati sangat kuatir, pikirnya dalam hati, "Sungguh anak yang tak mengerti urusan dan masih begini nakal?" Setelah ia merenung sejenak, pelahan babu ini lantas mendorong diri Nilan Ming-hui. 201 "Siocia, marilah, aku telah mendapatkan satu akal, coba bagaimana menurut pikiranmu?" katanya kemudian. Nilan Ming-hui seperti tersadar dari mimpinya, dengan rasa malu-malu ia bertanya, "Naima, akal apakah itu?" "Siocia," kata Naima, "Bukankah kau sering pergi berburu? Nanti kalau sudah hampir bulan kelima usia kandung-anmu, kau boleh membawa pasukan wanita pergi berburu beberapa ratus li jauhnya di padang rumput sana, aku mempunyai seorang Enso, janda yang tinggal di sana, keponakanku kini bekerja dalam istana sini, dia itu orang yang agak dogol dan kau pun pernah bertemu dengannya, aku akan menyuruhnya ikut pergi bersamamu, walaupun ia agak dogol, tetapi sangat penurut." Mendengar keterangan babu^/a itu, Nilan Ming-hui menjadi girang sekali. "Naima, kau sungguh pintar sekali," katanya, "Kalau aku bilang mau pergi berburu, itu memang tepat. Ya, aku lupa memberitahu padamu bahwa pertama kali aku bertemu dengan ayah dia, waktu itu aku juga sedang berburu!" "Dia, dia yang mana?" tanya Naima heran. Tetapi baru ia akan buka suara untuk bertanya, segera pula ia mengerti bahwa 'Dia' yang dimaksudkan adalah anak yang ada dalam kandungan Siocianya, tanpa terasa ia tersenyum sendiri. Sekejap saja telah lewat beberapa bulan, kandungan Nilan Ming-hui kini sudah menginjak lima bulan. Justru waktu itu Nilan Siu-kiat telah pergi bertempur ke tempat yang agak jauh, maka soal pergi berburu bagi Nilan Ming-hui tentu menjadi lebih mudah lagi, cukup kalau ia memberitahu pada ibunya dan lantas membawa belasan pengiring wanita serta anak dogol itu, maka berangkatlah mereka ke padang rumput sana. Demikianlah Nilan Ming-hui mendekam dalam perke-mahannya di padang rumput untuk menunggu lahirnya sang bayi, tidak terasa telah lewat pula lebih dari empat bulan. Pada suatu hari, tiba-tiba Hujin atau ibunya telah menyuruh beberapa serdadu wanita datang menemui Nilan Siocia dan membawa kabar yang mengejutkan, katanya tiga hari yang lalu, pada malam yang gelap dan berangin 202 ribut, istana telah kedatangan seorang begal perempuan yang hendak mencari Loya tetapi karena tidak bertemu, maka begal itu telah menawan seorang pesuruh Siocia dan menanyakan keadaan sang Siocia. Kepandaian penyamun wanita itu ternyata tinggi sekali, walaupun ia telah dapat menerobos masuk ke dalam istana dan menawan seorang pesuruh kecil Siocia, tetapi masih belum diketahui orang, baru sesudah pesuruh kecil im dipaksa sampai menjerit, barulah jago-jago yang menjaga istana im memburu datang. Akan tetapi penyamun wanita ini ternyata tidak gentar sedikit pun, dalam kepungan begitu banyak guru-guru silat dari istana, seutas rambut pun tidak terluka, ia pergi datang dengan bebas, waktu hendak pergi bahkan telah melukai beberapa khau-thau (guru silat istana) pula. Hujin yang sangat ketakutan meminta Siocia suka berhari-hari dan telah mengundang Siocia supaya kembali ke istana saja untuk mempermudah penjagaan terhadapnya. Nilan Ming-hui yang tiduran di atas pembaringan setelah mendengarkan cerita tadi, dalam hari ia mengerti tentu Hui-ang-kin yang telah datang mencarinya, dengan tak terasa ia mengomel dengan gemas, "Sungguh seorang penyamun perempuan yang ganas!" Akan tetapi ia mengerti kepandaiannya jauh di bawah orang dan tidak dapat menandingi Hui-ang-kin, walaupun pulang juga tak berguna, lagi pula setelah ia menghitung harinya, waktu lahir bayinya pun hanya tinggal belasan hari ini saja, bagaimana ia bisa pulang ke rumah? Terpaksa ia hanya menyuruh keponakan Naima im untuk kembali dulu, ia pesankan supaya menyampaikan pada ibunya bahwa ia baru dapat kembali beberapa hari lagi. Tempat persembunyian Nilan Ming-hui walaupun cukup rahasia, akan tetapi tidak urung ia pun kuatir, ia takut Hui-ang-kin dapat menemukan dirinya, ia pun tidak mengetahui apakah pesuruh kecil yang ditanya oleh Hui-ang-kin dengan paksa itu sudah membocorkan tempat tinggalnya. 203 Tetapi segera ia menghibur dirinya sendiri, "Padang rumput yang sedemikian luasnya, sekalipun ia telah sampai di padang rumput pun tak akan dapat mengetahui di mana aku berada." Ia memerintahkan pengawalnya yang kesemuanya serdadu wanita im untuk berjaga siang malam bergiliran, ia sendiri walaupun tidak bebas lagi bergerak, ikut berjaga-jaga dengan menaruh sekantongan anak panah kecil di ujung tempat tidurnya, ia bersedia mengadu jiwa mati-matian dengan Hui-ang-kin, apabila ia berani datang. Malam ketiga, juga suatu malam yang gelap dan angin bertiup kencang. Setelah lewat tengah malam, di padang rumput yang luas im tiba-tiba berkumandang datang suara derapan telapak kaki kuda, belasan orang yang berperawakan tegap menunggang kuda sedang mendatangi dengan cepat. Bahkan keponakan Naima tertangkap dan tampak terikat celentang di atas kuda orang. Serdadu-serdadu wanita dapat melihat dengan jelas di bawah penerangan obor, tidak terlihat seorang wanita pun di antaranya. Keempat pengawal Nilan Ming-hui sesudah saling pandang dan memberi isyarat, segera dengan senjata mereka menerjang belasan orang im yang kini sudah datang mendekat. Serdadu-serdadu wanita ini semuanya telah dilatih sendiri oleh Nilan Minghui, kepandaian mereka pun cukup baik, lebih-lebih keempat pengawal pribadinya. Ilmu memanahnya lebih lihai lagi, sebelum begal-begal itu datang mendekati perkemahan sudah terpanah jatuh beberapa orang. Ternyata gerombolan orang-orang ini adalah begal kuda dari padang rumput, diketuai oleh seorang yang bernama Ong-toasicu. Setengah bulan yang lalu ia mendengar kabar ada serombongan wanita sedang berburu di padang rumput, ia tidak tahu yang berburu itu adalah rombongan Nilan Siocia, ia hanya mengira tentu anak gadis kepala suku dari mana, maka ia dengan membawa belasan penunggang kuda memburu datang dari padang rumput Garsin dan hendak membegal. Di tengah jalan mereka telah bertemu keponakan Naima yang disuruh pulang dulu oleh Nilan Ming-hui, mereka sekaligus menangkapnya dan memaksanya menunjukkan tempat perkemahannya. Dalam pertempuran yang ribut itu, begal-begal kuda itu ternyata belum bisa memperoleh keunggulan, Ong-toasicu menjadi gugup, tangan kirinya 204 mendorong keponakan Naima dan tangan kanan mengayunkan goloknya membacok dengan sekuatnya. Serdadu-serdadu wanita yang ketakutan lantas minggir dan memberi kesempatan padanya untuk menerobos masuk ke dalam kemah. Nilan Ming-hui sudah siap dan duduk di atas kasur, begitu melihat Ongtoasicu menerobos masuk, tangannya segera diayunkan dan segera pula sebuah pisau melayang dengan kecepatan luar biasa, kulit kepala begal ini segera terkelupas sebagian. Ong-toasicu menggereng kesakitan, hingga tangannya sedikit kendor, keponakan Naima lantas jatuh terguling di tanah, Ong-toasicu masih merangsek dan membacok Nilan Ming-hui, tetapi Nilan Ming-hui telah berguling ke bawah dan segera menyambitkan pula sebatang pisaunya, "traang", suara beradunya senjata segera terdengar, golok Ong-toasicu telah terpental lepas dari tangan, keruan ia tercengang. Tetapi pada saat itu juga tiba-tiba Nilan Ming-hui berteriak kesakitan, ia telah terlalu banyak menggunakan tenaga, perutnya terasa sakit sekali, kepalanya pusing dan matanya berkunang-kunang, kaki tangannya pun lemas tak bertenaga lagi. "Nyo Hun-cong, O, Nyo Hun-cong, anakmu tak dapat diselamatkan lagi!" serunya dengan merintih kesakitan. Kala itu keponakan Naima sudah bangun, maka dengan mati-matian ia menerjang Ong-toasicu, akan tetapi hanya beberapa gebrakan saja, kembali ia rubuh oleh pukulan Ong-toasicu. Berulang-ulang dengan tertawa menyeringai, Ong-toasicu maju lagi dan lantas hendak mencengkeram diri Nilan Ming-hui, pada saat yang berbahaya itu tiba-tiba dari luar kemah terdengar suara yang gaduh sekali, Ong-toasicu yang belum sempat berpaling, belakang punggungnya seketika terasa kesakitan sekali dan tubuhnya tahu-tahu sudah terangkat ke atas oleh orang. 9 Waktu Nilan Ming-hui membuka matanya dan memandang, ia melihat muka Hui-ang-kin yang penuh dengan napsu membunuh, dengan cambuk di tangan kirinya telah melilit tubuh Ong-toasicu dan tangan kanannya menuding pada 205 Nilan Ming-hui sambil membentak, "Hm. kiranya kau adalah orang yang bernama Nilan Ming-hui? Mengapa begitu tak berguna, sungguh corak seorang Siocia!" ia mengejek. Sejak Hui-ang-kin berpisah dengan Nyo Hun-cong. ke-masgulannya belum juga lenyap, seorang diri ia telah datang mengacau di istana jenderal Ili, walaupun tidak mendapatkan Nilan Ming-hui, tetapi telah berhasil mencekal seorang pesuruhnya dan memaksa orang mengaku, sesudah mendapatkan kabar Nilan Ming-hui ia lantas menyusul ke padang rumput sini, justru ia telah bentrok dengan begal ini, maka tanpa banyak bertanya lagi, Hui-ang-kin segera memukul dan mengobrak-abrik begal-begal kuda itu dan juga serdaduserdadu wanita itu pula, ia menerobos masuk ke dalam kemah dan hanya dengan satu gerakan sudah dapat menangkap Ong-toasicu hidup-hidup serta berniat hendak memberi sedikit kegetiran pada Nilan Ming-hui. Akan tetapi Nilan Ming-hui hanya mengangkat kepala memandang Hui-ang-kin dengan senyuman menghina, sepasang matanya memandang dengan sinar yang tajam, sampai Hui-ang-kin sendiri merasa bergidik. Namun Hui-ang-kin lantas menjadi gusar sekali, pecutnya digerakkan, tanpa ampun lagi Ong-toasicu terbanting. "Apa yang kau senyumkan?" dampratnya kemudian dengan bengis, "Jika kau berani, bangunlah dan bertanding beberapa jurus dengan aku, tidak sudi aku membunuh orang yang tidak melawan." Tetapi Nilan Ming-hui hanya menjawab singkat, suaranya walaupun pelahan, tetapi kedengarannya bagi Hui-ang-kin laksana geledek yang mendadak menggelegar. Kata Nilan Ming-hui kemudian, "Kau hendak membunuhku, pasti sedikitpun aku tak akan berkelit, hanya dapatkah kiranya kau menunggu setelah aku melahirkan anak, baru kau turun tangan?" "Apa? Kau akan melahirkan anak, anak siapa?" tanya Hui-ang-kin sambil membentak. "Anak Nyo-taihiap dan aku!" sahut Nilan Ming-hui dengan senyuman bangga. Ketika Hui-ang-kin mengamat-amati, memang betul perut Nilan Ming-hui gendut besar, tanpa berkata-kata lagi Hui-ang-kin membalikkan badannya 206 terus tinggal pergi. Sementara ini di luar kemah begal-begal kuda dan serdadu-serdadu wanita telah siap bertempur kembali, Ong-toasicu telah berdiri kembali dari pojokan sana dan sudah menjemput goloknya pula. Tiba-tiba Hui-ang-kin mengkerutkan kening, ia balik lagi dan membentak pada Ong-toasicu. "Kau siapa? Untuk apa kau datang ke sini?" tanyanya. Tadi Ong-toasicu sudah melihat Hui-ang-kin hendak membunuh Nilan Minghui, ia mengira orang adalah penyamun yang segaris dengan dia, maka cepat ia menerangkan. "Aku dari 'kelompok kuda bergolok' (sebutan gerombolan begal kuda yang bekerja sendiri). Nona, kau dari golongan mana?" kata Ong-toasicu balik bertanya, "Perempuan busuk ini sedang mengandung, menurut kebiasaan biarlah kita tidak membunuhnya. Tampaknya ia adalah anak gadis kepala suku, air minyaknya tentu cukup tebal, kita boleh merampok dia dan dibagi sama rata. Nona, kau sendiri boleh terima satu bagian penuh, aku Ong-toasicu paling gampang dalam urusan demikian ini." "Ha, kiranya kau adalah begal kuda!" bentak Hui-ang-kin pula. Perkataan "Ya" yang hendak diucapkan oleh Ong-toasicu belum sempat dikeluarkan, pecut Hui-ang-kin secepat kilat sudah menyambar, batok kepalanya segera hancur pecah, lalu Hui-ang-kin berjalan keluar kemah, menyusul suara jeritan ngeri segera terdengar pula berulang-ulang, tidak seberapa lama, dengan pakaian berlumuran darah di seluruh tubuhnya, Huiang- kin telah kembali masuk lagi ke dalam kemah. "Aku telah membunuh semua begal-begal kuda ini, kau boleh merawat anakmu baik-baik," katanya pada Nilan Ming-hui dengan dingin. Nilan Ming-hui terpaku sejenak, ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Sementara Hui-ang-kin telah menyimpan cambuknya dan meletakkan kembali pedangnya, tiba-tiba ia berkata pula dengan suara yang agak pilu, "Aku akan pergi, kalau kau bertemu Nyo Hun-cong katakanlah padanya selamanya aku tidak akan mencari dia lagi." 207 Nilan Ming-hui.memanggutkan kepala dan ketika hendak berkata, mendadak perutnya terasa sakit sekali seperti dipuntir, lekas ia memanggil pelayannya, serdadu-serdadu wanita masuk dan mendorong keluar keponakan Naima. Sebenarnya Hui-ang-kin bermaksud hendak pergi, namun seketika ia menjadi tertegun dan berdiri di tempatnya. Tiba-tiba di dalam kemah berkumandang suara tangisan bayi, anak Nyo Hun-cong telah lahir, serdadu-serdadu wanita itu repot kian kemari membantu Nilan Ming-hui bebenah. Pelayan yang paling dekat sudah menyediakan kain pembungkus dan lantas membalut seluruh tubuh bayi. Muka Nilan Ming-hui penuh mengunjuk rasa kegirangan, ia merebahkan diri dengan napas yang masih tersengal-sengal. "Laki-laki atau perempuan?" tanyanya kemudian. "Kionghi (selamat), Siocia, sama dengan kau!" sahut si pelayan itu. "Ha, kiranya adalah seorang nona, baik juga, coba bawa sini, aku hendak melihatnya," kata Nilan Ming-hui. "Ia mirip sekali dengan Siocia!" kata si pelayan pula. Maka dengan pelahan Nilan Ming-hui menepuk anak bayinya. "Tidak, lebih mirip ayahnya," katanya, "Lihatlah, mulutnya ditutup rapat-rapat, kalau sudah besar nanti pasti keras hati seperti ayahnya!" Dalam pada itu si bayi menangis lagi. "O, anak yang bernasib jelek, baru memuji mulutmu yang mungil kau sudah menangis lagi!" kata Nilan Ming-hui sambil tertawa. Nilan Ming-hui demikian penuh perhatian bermain dengan anaknya, ia sama sekali tidak peduli pada Hui-ang-kin. Di lain pihak Hui-ang-kin berdiri di situ dengan perasaan hati yang tak keruan, ia tidak mengerti perasaan apakah yang dirasakan saat ini. Pada saat lain mendadak ia mendekati Ming-hui, ia mengulurkan tangannya dan berkata pada Nilan Ming-hui, "Bolehkah aku membopongnya?" 208 Nilan Ming-hui merasa sangsi sebentar, namun akhirnya ia menyerahkan juga anaknya. Hui-ang-kin meletakkan bayi itu di sikunya dan memandangnya dengan teliti, memang betul juga orok ini mirip dengan Nyo Hun-cong. Entah mengapa tiba-tiba pada dirinya timbul semacam rasa sangat menyukai anak ini, dalam hatinya timbul satu pikiran hendak membawa pergi bayi ini. Sementara itu, seorang pelayan telah membawakan air masak yang setengah hangat dan menyuapi bayi itu. "Siocia, kau perlu belajar merawat anak bayi, merawat anak tidak dapat disamakan bermain golok dan pedang, lebih susah dan repot!" kata pelayan lain dengan tertawa. Mendengar itu Hui-ang-kin diam-diam menertawakan diri sendiri yang berpikir hendak membawa pergi bayi titi, ia menyerahkan kembali bayi kepada Nilan Ming-hui, ia mengeluarkan pula serenteng mutiara dan diberikan padanya. "Ini berasal dari lautan selatan, aku berikan pada bayi ini sebagai hadiah!" katanya pada Nilan Ming-hui. Mutiara dari lautan selatan di padang rumput adalah barang yang jarang diketemukan. Nilan Ming-hui memandangnya sekejap, ia bukan heran dan kagum pada mutiara itu, tetapi yang ia kagumkan kini adalah perangai Huiang- kin. Tidak diduganya orang yang disebut iblis yang membunuh orang tanpa berkedip seperti yang dikabarkan di kalangan tentara Boan ternyata mempunyai perangai yang begitu halus. Ia menerima mutiara itu dengan sinar mata terharu dan penuh mengandung rasa terima kasih. Katanya kemudian dengan suara rendah, "Cici, aku akan memberi nama 'Po-cu padanya, terima kasih atas kebaikanmu!" Muka Hui-ang-kin menjadi masam, tiba-tiba ia berkata pula dengan dingin, "Siapa Cirimu, aku adalah musuhmu, lewat beberapa tahun lagi, aku masih 209 ingin mencarimu untuk menentukan siapa yang lebih unggul, sebaiknya kau tunggu saja!" Tiba-tiba suara tangisan bayi berkumandang lagi, Hui-ang-kin pun lantas berlalu di bawah pandangan serdadu-serdadu wanita ini yang terheran-heran dan di tengah suara tangisan bayi. Kembali pada Nyo Hun-cong yang juga sedang dalam keadaan gembira sekali di padang rumput Garsin, ia telah membantu suku Kazak mengalahkan Coh Ciau-lam dan telah dapat merebut benteng pertahanan pasukan Boan yang berdekatan. Pada suatu hari, ketika ia bersama kepala suku yang tua ini sedang menghitung kuda rampasan yang diperoleh dari menang perang, tiba-tiba ada seorang bawahan datang melaporkan bahwa telah dapat menangkap seorang asing, orang ini walaupun berdandan rakyat gembala, tetapi ketika ditanya urusan penggembalaan sedikit pun tidak mengerti, setelah diancam akan digebuki baru ia berteriak katanya hendak mencari Nyo-taihiap. Hun-cong memerintahkan menggiring masuk orang ini, kemudian dilihatnya orang ini adalah seorang anak dogol yang berusia di atas dua puluh tahun. "Siapakah kau? Ada apa mencari aku?" tanya Hun-cong. Tetapi sebelum menjawab orang ini memandang dulu ke sekelilingnya, kemudian baru ia berkata dengan ragu-ragu dan dengan suara yang tak lancar. "Nyo-taihiap, Nilan, Nilan....." Serdadu-serdadu yang berada di samping demi mendengar perkataan "Nilan", semuanya menjadi tercengang, akan tetapi kepala suku Kazak yang tua ini sebaliknya telah tertawa. "Nyo-taihiap mempunyai urusan silakan dibicarakan, kita tidak mengganggu lagi!" katanya sambil membawa pergi semua serdadunya. Diam-diam Nyo Hun-cong berterima kasih pada kepala suku tua ini yang begitu menaruh kepercayaan atas dirinya. Kemudian ia membentak lagi pada orang itu. 210 "Apakah kau adalah mata-mata musuh yang dikirim oleh Nilan Siu-kiat?" "Bukan," jawab orang ini. "Aku adalah suruhan Nilan Siocia, Nilan Siocia adalah gadis yang dibesarkan oleh bibiku." "Oh! Nilan Siocia menyuruhmu membawa pesan bagiku?" tanya Nyo Hun-cong pula. Orang ini memanggut dan mengeluarkan selembar kulit domba dari sakunya, ia menyerahkan barang ini berbareng berkata, "Siocia telah melahirkan anak perempuan yang mungil!" Nyo Hun-cong terperanjat sekali, demi mendengar kabar ini, kedua tangannya sampai bergemetaran, ia menyambut kulit domba ini dan dibaca, ternyata memang betul adalah tulisan Nilan Ming-hui sendiri yang mengabarkan lahirnya sang bayi. Dalam surat dikabarkan lagi bahwa bayi ini karena lahirnya lebih dulu belasan hari sebelum tiba bulannya, maka badannya agak lemah dan menguatirkan, pada akhirnya diharapkan agar Nyo Hun-cong bisa pergi menyambangi dia sekali lagi. Seketika itu Nyo Hun-cong terperanjat bercampur girang pula, rasa girangnya jauh lebih besar melebihi rasa terkejutnya. Sebelum ini, walaupun ia sangat mencintai Nilan Ming-hui, tetapi ia selalu berpendapat bahwa perasaan itu tidak begitu kokoh, tetapi kini, ia merasa dirinya dan Nilan Ming-hui sudah terjalin menjadi satu, rasa menyesalnya kepada Hui-ang-kin lambat-laun pun lenyap. Ia telah begitu mencintai anak yang belum pernah bertemu muka itu, ia ikut berkuatir dengan kelemahan badannya, ia membayangkan bagaimana anak itu menjerit dan menangis. Setelah menyimpan surat kulit domba itu dengan cepat pula pikirannya pun telah mengambil satu keputusan, ia akan menghadapi segala kemungkinan bahaya untuk pergi menengok anaknya. Waktu Nyo Hun-cong berangkat dari padang rumput Garsin menuju kota Ili, sementara itu Nilan Ming-hui pun sudah kembali ke kota itu. 211 Nilan Ming-hui yang biasa berlatih silat, badannya sangat sehat, walaupun baru melahirkan anak, tetapi lewat sebulan ia sudah pulih seperti biasa lagi. Serdadu-serdadu wanita itu semua adalah pengawalnya, semua ikut menjaga anaknya dengan baik, maka tiada satupun yang membocorkan rahasianya. Setelah ia kembali ke istana, ia menyerahkan bayi itu pada Naima agar bila diketahui ibunya dapat beralasan bayi itu adalah asuhan Naima. Nilan Hujin yang melihat putrinya sudah kembali, di samping senang iapun mengomeli. "Nak, mengapa sekali kau pergi sampai lebih setengah tahun lamanya," katanya sambil merangkul Ming-hui, "Sekalipun berburu adalah permainan yang menyenangkan, tetapi toh jangan begitu lama, lihatlah rumahmu telah dibikin onar orang semacam ini, ayahmu pun pergi bertempur di tempat yang jauh, penyamun wanita itu begitu datang lantas mengobrak-abrik di sini, orang-orang kita begitu banyak tetapi satu pun tak dapat menangkapnya, sungguh aku ketakutan sekali, apabila kau ada di sini, tentu bisa memberi juga sedikit ajaran pada penyamun wanita itu!" Mendengar penuturan ibunya ini, Ming-hui hanya diam saja, ia tak berani memberitaku pada ibunya bahwa penyamun wanita itu adalah Hui-ang-kin yang namanya telah tersohor itu, ia lebih-lebih tak berani memberitahu bahwa terhadap penyamun wanita itu ia memang membencinya tetapi juga menyukai pula. Memang, sejak Hui-ang-kin membikin onar tempat persembunyiannya di padang rumput dan telah membunuh habis begal-begal kuda, bahkan menghadiahkan mutiara pada bayinya, pandangannya terhadap Hui-ang-kin telah ada sedikit perubahan, tentu saja ia masih merasa benci, ia benci karena Hui-ang-kin telah merebut sebagian hati Nyo Hun-cong, tetapi kini ia sudah tak menganggap Hui-ang-kin sebagai musuh lagi. Hui-ang-kin dalam pandangannya kini bukan lagi 'iblis perempuan', tetapi adalah seorang pahlawan wanita yang berbudi luhur. Nilan Hujin yang melihat putrinya seperti sedang merenung, ia merasa heran. "Kenapa, nak? Ayahmu biasa suka memuji ilmu silatmu, apakah kau juga takut pada penyamun wanita itu," tanyanya. 212 "Ibu," jawab Nilan Ming-hui dengan tersenyum getir, "Aku sudah mendengar ceritanya dari pelayan, kepandaian penyamun wanita itu pun jarang ada tandingannya, dikua-tirkan kepandaianku betul-betul bukan tandingannya." Mendengar kata putrinya itu, Nilan Hudjin tertawa terbahak-bahak. "Ternyata kaupun takut dia," katanya, "Beberapa hari yang lalu aku masih kuatir penyamun wanita ini akan kembali lagi, akan tetapi kini sedikitpun aku sudah tak perlu kuatir lagi." "Kenapa? Apakah ayah telah mengundang pula jago-jago silat?" tanya Nilan Ming-hui. "Bukan ayahmu yang telah mengundang." kata Nilan Hujin, "Melainkan Nikulo yang mengundang mereka. Nikulo sebelumnya sudah rnemberitahu ayahmu, maka ayahmu pun mengirim kabar dan menyuruh mereka sementara boleh tinggal dalam istana sini." "Kenapa? Bukan seorang saja, tetapi 'mereka', jadi ada beberapa orang?" tanya Nilan Ming-hui. "Aku dengar katanya dari golongan apa yang dinamakan 'Thian-liong-pay' dari Tibet," Nilan Hudjin menerangkan, "Mereka dipimpin oleh seorang yang disebut Thian-bong Siansu, semuanya telah datang delapan belas orang, Nikulo mengatakan bahwa Kiamsut dari Thian-liong-pay adalah nomor satu di daerah barat, tetapi jika dibandingkan dengan jago-jago jaman ini, gurunya sendiri Ce Cin-kun terhitung paling tinggi, Hui-bing Siansu terhitung nomor dua, sedang ketua Thian-liong-pay dari Tibet ini boleh menduduki nomor tiga!" Mendengar cerita itu, dalam hati diam-diam Nilan Ming-hui merasa geli, ia geli Nikulo ternyata sembarangan menyebut Ce Cin-kun dengan Kiamsutnya yang belum pernah ia saksikan berada pada urutan nomor satu, tetapi kalau melihat sedikit kepandaian Nikulo sendiri, bagaimanapun gurunya tak akan bisa melebihi Hui-bing Siansu. Mengenai Cosu atau ketua Thian-liong-pay yang bernama Thian-liong Siansu, ia pernah mendengar ceritanya dari Nyo Huncong yang pernah seorang diri datang ke Tibet dan bertukar pendapat mengenai ilmu pedang dengan Thian-liong Siansu dan telah dapat menundukkan murid dari Thian-liong-pay. Maka pikirnya Thian-liong Siansu 213 saja tak dapat menandingi Nyo Hun-cong bagaimana bisa menduduki tempat ketiga. Sementara itu, Nilan Hudjin telah melandjutkan pula ceritanya. "Thian-liong-pay mempunyai delapan belas jago yang menerima undangan Nikulo, katanya disebabkan oleh karena mempunyai dendam pada seorang yang bernama Nyo Hun-cong. Aku pernah mendengar dari ayahmu sendiri, katanya orang yang disebut Nyo Hun-cong ini adalah musuh besar kita." Nilan Ming-hui mendadak seperti tertusuk, pikirnya dalam hati, "Ha, kiranya mereka datang karena hendak membalas dendam. Thian-bong Siansu ini adalah Sute Thian-liong Siansu, keahlian silatnya tentu tidak di bawah Suhengnya, mungkin karena Thian-liong kurang enak maju ke muka sendiri maka telah menyuruh Sutenya untuk mencoba kepandaian Nyo Hun-cong walaupun tinggi, kalau bertanding satu lawan satu pasti tak akan kalah, tetapi jika sendirian harus menghadapi delapan belas orang jago, dikuatirkan tidak dapat menandingi." Belum lama ini Ming-hui menyuruh keponakan Naima mengirim surat pada Nyo Hun-cong dan mengharap pemuda ini diam-diam datang menyambangi dia di Ili, kini mendapat kabar yang demikian ini, sebaliknya ia menjadi kuatir dan mengharap Hun-cong jangan datang. Akan tetapi akhirnya Nyo Hun-cong datang juga. Di padang rumput yang sementara sudah aman tiada kejadian apa-apa, pemuda ini lantas berpamitan pada kepala suku Kazak. dengan perjalanan siang dan malam ia lantas menuju kota Ili. Hun-cong sudah mengenangkan Nilan Ming-hui, dan juga mengenangkan anak perempuannya yang belum pernah ia lihat itu, ia bermaksud akan membawa keluar Nilan Ming-hui ibu dan anak. Ia tak menghendaki anak perempuannya dibesarkan dalam lingkungan keluarga jenderal Boan-cu. Malam ini, kembali adalah satu malam yang gelap gulita dan angin meniup santer. Hun-cong dengan mengandalkan ilmu mengentengkan tubuhnya yang tinggi diam-diam telah memasuki kota Ili dan menyelundup masuk ke dalam istana jenderal, sewaktu melayang masuk ia telah melihat ada beberapa bayangan orang di atas genteng, tetapi ia tak ambil pusing, dengan 214 mengandalkan kepandaiannya yang tinggi dan ketabahan hatinya, ia melayang ke depan secepat burung terbang, pikirnya, tentu itu hanya guru-guru silat yang biasa saja, sekalipun lewat di samping mereka belum tentu bisa mereka ketahui. Oleh karena itu sedikitpun ia tidak ambil perhatian, ia menuruti jalan yang sudah dihapal-nya dan memasuki rumah Naima. Waktu itu Nilan Ming-hui sedang bercakap-cakap iseng dengan Naima, tibatiba ia mendengar di luar jendela ada orang mengetok dengan pelahan, waktu ia melompat bangun, dilihatnya ternyata adalah orang yang selama ini ia harapkan dan kenangkan siang dan malam, tanpa tertahan rasa senang dan kuatir bercampur aduk menjadi satu, segera pula kedua orang itu berpelukan kencang. Naima yang berdiri di samping mereka diam-diam mengalirkan air mata terharu. Setelah Nilan Ming-hui berpelukan sebentar dengan Nyo Hun-cong, mendadak ia mendorong pergi pemuda ini pula. "Sudahlah, akhirnya kau datang juga, kini kita boleh di-kata sudah bertemu, kau lekas pergi saja!" katanya pada Nyo Hun-cong. "Jauh-jauh kau minta kedatanganku, tetapi baru bertemu lantas mengusir aku pergi, apakah artinya ini?" kata Nyo Hun-cong agak mendongkol. "Turutilah omonganku, lekas pergi! Lekas pergi!" kata Nilan Ming-hui sambil membanting kakinya, "Di sini ada orang yang sudah menunggu hendak menangkap kau!" "Orang macam apakah yang akan menangkap aku?" sahut Nyo Hun-cong dengan tertawa. Tetapi Nilan Ming-hui tiada tempo buat menjelaskan, ia hanya berulang-ulang mendesak lagi. "Belakang hari kita masih bisa bertemu, kau jangan tinggal di sini lebih lama lagi!" katanya. Keruan akhirnya Nyo Hun-cong menjadi curiga. Kedatangannya ini tadinya dengan penuh perasaan yang haragai dan penuh harapan, tidak diduga tahutahu telah terbentur seakan-akan sepanci air dingin telah disiramkan ke atas kepalanya! Ia mencurigai Nilan Ming-hui tak dapat meninggalkan kehidupannya 215 yang mewah dan tidak bersedia ikut dia mengembara, maka berulang-ulang ia telah mendesaknya pergi. Pikirnya, aku dan ayahnya memang adalah musuh, maksud kedatanganku mungkin hanya khayalannya belaka. Mendadak ia berkata pada Nilan Ming-hui dengan muka yang kurang senang, "Mana anak perempuan kita? Aku toh harus melihatnya dulu baru bisa berpisah." Naima sudah sejak tadi masuk ke dalam, saat ini sedang membopong keluar bayi itu. Nyo Hun-cong memburu maju, dilihatnya bayi ini sedang tidur dengan nyenyaknya, air mukanya yang terang tetapi agak kekurusan, betul-betul mirip Nilan Ming-hui cilik. Hun-cong menundukkan kepalanya, ia mencium muka anaknya dengan pelahan-lahan. "Lekaslah kau pergi," Nilan Ming-hui mendesak pula di belakangnya. Akhirnya Nyo Hun-cong menjadi marah, ia hendak merampas dan membawa pergi anak ini saja, tetapi sesudah ia berpikir bahwa bayinya baru berusia sebulan dan belum putus menetek, bagaimana dirinya dapat memaksa membawanya pergi? Ketika itu, tiba-tiba di atas genteng ada suara keresekan pelahan, begitu mendengar, Nyo Hun-cong lantas tahu ada jago kalangan persilatan yang datang. Ia membalikkan tubuh dan memanggut sekali pada Nilan Siocia habis itu segera ia melompat keluar jendela berbareng menggunakan gerak tipu 'Kuithang- bong-goat', maka segera terdengar suara sesambatan yang berulangulang, kiranya dua orang yang hendak membokong sudah terpental oleh kekuatan tangan Nyo Hun-cong. Setelah Nyo Hun-cong melompat ke atas rumah, lantas dilihatnya di atas wuwungan rumah sudah penuh berdiri orang-orang dengan berbagai macam potongan dan tiap orangnya membawa sebatang pedang tajam yang mengkilap, sekilas Nyo Hun-cong lantas mengenal orang yang mengepalai yaitu Thianbong Siansu. 216 "Aku dengan golongan Thian-liong-pay baik dulu maupun belakangan ini selamanya tidak ada permusuhan apa-apa kau mengapa datang-datang hendak membokong aku?" tegur Nyo Hun-cong dengan dingin. "Nyo Hun-cong," sahut Thian-bong dengan gusar, "Kau telah sesumbar dan telah mengeluruk ke rumah kami, kau sudah menghina kami, menganggap Thian-liong-kiam hoat kami sepeser pun tak berharga dan sekarang kau masih berani berkata tiada permusuhan?" "Sayang kau berpikiran begitu sempit, masih menyebut dirimu sebagai tokoh dari kalangan persilatan," kata Hun-cong pula sambil terbahak-bahak, "Kiamhoat masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan pula maka dengan maksud baik dahulu aku berdebat mengenai ilmu pedang dengan Cosumu, kapan aku pernah menghina kau?" "Hm, kau masih muda dan berasal tingkatan yang lebih rendah, tetapi kau sudah berani sembarang berdebat, ini sudah merupakan suatu dosa yang paling besar, kini kau telah mengacau pula di Sinkiang, menghimpun rakyat gembala untuk melawan pemerintah Boan-jing, ini lebih-lebih satu dosa besar lagi!" kata Thian-bong pula. Muka Nyo Hun-cong mendadak berubah demi mendengar kata-kata orang yang terakhir ini, ia mendamprat, "Aku tadinya masih mengira kau mencari setori karena urusan go-longanmu sendiri, tak dinyana kau malah hendak membantu musuh, membantu kaum penindas!" Habis berkata pedangnya segera dilolos, tetapi Thian-bong sudah menggerakkan tangannya memberi tanda kedelapan belas orang yang berada di atap rumah yang lebar itu lantas berjajar menjadi satu barisan yang rajin. Kesemuanya ternyata mempunyai ilmu mengentengkan tubuh yang tinggi, genteng sedikit pun tak mengeluarkan suara apalagi retak. "Nyo Hun-cong," seru Thian-bong kemudian, "Jika kau dapat menerobos 'Thian-liong-kiam-tin' kami, aku akan mengampuni kematianmu!" "Kau boleh lihat nanti!" sahut Hun-cong dengan tertawa menyindir. Segera pula Thian-bong telah menerjang ke depan lebih dulu, namun Nyo Hun-cong lantas memapak dan membabat dengan pedangnya maka kedua 217 batang pedang yang beradu segera mengeluarkan suara nyaring, kedua belah pihak ternyata sama kuatnya. "Kiranya senjata musuh adalah sebatang pedang pusaka juga!" kata Nyo Huncong diam-diam dalam hati. Dan selagi ia hendak menyerang pula Thian-bong telah melayang lewat di sampingnya dua Lama yang lain pun segera merangsek datang dari dua sayap samping, dengan gerakan 'Liong-bun-kik-long' Nyo Hun-cong menangkis ke kanan dan kiri, akan tetapi kedua Lama ini ternyata hanya memakai gerakan palsu saja hanya bergerak melulu terus melayang lewat lagi. Dalam sekejap saja barisan Thian-liong-kiam-tin telah digerakkan secara serentak, delapan belas jagoan Thian-liong-pay beruntun telah maju, mereka pergi datang tiada hentinya masing-masing hanya menempati tempatnya sendiri-sendiri dan bekerja sama dengan rapat dan baik sekali, seketika Huncong telah terkepung oleh jago-jago dari Thian-liong-pay dengan rapat. Diam-diam Hun-cong kagum juga dan berkata dalam hati, "Ternyata Thianliong- kiam-tin mempunyai keistimewaan tersendiri!" Ia sebenarnya hanya bertahan saja dan tidak menyerang, ia ingin melihat bagaimana teknik permainan mereka tidak diduganya waktu Thian-bong memberi tanda pula segera mereka membuka serangan baru dan mempercepat serangan, kedelapan belas jago itu lantas berputar di atas genteng dan dengar pedang masing-masing menyerang bagaikan angin badai dan hujan deras membanjir ke arah Nyo Hun-cong dengan serabutan tak teratur. Kelihatannya tidak teratur, tetapi sebenarnya pergi datang menurut jalannya Pat-kwa. Hun-cong menjadi gusar, Thian-san-kiam-hoat segera dikeluarkan dengan kecepatan luar biasa sinar pedang berkilauan dan gemerdep seperti bintangbintang di langit. Sekejap saja beberapa Lama lantas terluka dan menjerit kesakitan. Pikir Nyo Hun-cong dalam hati, "Aku dengan Thian-liong Siansu mempunyai hubungan persahabatan, orang-orang ini juga baru kena dihasut oleh pemerintah Boan, lebih baik aku tak usah melukai dan mencelakai jiwa mereka. Lagi pula toh sekarang Thian-liong-kiam-tin sudah cukup aku pahami." 218 Setelah mengambil keputusan ini, ia kembalikan pedang ke sarungnya gerakannya lantas berubah dan hanya menggunakan keahliannya dengan bertangan kosong, ia menerobos pergi datang di antara Thian-Uong-kiam-tin sesuka hatinya bagaikan ular yang menyusur kian kemari. Tidak lama kemudian, para Lama ini merasakan perge-langan tangannya kaku dan sakit kesemutan, mereka berteriak terkejut, Nyo Hun-cong masih menerjang di antara barisan kedelapan belas jagoan ini, tiap orang hanya sekali gebrakan sudah kena dirampas senjata mereka terus dilemparkan ke tanah, dalam sekejap saja di atas tanah sudah berserakan penuh dengan pedang. Di antaranya hanya Thian-bong Siansu yang masih dapat menangkis hingga tiga gebrakan, tetapi akhirnya pun pedangnya terampas lepas dari tangannya oleh Nyo Hun-cong. Para pengawal dari istana jenderal yang menyaksikan pertarungan ini dari bawah, mereka hanya melihat ada bayangan hitam dan sinar pedang yang terbang kian kemari di atas genteng, di antaranya ada satu sinar putih perak menerobos pergi datang di antara bayangan hitam ini, di mana sinar perak ini tiba di sana juga bayangan hitam ini terpecah belah tak keruan, sebentar kemudian bayangan hitam di atas sudah tersapu bersih oleh sinar putih perak tadi seperti asap hitam yang buyar terkena tiupan angin. Sudah tentu pengawal-pengawal itu tidak pernah menyaksikan pertempuran semacam ini, mereka tercengang hingga terkesima, kaki tangan mereka lemas semua hingga tanpa sadar senjata mereka semua diturunkan ke bawah. Dan ketika kemudian mereka memandang lagi, sinar putih perak tadi kini sudah tak bergerak lagi dan sudah berubah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa dengan suaranya yang lantang sedang membentak. "Hai, kawan-kawan dari Thian-liong-pay," serunya, "Kali ini aku hanya merampas senjatamu, tetapi lain kali bila bertemu kembali tentu aku tidak akan memberi ampun lagi!" Pemuda ini adalah Nyo Hun-cong, ia mengenakan pakaian putih dan menggunakan keahliannya bertangan kosong melawan musuh yang bersenjata dan akhirnya telah dapat merampas semua senjata dari kedelapan belas jago Thian-liong-pay itu. 219 Nyo Hun-cong memutar tubuhnya, ia menggantung pedang pusaka rampasan dari Thian-bong pada pinggangnya sendiri, dengan menggereng ia lantas melompat turun ke bawah, keruan para pengawal yang berada di situ berlari menyingkir, tetapi Nyo Hun-cong pun tidak bermaksud hendak mencelakai mereka, ia terus menerobos masuk lagi ke dalam istana jenderal itu, ia masih mengharap akan bertemu sekali lagi dengan Ming-hui untuk minta penjelasan lebih lanjut. Sementara itu dari dalam istana, Nikulo telah datang dengan membawa sebarisan pemanah, demi melihat Nyo Hun-cong dapat menembus Thian-liongkiam- tin dan menerjang penjagaan pengawal di luar, ia terkejut sekali, lekas ia memerintahkan melepas panah. Nyo Hun-cong tiada waktu lagi untuk terus terlibat di situ, sekali badannya bergerak, seperti elang yang menjulang ke atas, ia menghindari adu muka dan menyingkir ke jurusan samping lewat atas beberapa rumah dan menerobos masuk ke taman di belakang sana. Sampai di kamar Naima ia tidak mendapatkan satu orang pun di sini, Nilan Siocia dan Naima entah telah bersembunyi di mana, ia merasa masgul sekali, dulu kalau ia ingin bertemu dengan Nilan Siocia selamanya menggunakan kamar Naima, kamar Nilan Ming-hui sendiri selamanya belum pernah dikunjunginya. Maka pikirnya, "Istana jenderal yang sedemikian besarnya, ke mana aku bisa mendapat tahu tempat tinggalnya." Tetapi segera ia berpikir lagi, "Dengan cara demikian ia hendak menghindari aku, terang ia sudah memutuskan hubungan dan tidak bersedia ikut pergi dengan aku lagi." Sesaat itu ia menjadi masgul dan juga gusar, ketika ia hendak keluar dari gedung itu dengan masih merasa sangsi apakah harus mencari lagi atau tidak, tiba-tiba dari semak-semak pohon sana menongol satu orang. "Apakah kau adalah Nyo-taihiap?" tanya orang itu tiba-tiba dengan suara bisik-bisik. Ketika Nyo Hun-cong melompat maju dan mencekal orang itu, ia lihat orang itu memakai kain serbet dan berdandan sebagai seorang koki. "Siapa kau?" tanya Hun-cong dengan cepat. 220 "Aku adalah koki di dalam istana sini, aku adalah orang Kazak," jawab orang itu, "Sahabatmu Asta pagi ini baru berangkat, kabarnya digiring ke Kwan-lwe, lekas kau kejar mereka mungkin masih dapat mengejarnya!" Kiranya Asta telah tertawan oleh tentara Boan pada waktu terjadi pertempuran seru di padang rumput itu. Koki ini yang biasa mengantar makanan padanya hingga telah bersahabat dengan dia, maka mengetahui juga bahwa Nyo Hun-cong adalah kawan Asta. Tadi waktu Nyo Hun-cong mengobrak-abrik istana jenderal, setiap orang telah ketakutan dan lari bersembunyi, ketika koki ini mendengar pula bahwa orang yang datang adalah Nyo Hun-cong, ia tidak memikirkan bahaya lagi, diam-diam ia merayap keluar, dan kebetulan justru telah bertemu Nyo Huncong dengan tepat. Demikianlah karena berita yang diperoleh ini, mata Nyo Hun-cong bersinar tajam. "Apa kabarmu ini benar adanya?" tanyanya. "Mana aku yang rendah ini berani membohongi kau?" jawab koki itu, ia lantas mengeluarkan dari sakunya satu batu giok yang diberikan oleh Asta, melihat barang ini, Nyo Hun-cong memanggut. "Terima kasih!" katanya segera dan lantas keluar dari istana jenderal itu, ia merebut satu ekor kuda bagus dan segera mengejar pergi secepat terbang. Hubungan Hun-cong dengan Asta melebihi saudara se-daging-sedarah, karena Nilan Ming-hui telah menghindarkan diri dan tak mau bertemu, ia tentu tak sudi tinggal lebih lama lagi di sana. Kuda rampasan itu dilarikan Nyo Hun-cong dengan cepat sekali, dalam keadaan lesu dan tak bersemangat sampai pemuda ini tidak mengenal akan istirahat, hanya kalau merasa lapar lantas ia makan sedikit rangsum, demikianlah tanpa ada hentinya ia telah mengejar hingga sehari semalam. Pada hari kedua waktu senja, terlihat oleh Nyo Hun-cong jauh di depan sana di atas padang rumput luas ini ada belasan penunggang kuda yang mengiring sebuah kereta tawanan. 221 Setelah dikejar sebentar lagi, rombongan orang ini telah memasuki satu gugusan gunung, gunung ini adalah cabang dari gunung Thian-san yang membujur di daerah padang rumput sini dan tidak seberapa tinggi, oleh karena ini jalan besar umum dapat menembus lembah gunung. Kuda Nyo Hun-cong yang sudah berlari sehari semalam tampak tersengalsengal napasnya, beruntung kuda ini adalah kuda terbaik di Sin-kiang yang sudah biasa melakukan perjalanan jauh, kalau kuda dari pedalaman atau Kwanlwe pasti sudah ambruk tak tahan dari tadi. Tetapi Nyo Hun-cong merasa lari kudanya masih terlalu lambat, maka ia melompat turun dari kudanya dan segera mengejar terus dengan berlari secepat angin. Sesampainya di mulut gugusan gunung ini, tiba-tiba ia mendengar ada suara beradunya senjata dan terdengar pula ada suara tertawa orang. "Ha, Lo Tiat-pi, beruntung sekali bisa bertemu lagi, kini kita boleh coba-coba lagi ilmu siapa yang lebih tinggi dan lebih rendah," kata suara itu. Nyo Hun-cong menjadi heran, "Lo Tiat-pi, bagaimana ia bisa bertemu dengan musuh di sini? Apakah antara pengiring kereta tawanan ini pernah terjadi sesuatu perselisihan dengan dia?" katanya dalam hati. Sementara ini, kereta tawanan sudah memasuki lembah gunung itu, pikirnya, "Dalam kereta tawanan ini kalau betul Asta, aku pasti dapat menolong dan meloloskan dia, sementara ini biarlah aku melihat dulu apa yang bakal terjadi." Maka lantas ia mengenjot tubuhnya dan melompat naik ke atas satu batu cadas, ia menyembunyikan diri dialingi semak-semak dan memandang ke bawah tanpa ada alangan. Terlihatlah olehnya jauh di lembah sana berdiri seorang pengemis tua dan hanya bertangan satu, mukanya hitam seperti kulit semangka dan rambutnya kusut mirip rumput kering, lubang hidungnya menjengat menghadap ke atas, bahu kirinya kelihatan jelas bekas terkuning oleh golok dari sebelah atas ke bawah, tangan kanan dengan jari-jari yang kurus bagaikan cakar burung memegang sebatang pentung yang biasa dipakai kaum pengemis, betul orang ini adalah Lo Tiat-pi, si tangan baja, yang berwatak aneh itu. 222 Lo Tiat-pi adalah seorang pendekar di daerah luar sana dan kena) baik dengan Toh It-hang, maka Nyo Hun-cong juga kenal padanya. Ketika itu hanya kelihatan ia mengeluarkan suara tertawa yang nyekikik seram. "Ciok-bancu, tiga puluh tahun tidak bertemu, tak terduga kini malah berjumpa di sini, baiklah, sakit hati satu bacokan itu boleh sekarang kita perhitungkan," katanya kemudian dengan suara tajam. Waktu Nyo Hun-cong memandang pada orang yang disebut Ciok-bancu, terlihat ia adalah seorang tua yang berusia lebih dari lima puluh tahun, kedua matanya merah berapi, tubuhnya kecil kurus, separuh tubuh bagian atas telanjang dan terlihat pula di belakang punggungnya mengidap penyakit koreng, baik koreng besar maupun kecil semuanya lengkap diidapnya, bentuk wajahnya juga jelek sekali. Dalam hati Nyo Hun-cong berpikir, "Sudah lama aku mendengar Lo Tiat-pi mempunyai keahlian tersendiri, pada kesempatan yang bagus ini aku dapat menyaksikan sendiri kepandaiannya yang asli." Nyo Hun-cong yakin Ciok-bancu dengan para pengiring kereta itu betapa pun tinggi kepandaiannya tentunya juga terbatas, maka jelas tak akan dapat menandingi pendekar pengemis itu. Menurut kebiasaan kalangan kangouw, sewaktu orang membuat perhitungan karena dendam atau sakit hati, maka orang luar tidak diizinkan ikut turun tangan mengganggu. Ciok-bancu ini asalnya adalah seorang begal besar dari pedalaman, akhir-akhir ini dapat dipancing oleh pemerintah Boan dan telah diberi jabatan sebagai jago pengawal kelas satu dalam istana raja, sebetulnya ia mempunyai keahlian khusus, bahkan kawan-kawan pengawal kereta itu pun mempunyai kepandaian yang tidak lemah. Nama sebenarnya Ciok-bancu itu adalah Ciok Hua. Oleh karena Nilan Siu-kiat sudah bertempur beberapa tahun ke sana sini dan tanpa hasil apa pun, selain Nikulo, ia ingin menambah satu dua orang pembantu yang mempunyai kepandaian tinggi, maka ia meminta bantuan To Tok untuk menyampaikannya pada kaisar agar mengirimkan dua orang pengawal istana yang berkepandaian 223 tinggi, Ciok Hua itulah yang dipilih kaisar dan diperintahkan untuk membantu Nilan Siu-kiat. Sedangkan seorang lagi pengawal kereta tawanan itu bernama Kam Thian-lip, dia juga merupakan pengawal istimewa yang dikirimkan kaisar, ilmu silatnya hanya sedikit di bawah Ciok Hua, mereka berdua telah diperintahkan untuk mengabdi di bawah komando Nilan Siu-kiat. Sekali ini Nilan Siu-kiat telah memerintahkan Kam Thian-lip pergi ke kota Ili untuk mengiring tawanan, tetapi ia tidak percaya penuh hanya pada kekuatan seorang saja, maka lantas memerintahkan pula Ciok Hua untuk membantunya. Kebetulan sekali di lembah gunung ini Ciok Hua telah bertemu dengan Lo Tiatpi, sementara itu Kam Thian-lip yang mengiring kereta tawanan justru juga baru sampai di sini, sedangkan Nyo Hun-cong pun telah mengejar datang di belakangnya. Begitulah, Lo Tiat-pi menunggu Ciok Hua selesai berkata, maka terdengarlah suara tertawanya, mendadak dengan satu tindakan cepat ia telah melompat maju, tangan tunggalnya sudah bergerak, segera satu serangan 'Tok-bi-hoasan' atau seorang diri menggugurkan gunung Hoa-san, telah dia kirim menuju atas kepala musuh, angin pukulannya begitu keras dan cepatnya laksana kilat, jika terkena pukulannya, dapat dipastikan kepala orang bisa hancur remuk. Walaupun Ciok Hua bertubuh kecil, keuletan ilmu silatnya ternyata cukup matang juga, ia mengegoskan tubuhnya dan tangan kiri segera menangkis, sedang tangan kanan berbareng menyerang pundak kiri Lo Tiat-pi, Lo Tiat-pi hanya bertangan sebelah saja, tetapi cara menangkis dan menyerang dengan satu tangannya ini ternyata tidak kalah seperti orang biasa dan dapat digunakan sesuka hatinya. Tiba-tiba Ciok Hua menggereng sekali dengan keras, menyusul ia menyerang pula dengan cepat, kedua kepalannya beruntun memukul, langkah kakinya dibarengi pula dengan tendangan, tiap gerakan kaki dan tangannya selalu membawa kekuatan angin yang keras sekali. Nyo Hun-cong yang menyaksikan pertandingan ini berpikir dalam hati, "Sungguh tidak nyana pengawal ini ternyata boleh juga, yang dimainkan bahkan adalah 'Hok-hou-kun' dari golongan Pak-pay atau golongan utara." 224 Waktu dilihatnya lebih lanjut, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa yang aneh dari Lo Tiat-pi, tangannya yang tinggal satu itu bisa memutar mengikuti gerak tabuhnya, kelihatannya mengacung ke timur tetapi tahu-tahu memukul ke barat, jika menuding ke barat, sebaliknya menghantam ke timur, tempo-tempo naik ke arah atas kadang-kadang melintang ke samping, sungguh ruwet sekali perubahan pukulannya betul-betul tidak sama dengan ilmu pukulan orang lain, dalam ilmu pukulan nyata ia menggunakan ilmu pukulan ciptaannya sendiri, begitu angin pukulannya sampai segera mengeluarkan suara yang menderu-deru, kalau dilihat dari jauh seperti di atas badannya penuh tumbuh tangan di sana-sini. "Lo Tiat-pi betul-betul tidak mengecewakan namanya tidak heran Toh Ithang Susiok yang begitu tinggi hati dan mengagungkan diri pun bersedia bersahabat dengan dia" puji Nyo Hun-cong diam-diam dalam hari. Begitulah dua orang yang bertempur dengan tiga tangan itu, setelah saling labrak lewat setengah jam, lambat-laun Ciok Hua sudah mulai berada di bawah angin, sesaat kemudian dalam pertempuran yang seru itu tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri, mendadak Ciok Hua melompat pergi hingga puluhan kaki jauhnya dalam pada itu dengan tangan tunggalnya Lo Tiat-pi sudah bersiap dan lantas me-rangsek maju pula dengan cepat. Melihat kawannya terdesak, Kam Thian-lip tidak tinggal diam, tiba-tiba ia mengayunkan tangannya beberapa benda bundar bersinar segera terbang menyambar keluar dan menuju ke dada Lo Tiat-pi. Tetapi Lo Tiat-pi mengangkat tangan tunggalnya seketika senjata rahasia itu semua tergetar jatuh. Akan tetapi ia tidak menduga bahwa senjata rahasia Kam Thian-lip ternyata sangat lihai sekali, yang dipakai adalah 'Wi-tok-oh-tiap-piau', yakni semacam piau yang berhentak kupu-kupu dan beracun jahat, walaupun kecil wujudnya tetapi di dalamnya tersembunyi perkakas rahasia pula. Dengan angin pukulan tangan Lo Tiat-pi walaupun keras, tetapi hanya bisa menjatuhkan senjata rahasia itu ke atas tanah saja dan begitu menyentuh tanah, segera pesawat rahasia di dalamnya bergerak dan menjeplak, karena itu segera berbalik terbang ke atas lagi. Sudah tentu Lo Tiat-pi tak pernah menduga senjata rahasia ini bisa begini lihai, karena tak keburu berkelit, keruan tubuh bagian bawahnya telah terkena dua kali. 225 Ia menggereng kesakitan dengan gusar, tangan tunggalnya berbareng telah membelah dari atas, Ciok Hua coba menangkis sekuat tenaganya, tetapi ia tak tahan serangan luar biasa itu. Sebelah pundaknya seketika kena dihantam hingga separuh badan menjadi lumpuh. Akan tetapi Lo Tiat-pi sendiri pun tidak urung rubuh ke atas tanah dan tak dapat ber-bangkit pula. Kam Thian-lip yang melihat senjata rahasianya berhasil menjatuhkan musuh, selagi ia hendak menambahi musuhnya dengan saru bacokan lagi, tiba-tiba dari tempat persembunyiannya Nyo Hun-cong telah melayang turun bagaikan burung. Segera Kam Thian-lip mengayunkan tangannya lagi, kembali beberapa buah senjata rahasia 'Oh-tiap-piau' terbang mengarah ke Nyo Hun-cong, tetapi pemuda ini dapat menyampuk dengan pedangnya, tenaga sampukannya ini bila dibandingkan angin pukulan Lo Tiat-pi masih jauh lebih lihai, keruan beberapa senjata rahasia itu semua terpental oleh sampukan itu, dua prajurit Boan yang malang pertama-tama menghadapi senjata nyasar itu dan segera rubuh terjungkal. Ketika Nyo Hun-cong menggerakkan pedangnya pula, rubuhnya pun ikut bergeser, satu sinar hijau segera menyambar sampai di belakang Kam Thianlip. Meski Kam Thian-lip memiliki ilmu senjata rahasia yang sangat bagus, tetapi ilmu silatnya yang asli masih di bawah Ciok Hua, sekalipun bukan terhitung yang rendahan, tetapi mana bisa ia menandingi kiam hoat Nyo Hun-cong, baru saja ia ingin bertahan, tahu-tahu kelima jari tangan kanannya sudah terbabat putus oleh pedang Nyo Hun-cong, bahkan oleh pemuda ini lantas ditambah pula sekali tusukan hingga segera tubuhnya tertusuk tembus. Ketika Hun-cong memutar balik tubuhnya kembali, tidak seberapa susah dan dalam sekejap ia sudah membereskan belasan serdadu itu. Ia melompat naik ke atas kereta, ketika ia menegasi, tawanan dalam kereta itu memang betul adalah adik angkatnya, Asta. Nyo Hun-cong tidak sempat banyak bicara lagi, hanya beberapa kali babatan pedangnya telah memutuskan borgol pada badan Asta. 226 "Hiante (saudaraku), keluarlah sendiri, aku masih harus pergi melihat seorang Locianpwe," kata Nyo Hun-cong. Habis itu ia lantas berlari mendekati tubuh Lo Tiat-pi dan memanggil, "Losioksiok." Lo Tiat-pi membuka matanya, remang-remang ia masih dapat mengenali Nyo Hun-cong. "Aku sudah tak* berguna lagi!" katanya dengan tersenyum getir. Nyo Hun-cong melihat muka orang tua ini hitam legam, ia mengerti perkataannya bukanlah omong kosong. Para pendekar dalam kalangan persilatan, pandangannya dalam soal mati dan hidup adalah soal biasa saja, tak perlu disesalkan. Maka Nyo Hun-cong lantas membungkuk dan bertanya, "Locianpwe masih ada pesan apa yang hendak ditinggalkan?" Karenanya, lantas terdengar Lo Tiat-pi menutur dengan suara yang lemah. "Toh It-hang menyerahkan sepotong surat padaku dan meminta menyerahkan pada Pek-hoat Mo-li, dapatkah me-wakilkanku mengantar surat itu padanya?" kata Lo Tiat-pi. Ternyata Lo Tiat-pi ini dulu juga adalah seorang begal besar dari Su-jwan dan juga adalah pembantu yang terkuat dan Pek-hoat Mo-li, sebaliknya Toh Ithang adalah keturunan dari kaum bangsawan. Hubungan asmara antara Pek-hoat Mo-li dengan Toh It-hang, Lo Tiat-pi cukup mengetahui dengan jelas. Pek-hoat Mo-li dirintangi perkawinan mereka oleh para Susiok Toh It-hang hingga menimbulkan keonaran, ia telah melukai dua orang jago dari Bu-tong-pay dan terus lari ke Sinkiang, belakangan Toh It-hang pun melepaskan jabatan Ciangbun dari Bu-tong-pay dan mengikuti jejak Pek-hoat Mo-li menyingkir ke daerah perbatasan sini. Tidak diduga bahwa kesalah-pahaman yang susah dipadamkan itu masih berekor pula dan timbul pula perselisihan berhubungan dengan urusan Ho Lokhua. Pek-hoat Mo-li yang sengaja mencari setori sampai dua orang Susiok Toh It-hang pun ikut campur tangan dan datang dari jauh. 227 Hari ini sesudah mereka bertemu dengan Nyo Hun-cong di padang rumput, dan mengetahui bahwa pahlawan wanita yang tersohor di seluruh Sinkiang, Hui-ang-kin Lienghiong, adalah murid Pek-hoat Mo-li, baru kesan mereka terhadap Pek-hoat Mo-li sedikit berubah dan mulai timbul rasa suka. Tetapi dua orang Susiok It-hang ini masih terus mencarinya tidak lama kemudian lantas mereka bertemu Toh lt-hang, ketika itu Toh It-hang sudah mengantar pulang Ho Lok-hua kembali ke pedalaman, kemudian baru balik kembali ke Sinkiang dan mengasingkan diri di atas gunung Mus-tak. Ketika Sin Liong-cu dan Coh Ciau-lam datang menghadap padanya mereka telah didamprat habis-habisan olehnya. Coh Ciau-lam lantas menerima kembali pedang 'Yu-liong-kiam'nya dari Sin Liong-cu dan lantas pergi dengan mendongkol. Sin Liong-cu sebaliknya menerima ajaran sang guru dan bersembunyi di atas gunung, ia bersumpah dalam dua puluh tahun tidak akan turun gunung lagi. Waktu Oei-yap dan Pek-ciok Tojin mencari Toh It-hang justru dalam keadaan yang sunyi dan perasaan hampa dengan halus ia telah menolak permintaan kedua Susioknya ini untuk kembali memegang Ciang-bun golongan Bu-tong-pay. Sebenarnya Oei-yap dan Pek-ciok Tojin masih hendak pergi lagi mencari Pekhoat Mo-li untuk diajak bertanding, syukur keburu dicegah oleh Toh It-hang, ia berlutut di hadapan mereka guna memohon jangan menantang Pek-hoat Moli. "Iblis perempuan itu terlalu tidak kenal adat manusia aku lihat pada suatu ketika kau tentu akan mengalami celaka di bawah tangannya" kata Oei-yap Tojin dengan gusar. "Tecu sudah terlalu banyak berdosa jika menemui ke-matian yang malang pun sekali-kali tak berani meminta Susiok pergi membalaskan dendam," sahut Toh It-hang dengan menangis. Pek-ciok Tojin menghela napas, ia tahu ini adalah karena dalamnya cintaasmara yang tidak dapat disadarkan lagi, maka ia menarik Oei-yap Tojin dan mengeluyur pergi. 228 Setelah Toh It-hang mengantar pergi kedua Susioknya ia berpikir kian kemari dan merasa kalau kesalah-pahaman ini tak dihilangkan, pasti ganjalan hati ini tak akan ada akhirnya. Sesudah mengingat-ingat, ia baru ingat barangkali Lo Tiat-pi dapat menjadi orang perantara maka ia telah menulis sepucuk surat dan menyuruh Lo Tiat-pi suka mengantarkan pada Pek-hoat Mo-li. Tidak terduga di tengah perjalanan Lo Tiat-pi telah bertemu musuhnya dan malah telah tewas di bawah senjata rahasia Kam Thian-lip. Ciok Hua dan Kam Thian-lip sebenarnya adalah dua orang kepala polisi atau Po-thau dari Su-jwan, dahulu Lo Tiat-pi pernah membikin perkara perampokan di Seng-toh dan dikejar oleh Ciok Hua, setelah bertempur dan bertempur lagi, akhirnya, ia tak dapat melawan musuh yang lebih banyak jumlahnya dan terkena satu bacokan, karena itulah sebelah lengannya telah terbacok buntung. Mestinya jiwanya pun tak dapat dihindarkan dari kema-tian, kebetulan Toh It-hang justru lewat di situ dan telah menolongnya. Belakangan Lo Tiat-pi juga datang di Sinkiang dan sering pergi datang berhubungan dengan Toh Ithang. Begitulah maka demi Nyo Hun-cong mengetahui bahwa Toh It-hang ada surat untuk Pek-hoat Mo-li, walaupun ia tak suka pada Pek-hoat Mo-li, tetapi ia ada hubungan persahabatan yang rapat dengan Toh It-hang, lagi pula ini adalah pesan terakhir dari Lo Tiat-pi, maka ia lantas menyanggupi sepenuhnya. "Kau jangan kuatir," katanya, "Toh-susiok mempunyai urusan, aku pasti dapat mengurusnya dengan baik." Mendengar jawaban ini tiba-tiba mata Lo Tiat-pi kelihatan membalik. "Budi dan dendam sudah beres, kini aku boleh berangkat dengan lega!" katanya dengan tersenyum, tangan tunggalnya pelahan telah menggantung turun dan mangkatlah dia dengan tenang. Lantas Nyo Hun-cong menggali sebuah liang kubur dan menanam mayat Lo Tiat-pi secara sederhana. 229 "Saudaraku," katanya kemudian pada Asta, "Aku ada urusan lain harus pergi ke puncak selatan Thian-san, kau sendiri boleh kembali ke padang rumput Garsin di pangkalan orang Kazak. Mokhidi dan nona Malina pun berada di sana, perjalanan dari sini ke Garsin kira-kira memakan waktu tiga hari, tentara Boan yang terdekat pun sudah terusir semua, aku kira tiada sesuatu bahaya apa-apa lagi yang perlu di-kuatirkan." Ketika Asta mengetahui adik angkatnya, Mokhidi, sudah kembali dengan selamat, ia menjadi kegirangan. "Hendaklah kau pun bisa lekas kembali ke sana, agar kita bertiga bisa berkumpul kembali dan bisa membikin pergerakan lagi secara besar-besaran," katanya pada Nyo Hun-cong. Sebelum berpisahan Hun-cong kuatir nanti Asta bertemu dengan musuh yang lebih tangguh dari dia, maka ia telah menghadiahkan pula pedang pusaka yang ia rampas dari Thian-bong Siansu. "Pedang ini adalah pusaka dari golongan Thian-liong-pay, kau harus menjaganya dengan baik," pesannya pada Asta. "Aku pasti tak akan mengecewakan pedang pusaka ini, jika aku mati, aku pun akan menurunkan pada orang yang bersemangat, yang berani melawan pemerintah Boan-jing," janjinya setelah menerima pedang ini. 10 TAMAT Sesudah kedua orang ini masing-masing memberi pesan dan saling berjabatan tangan lalu mereka berpisah. Sudah sekian lamanya, kini Nyo Hun-cong baru kembali naik lagi ke Thian-san. Gunung Thian-san yang membujur jauh ini panjangnya lebih dari tiga ribu li. Hui-bing Siansu tinggal di puncak tertinggi di sebelah utara, sedang Pek-hoat Mo-li bersemayam di puncak selatan, jarak antara kedua puncak inipun ada ribuan li jauhnya. Maka lebih dulu Nyo Hun-cong telah naik ke puncak utara untuk menemui gurunya sendiri. Melihat muridnya sudah kembali, bersabdalah Hui-bing pada sang murid, "Beberapa tahun ini perbuatanmu boleh dikata gilang-gemilang, nyata kau 230 tidak mengecewakan ajar-anku. Hanya kekuatan pasukan Boan memang jauh lebih besar, susah untuk diramalkan kekalahannya, tetapi cukup kalau kau berbuat sebisanya saja, walaupun toh akhirnya gagal, tak usah dibuat menyesal." "Kau punya Sute, Coh Ciau-lam orangnya sangat pintar, kalau kau dapat membikin sadar dia itulah yang paling baik, tetapi jika tidak bisa lagi, boleh kau mewakilkan aku memusnahkan dia," katanya lagi. Nyo Hun-cong menghaturkan terima kasih atas petunjuk gurunya ini. "Kau punya Toh-susiok juga adalah orang yang berperangai halus, Pek-hoat Mo-li walaupun aneh ia pun seorang yang berperasaan, kau jangan membantah maksud pikirannya, dengan demikian mungkin dapat mengakurkan mereka" Hui-bing Siansu menambahkan pula. Begitulah setelah Nyo-Hun-cong dua hari tinggal bersama gurunya baru ia meninggalkan puncak utara menuju Thian-san selatan, di bagian selatan Thiansan banyak sekali terdapat sungai es, setelah berjalan tujuh delapan hari, dipandang dari jauh sungai es seperti tertimbun tumpukan salju yang bisa bergerak, tetapi setelah dilihat dari dekat, baru kelihatan di permukaan sungai es itu berdiri ribuan tiang es yang tinggi pendek dan besar kecil tak teratur. Nyo Hun-cong menyusuri pinggiran gunung es itu, ia terus maju, lewat dua hari kemudian, kini sudah dekat dengan sungai es yang mengalir tenang berasal dari puncak di atas. Dari jauh gerujukan air terjun raksasa yang berwarna putih mengalir turun, tetapi dilihat dari dekat baru ketahuan jelas bahwa itu adalah tiang-tiang es yang tingginya lima enam depa sungsang timbul bertumpuk, ada yang terang tembus berbentuk seperti pagoda, ada pula yang berupa patung raksasa aneka warna corak ragam tiang es ini. Setelah mengikuti jalan alur sungai es ini dan naik ke atas lagi, lewat pula setengah hari baru ia dapat melintasi satu gundukan es yang bercorak seperti gerujukan air yang besar di depannya melebar merupakan suatu jembatan es yang luas, lalu di pojokan sana menjulang tinggi satu puncak yang terang benderang di atas puncak lainnya. 231 Nyo Hun-cong menggunakan ilmu mengentengkan tubuhnya yang tinggi untuk merambat naik sampai ke atas puncak, dilihatnya lagi di atas puncak ada pula satu rumah es yang terbuat dari batu es beku. Pek-hoat Mo-li saat itu kelihatan sedang menunduk dan merangkap tangannya duduk di tengah-tengah rumah itu, lekas Nyo Hun-cong memberi hormat dan memohon bertemu, lama sekali baru Pek-hoat Mo-li membuka matanya. "Kau masuklah ke sini!" katanya kemudian dan menggapai dengan tangannya. Hun-cong menurut, ia masuk ke dalam rumah es itu. "Apakah gurumu yang menyuruh kau datang kemari?" segera terdengar Pekhoat Mo-li bertanya dengan suara keras. "Bukan, Toh-susioklah yang meminta aku datang," jawab Hun-cong. "Walaupun aku berada di atas gunung es ini pun mengetahui bahwa ia mempunyai dua orang Susiok telah datang kemari dari Su-jwan, kini ia menyuruh kau datang, apa hendak menantang aku bertanding pedang dengan mereka?" tanya Pek-hoat Mo-li lagi dengan muka mendadak berubah. "Mana bisa terjadi hal begitu." lekas Nyo Hun-cong menerangkan, "Oei-yap dan Pek-ciok berdua Totiang itu sudah kembali lagi ke Su-jwan. Toh-susiok hanya mengirim surat menanyakan kesehatanmu." Muka Pek-hoat Mo-li baru berubah agak tenang setelah mendengar keterangan Nyo Hun-cong. "Mana suratnya? Bawa ke sini!" katanya kemudian. Lantas Nyo Hun-cong menghaturkan surat Toh It-hang. Setelah Pek-hoat Mo-li membuka sampul surat itu dan membacanya, ternyata surat itu tertulis singkat dalam tujuh baris yang berwujud syair yang maksudnya mengutarakan perasaannya bahwa selama ini ia mengalami pertentangan jiwa karena kesalahpahaman mereka, dan mengutarakan seluruh isi hatinya bahwa dia sangat terkenang dirinya pada masa yang lalu, akan tetapi ia masih mengharap jangan mempercayai omongan orang luar dan menginginkan dapat akur kembali. Sehabis membaca surat itu, tak terasa Pek-hoat Mo-li mengalirkan air mata. 232 Akan tetapi beberapa puluh tahun ini kesalah-pahaman mereka sudah begitu mendalam, walaupun hatinya tergerak sementara, namun sesudah ia berpikir kembali ia lantas gusar lagi. "Hm, mereka orang golongan Bu-tong selalu menganggap diri mereka adalah golongan yang lurus jujur dari kalangan persilatan, mereka menganggap diriku ini sebagai hantu, iblis, memang aku pun tak berani mengharapkan bisa sederajat dengan mereka," katanya kemudian, "Kau kembali saja ke sana dan boleh bilang pada Toh-It-hang, katakan seterusnya aku tidak akan mencari setori lagi padanya, tetapi kalau ia mengharapkan agar bisa akur kembali, itulah yang sekali-kali tidak mungkin." Sudah tentu Nyo Hun-cong menjadi bingung sebab ia tidak mengetahui selukbeluk persoalan mereka, tetapi jika meneliti perkataannya, rupanya di antara Pek-hoat Mo-li dengan Toh It-hang seperti ada tersangkut urusan asmara. Maka ia lantas mencoba memberi pendapatnya. "Orang hidup pun tidak lebih lama dari seabad, apa gunanya membikin orang yang dicintai menderita terus, sedang dirinya sendiri tidak urung juga ikut menderita," katanya dengan halus. "Toh It-hang telah menceritakan seluruhnya padamu?" tanya Pek-hoat Mo-li dengan muka berubah, rambutnya yang putih bersih itu melambai-lambai tertiup angin. "Tidak, Toh-susiok selamanya tidak pernah bercerita tentang urusan pribadinya," kata Nyo Hun-cong. "Kalau begitu, kau sendiri yang hendak menasehati aku," tanya pula Pek-hoat Mo-li. Nyo Hun-cong tak berani menjawab. Karena itulah, mendadak Pek-hoat Mo-li mengeluarkan suara jengekan. "Hm, Hui-ang-kin terhitung orang yang kau cintai, betul tidak?" tanyanya tiba-tiba sambil menuding pada Nyo Hun-cong. Sama sekali Nyo Hun-cong tak menduga akan ditanya begitu, keruan ia terkejut. 233 "Hubunganku dengan Ling-toh (muridmu) hanya seperti kakak dan adik," sahurnya kemudian dengan pilu. "Itulah!" kata Pek-hoat Mo-li pula dengan suara bengis, "Tetapi mengapa kau juga membuat dia menderita!" Mendengar teguran ini hati Nyo Hun-cong seperti tertusuk oleh panah tajam, ia tak dapat menjawab separah ka-tapun. Sementara itu Pek-hoat Mo-li yang penuh dengan rasa kegusaran seperti hendak dilampiaskan seluruhnya atas diri Nyo Hun-cong, ia telah berkata lagi dengan cepat dan rada terputusputus. "Kau ini termasuk murid dari guru ternama, semua menganggap dirinya sendiri luar biasa," katanya sambil menuding pada Nyo Hun-cong, "Betapa hebat kau sudah menyiksa diri Hui-ang-kin, tahukah kau? Dan sekarang kau masih berani datang menasehati aku? Jika bukan Hui-ang-kin begitu datang lantas memintakan ampun bagimu dan memohon aku jangan ikut campur tangan. Hm, kalau tidak dari kemarin dulu aku sudah bereskan kau!" "Hui-ang-kin sekarang berada di mana, bagaimana dengan keadaannya?" tanya Hun-cong dengan cepat. "Ia ada di sini, tetapi ia telah bersumpah tak mau menemui kau lagi," sahut Pek-hoat Mo-li. Tetapi waktu Hun-cong memandang sekeliling rumah itu, keadaannya kosong belaka, mana ada orang lain lagi? "Hui-ang-kin telah membangun sebuah gubuk dan berdiam seorang diri di puncak sebelah bawah, apakah kau masih ada muka buat menemui dia?" kata Pek-hoat Mo-li lagi sambil menunjuk keluar jendela dengan jarinya. Tiba-tiba Nyo Hun-cong berseru sekali, ia membalikkan tubuhnya dan lantas berlari keluar sampai berpamitan dengan Pek-hoat Mo-li pun terlupa. Di belakang sayup-sayup ia masih mendengar suara Pek-hoat Mo-li bergelak tertawa. Sementara itu, bayangan Nyo Hun-cong sudah tidak kelihatan lagi. 234 Begitulah dengan terburu-buru dan rasa kuatir Hun-cong ingin lekas menemui Hui-ang-kin. "Maukah Hui-ang-kin menemui aku?" begitulah satu pertanyaan itu muncul dalam pikirannya, secepat angin ia terus meninggalkan tempat Pek-hoat Mo-li. Aldiirnya ia mendapatkan satu gubuk yang terbuat dari kayu di kaki puncak selatan Thian-san ini, dari dalam gubuk sayup-sayup berkumandang suara orang yang sedang Liam-keng, membaca kitab suci. "Hui-ang-kin, Hui-ang-kin, aku telah datang! Buka pintu!" demikian Hun-cong berteriak dan mengetok pintu sekeras-kerasnya, akan tetapi orang yang berada di dalam sedikit pun tidak memberi sahutan. Nyo Hun-cong menjadi gugup, ia tak peduli lagi bakal didamprat oleh Hui-angkin, ia melompat masuk ke dalam rumah ini, ia lihat dalam rumah itu asap dupa mengepul tebal, seorang wanita sedang duduk bersemedi di tengah-tengah dengan mata terpejam dan sedang mengucapkan isi kitab suci, terhadap gangguan dari luar, sedikit pun ternyata tak ambil pusing. Nyo Hun-cong yang dapat melihat dengan jelas siapa adanya wanita ini, jiwanya bergolak seperti terpukul keras oleh gelombang ombak yang besar, seketika ia terkesima dan tak dapat mengeluarkan separah katapun. Apakah dia ini adalah Hui-ang-kin? Wanita yang bersemedi ini apakah betul adalah pahlawan wanita di padang rumput yang tersohor dan disegani? Demikian hampir Nyo Hun-cong tak percaya atas penglihatannya sendiri. Ternyata wanita yang sedang bersemedi ini rambutnya sudah putih semua, kalau dipandang dari belakang persis sama seperti Pek-hoat Mo-li yang sudah tua ini, apakah mungkin seorang gadis yang berusia dua puluhan tahun seketika rambutnya bisa berubah menjadi putih seluruhnya memenuhi kepalanya? "Oh! Hui-ang-kin yang harus dikasihani! Tentu kesedihan dan pukulan batin yang begitu banyak telah merubah dia menjadi begini macam!" ratap Nyo Hun-cong. Sesaat itu hanya wajah Hui-ang-kin. yang terbayang dalam pikirannya ia ingat di waktu mereka berdua berendeng bergandengan tangan di padang rumput, 235 percakapan yang menggembirakan di dalam kubu kuno dahulu, semua ini sudah berlalu terbawa angin dan tidak bakal terjadi lagi atas diri 'gadis berambut putih' di depannya ini. Nyo Hun-cong terharu sekali, sampai hampir berlutut dan memeluknya untuk minta diampuni. Tetapi apa yang harus diampuninya? Bayangan Nilan Ming-hui sekilas terbayang olehnya ia dan Nilan Ming-hui toh tiada berbuat salah? Memang, persoalan dalam urusan asmara kadang-kadang susah untuk bisa dipikirkan secara bijaksana! Sementara itu Hui-ang-kin masih terus membaca kitab sucinya dengan suara rendah. "Hui-ang-kin," kata Nyo Hun-cong pula dengan halus, "Saudara-saudara kita di padang rumput sana masih memerlukan pimpinanmu, marilah berangkat turun gunung bersama aku, kita adalah sahabat yang paling baik dan kekal untuk selamanya!" Akan tetapi sedikitpun Hui-ang-kin tidak mengangkat kepalanya ia masih terus membaca kitabnya dan bahkan makin lama makin menjadi giat dan lebih keras lagi. Hun-cong dapat mendengar isi kitab yang dibaca itu seperti kata-kata yang mengandung arti bahwa hidup manusia ini hanya khayalan dan seperti mimpi belaka aldiirnya toh juga akan lenyap tak berbekas. Ini adalah isi kitab suci ajaran Buddha. "Hui-ang-kin, mengapakah kau ini?" Nyo Hun-cong memanggil lagi dengan suara lebih keras karena sudah tak tahan pula, "Di padang rumput sana dimana-mana masih terdapat api peperangan, sebaliknya kini kau berkata tentang khayal dan rriimpi. Apakah suku bangsamu yang berlumuran darah, bergelimpangan tewas dalam peperangan ini dalam pandanganmu juga hanya bayangan khayalan belaka? Hui-ang-kin! Janganlah kau berbuat bodoh lagi, ikutlah aku turun gunung!" Akan tetapi Hui-ang-kin masih tetap seperti tak melihat dan tak mendengar, ia bersemedi terus, selain bibirnya yang kelihatan kemak-kemik bergerakgerak, hakikatnya mirip patung jaman purba saja. 236 Nyo Hun-cong tak berdaya ia terkesima di samping Hui-ang-kin, ia tak mengerti apa yang harus ia perbuat lagi. Lewat agak lama tiba-tiba teringat sesuatu olehnya "Hui-ang-kin sendirian mengasingkan diri di gunung es sini, jangan-jangan perlawanan di padang rumput sana sudah dipatahkan oleh tentara Boan-jing?" demikian pikirnya. Teringat akan demikian ini, tak tertahan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. "Hui-ang-kin, kini aku tak dapat menemani kau di sini, aku masih harus turun gunung untuk pergi mencari saudara-saudaraku," katanya kemudian sambil menarik napas, "Biarlah lewat beberapa lama lagi, pasti aku akan datang menengok kau pula." Habis berkata begitu ia menguatkan hatinya dan segera melompat keluar dari rumah itu dan berangkat pergi. Setelah Hui-ang-kin mendengar Nyo Hun-cong sudah pergi jauh, tiba-tiba ia melemparkan kitabnya ia menghela napas panjang dan berkata dengan sedih, "Kau tak akan dapat menemui aku lagi untuk selamanya." Pada saat yang sama Nilan Ming-hui pun dalam keadaan yang sedih sekali, ayahnya Nilan Siu-kiat telah dipindahkan sebagai Cong-ping di kota Hang-ciu, kabarnya pengangkatan ini adalah usul dari To-Tok. To-Tok yang baru naik pangkat menjadi Liang-kang, setelah ia berhasil membasmi pasukan sisa tinggalan Loh-ong dari kerajaan Beng, lalu ia telah pula menggantikan kedudukan dan gelar ayahnya sendiri, sebagai Ok Jin-ong, atau Pangeran Ok, ia betul-betul sedang dilimpahi kegembiraan yang bertumpuk-tumpuk, maka ia hidup senang sekali. Karena tak menginginkan menikah di daerah yang terpencil sana, ia pun tidak bersedia pergi jauh menyambut tunangannya untuk menuruti keinginannya, ia lantas memindahkan Nilan Siu-kiat ke Hang-ciu sebagai bawahannya sendiri. Nilan Siu-kiat yang juga berasal dari bangsawan, ia pun sudah berulang-ulang mendapat pahala di daerah Sinkiang, maka kalau dia dipindahkan menjadi Cong-ping ke kota Hang-ciu, itupun sudah merupakan hal lumrah. 237 Akan tetapi Nilan Ming-hui yang merasa hancur hatinya, ia telah menyukai padang rumput di Sinkiang, karena di padang rumput sini terdapat seorang yang ia cintai. Malam itu sesudah Nyo Hun-cong membikin huru-hara di istana jenderal, ia masih terus menantikan kedatangannya kembali, akan tetapi Nyo Hun-cong tetap tidak kunjung tiba. Ia menjadi sangsi apakah Nyo Hun-cong menjadi sengit dan marah padanya dan tidak sudi menemuinya lagi. "Apakah sedikitpun kau tak dapat memahami maksudku?" begitulah katanya diam-diam dalam hati. Akan tetapi Nyo Hun-cong yang dia nantikan tetap tak kunjung datang. Sebaliknya ayahnya telah kembali dari masa dinasnya dan segera pula disusul dengan boyongan seluruh isi rumah mereka ke selatan. Setelah Nyo Hun-cong turun dari Thian-san, keadaan di padang rumput sudah jauh berbeda dengan dulu, perkemahan pasukan Boan di mana-mana kini dapat terlihat jelas, tetapi pejuang dari suku-suku bangsa sudah terpencar selebaran atau menyembunyikan senjata mereka dan tak kelihatan lagi. Ternyata selama sebulan itu, waktu ia pergi-datang ke Thian-san, pasukanpasukan bersenjata yang melawan pemerintah Boan di padang rumput daerah selatan Sinkiang itu telah mengalami pukulan yang hebat. Pasukan Boan di dae r ah utara telah memperkokoh kedudukan mereka kemudian lantas memindahkan kekuatan pasukannya ke selatan. Sementara itu To Tok juga sudah memperoleh firman dari raja untuk memindahkan pasukan yang ada di Jing-hai ke daerah Sinkiang sini. Di lain pihak, padang rumput Garsin sejak perginya Hui-ang-kin dengan membawa orang-orangnya, kekuatannya menjadi banyak berkurang dan lemah, maka dengan gampang saja lantas dipukul pecah oleh musuh. Akhirnya, sesudah dengari susah payah Nyo Hun-cong dapat menemukan dua adik angkatnya di padang rumput, Asta dan Mokhidi, setelah memperoleh penjelasan situasi perang itu, Hun-cong hanya dapat menghela napas saja. "Seterusnya, semua urusan harus bergantung pada kalian, aku akan meninggalkan daerah Sinkiang sini," katanya kemudian pada mereka. Sesudah itu, sekali lagi ia lantas menyelundup masuk ke kota Ili, ia berpikir hendak menemui Nilan Ming-hui buat penghabisan kalinya, ia ingin bertanya 238 pada gadis itu bersedia buron bersama dia atau tidak, ia sudah mengambil keputusan tidak peduli Nilan Ming-hui mau tidak mau harus minggat bersama dia. Namun satu hal sudah pasti, ia akan kembali ke Kwan-Iwe atau pedalaman. Di sana adalah tempat tinggalnya yang lama, lagi pula kabarnya di daerah selatan Ciat-kang masih terdapat pula sisa-sisa bawahan Loh-ong dari keluarga kerajaan Beng dan di Ouw-pak juga ada Li Kim, anak Li Cu-seng dengan pasukannya yang cukup besar. Dan apabila sudah sampai di Kanglam atau daerah selatan, ia berpikir sedikitnya masih dapat membuat pergerakan besar-besaran. Akan tetapi sayang, ia terlambat, Nilan Ming-hui sudah berangkat beberapa hari yang lalu. Waktu ia sampai di kota Ili baru mengetahui bahwa Ili Ciangkun sudah berganti orang. Tetapi ia masih belum mau percaya, berturut-turut ia masih memasuki istana jenderal itu untuk melihat-lihat apakah masih terdapat orang yang dikenalnya, beruntung saat malam tiba baru ia ketemukan keponakan Naima yang masih tinggal di situ, di waktu malam yang sunyi senyap itu diam-diam ia membangunkan anak dogol ini untuk menanyakan kabar Siocianya. Anak dogol ini ternyata tidak takut-takut lagi pada Hun-cong, bahkan ia mengomeli pemuda ini. "Siocia kami sudah akan melangsungkan perkawinan di selatan sana, apa gunanya kau mencari dia lagi?" katanya, "Sebelum berangkat, bibi telah berpesan padaku kalau bertemu dengan kau supaya aku memberitahu padamu agar jangan lagi menggoda Siocia kami!" Mendengar kabar demikian ini, seketika Hun-cong merasa seperti disambar geledek di tengah hari bolong. "Siocia kembali menikah di mana?" tanyanya kemudian dengan cepat. "Hang-ciu!" jawab anak dogol itu. Sekonyong-konyong Hun-cong tertawa panjang sekali, habis itu ia memutar balik tubuhnya dan lantas berlari pergi. 239 Malam itu, sepanjang malam ia tidak dapat tidur, pikirannya bergolak naik turun seperti ombak mendampar, tak terasa ia telah mengangkat pit dan membuat syair untuk mengenangkan pengalamannya selama di padang rumput. Selesai ia bersyair, cuaca pun sudah terang, ia menunggang kuda dan dilarikan dengan cepat. Sejak ini, di padang rumput tidak dapat diketemukan lagi bayangan Nyo Huncong, yang ada hanya cerita kepahlawanannya yang masih dibuat nyanyian oleh rakyat gembala dan terus membekas di sana. Sebulan kemudian, Nyo Hun-cong telah sampai di Hang-ciu, kala ini justru adalah hari Tiong-ciu, arus air sungai Ci-tong-kang sudah mulai naik pasang. Suasana di kota Hang-ciu ramainya bukan main, orang-orang di sini ada yang datang melihat arus Ci-tong-kang ini, ada pula yang datang hendak melihat perayaan pernikahan Pangeran To Tok. Hari pernikahan To Tok dengan Nilan Ming-hui sudah ditetapkan tanggal delapan belas bulan delapan, jadi tiga hari sesudah hari Tiong-ciu. Kebetulan Nyo Hun-cong tiba di sana tiga hari sebelum upacara pernikahan mereka. Musim rontok di daerah selatan, hawa malam dingin segar, rembulan yang bundar bulat menandakan tanggal pertengahan bulan Tiong-ciu. Ketika ini, keadaan sunyi senyap, hanya pada kediaman Hang-ciu Cong-ping masih ramai, silih berganti bayangan orang dalam suasana yang riang gembira. Malam itu adalah malam sebelum hari penikahan Siocia dari Hang-ciu Congping Nilan Siu-kiat yang bernama Nilan Ming-hui. Nilan Siu-kiat mendapat berkat pahala yang besar dan juga atas dukungan To Tok, pangeran muda dari bangsawan Boan, kini ia telah naik pangkat menjadi Cong-ping atau penguasa militer di kota Hang-ciu. Gadisnya Nilan Ming-hui, yang kecantikan dan kebijaksanaannya sangat tersohor di antara bangsawan sebang-sanya. Ayahnya yang tiada mempunyai anak lain kecuali ia sendiri, yang merupakan gadis tunggalnya sungguh bukan main ia dimanjakan oleh ayahnya sejak masih muda sudah mengundang dua orang guru silat dan sastra untuk mengajarkan dia ilmu silat di siang hari dan belajar ilmu surat di malam hari, betul-betul merupakan seorang gadis yang pintar dan sempurna dalam kedua hal di atas. 240 Setelah Nilan Siu-kiat naik pangkat menjadi Cong-ping atas dukungan To Tok, tidak lama kemudian To Tok lantas meminta ayahnya sendiri meminang Nilan Ming-hui. Pangeran To Tok ini dapat dikatakan adalah orang yang gagah berani di antara bangsa Kijin dari Boan, sejak kecil sudah mahir menarik busur yang kuat dan menunggang kuda. Ilmu menunggang kuda dan ilmu pedangnya pun dalam kalangan bangsanya termasuk golongan kelas satu, pada usia dua puluh dua ia sudah ikut pasukan negerinya menjajah ke barat dan berhasil mengamankan daerah sana. Tahun ini ia baru berusia dua puluh delapan tahun dan sudah dianugerahi jabatan dengan pangkat Liang-kang To Tok, ia terhitung satusatunya pejabat tinggi dari bangsawan mereka yang paling muda. Nilan Siukiat yang dapat merangkap perjodohan ini sudah tentu bertambah jaya dan gembira. Akan tetapi, justru pada malam sebelum hari upacara pernikahan, Nilan Siocia malahan mencucurkan air mata ia memegangi secarik surat yang berisikan sajak, dengan pelahan ia sedang membacanya ketika membaca sampai pada suatu bagian, saat itu juga ia tak tahan lagi, air matanya bercucuran deras, setelah agak lama kemudian baru ia bergerak bangkit dan dengan suara pelahan-lahan ia memanggil 'Bu-ma'. Bu-ma atau ibu inang yang dipanggil ini adalah babu inangnya atau Naima sejak bayi yang membesarkan Nilan Siocia adalah Naima maka dengan Naima ini boleh dikata mempunyai hubungan yang sangat rapat dan sayang melebihi kedua orang tuanya sendiri. Waktu itu Naima sedang tidur di kamar luar, maka begitu mendengar ada panggilan segera ia masuk ke kamar Nilan Siocia. "Siocia untuk apa kau menyiksa diri!" katanya pada momongannya ini yang bertangisan begitu rupa "Siapa yang tidak berkata kau mendapatkan perjodohan yang baik, kalau sampai diketahui Hujin tentu akan membuat dia tambah sedih dan kesal lagi. Siocia adalah lebih baik kalau kau lupakan hal-hal yang sudah lalu....." "Bu-ma kau tak usah mengurus aku," Nilan Siocia memotong perkataan orang, "Aku mohon kau bawa kemari Po-cu kecil, aku ingin melihatnya sekali lagi!" 241 Babu inang itu hanya menggeleng-geleng kepala saja dan menghela napas melihat kecemasan sang Siocia akan tetapi akhirnya ia pergi juga menuruti perintahnya. Pada waktu itu juga tiba-tiba pelita di depan jendela itu bergoyang-goyang, setelah itu dibarengi oleh mendesirnya angin, sesosok bayangan hitam tahutahu sudah melayang masuk melalui jendela. Yang melompat masuk ternyata adalah seorang pemuda yang cakap gagah, di bawah sinar pelita yang bergoyang dan remang-remang itu terlihat pada alis mata pemuda ini tersembunyi rasa marah. Demi melihat di depan Nilan Siocia tergeletak secarik surat sajak yang dia kenali adalah buah tangannya, bahkan di atas surat itu masih terdapat bekas tetesan air mata. "Moaymoay, kau berbahagia sekali!" terdengar pemuda itu menyapa tajam dengan senyum getir. Ketika Nilan Siocia memandang si pemuda, sinar matanya bagaikan bintang yang berkelip-kelip menyorot guram. "Apakah kau juga tak dapat memahami perasaanku yang sangat menderita dan demikian membenci padaku?" tanyanya kemudian. Tetapi pemuda itu telah mengibaskan lengan bajunya dan maju setindak, tibatiba ia berkata pula dengan nada yang cepat, "Marilah ikut padaku! Apakah kita tidak dapat kabur bersama? Dunia seluas ini, apakah tiada tempat lagi untuk kita?" "Tetapi siapa suruh kau adalah bangsa Han?" sahut Nilan Siocia tiba-tiba dengan dingin dan menundukkan kepalanya. Karena jawaban ini, pemuda itu berubah air mukanya namun segera pula ia tertawa tergelak. "Haha tadinya aku menyangka kau adalah wanita yang paling gagah di antara bangsamu, tidak nyana kau adalah seorang gadis yang paling setia pada tahta kerajaan bangsamu," katanya kemudian dengan suara yang bersemangat. 242 Belum habis perkataannya tiba-tiba di luar sana terdengar suara terompet berbunyi dengan serentak dan panah-panah beterbangan di angkasa. Karena kejadian ini, pemuda itu mendelik matanya mendadak pula kedua tangannya ia turunkan lurus dan membalikkan badannya ke depan Nilan Ming-hui. "Jika kau menghendaki jiwaku, perlu apa kau menggunakan muslihat semacam ini?" katanya dengan tertawa menyindir, "Kini aku serahkan diriku untuk kau ringkus sesukamu, biarlah hitung-hitung sebagai sumbangan besarku pada hari pernikahanmu!" Sebenarnya Nilan Siocia waktu itu sedang sesenggukan dan menundukkan kepalanya tetapi saat ini juga seketika ia melompat bangun dengan kuatir, mukanya berubah ketn kutan. "Kau.....kau.....kau mengartikan apakah ini?" katanya dengan suara terputusputus. Pemuda ini tidak menjawab, ia mendekati jendela dan melihat keluar, ternyata di luar taman sudah terang benderang oleh berpuluh lampu obor yang menyorot seperti di waktu siang hari, diikuti pula oleh suara orang yang riuh ramai bagaikan membanjirnya air menuju jurusan timur, tetapi tidak seorang pun yang menuju ke jurusan di mana ia berada terang sekali suara-suara tadi bukan ditujukan pada dirinya karenanya pemuda itu agak merasa heran. Tidak lama kemudian, suara orang yang riuh ramai itu lambat-laun menjadi sunyi, sinar lampu ini pun satu persatu padam semuanya. Ketika pemuda itu membalikkan tubuhnya dan sedang hendak berkata lagi, tiba-tiba ia mendengar dari luar ada suara langkah orang yang mendatangi, lekas ia memutar pergi dan bersembunyi di belakang kelambu, maka sejenak kemudian terlihatlah dari luar masuk babu inang Nilan Siocia dengan membopong seorang bayi. "Siocia kabarnya ada yang menyerang dan merampas orang tahanan di penjara" kata babu ini dengan napas yang masih tersengal-sengal setelah masuk dalam kamar, "Malam ini pasukan pengawal kebanyakan berdinas di sini, tenaga di sana jadi berkurang, karena itu katanya sudah terlolos beberapa orang tahanan, maka tadi dengan segera telah meminta bantuan dari sini. Siocia apa kau kaget?" 243 Nilan Siocia tidak menjawab, ia hanya mengulur tangannya dan menyambut anak kecil yang berada di gendongan babu ini. Terdengar suara tangisan yang tiba-tiba keluar dari mulut anak bayi ini, sesaat ini juga pemuda yang bersembunyi di belakang kelambu segera pula sudah melompat keluar. Babu inang itu terperanjat waktu mendadak melihat ada orang melompat keluar dari belakang tempat tidur. "Nyo-taiya, hendaklah kau mengampuni Siocia kami, tentu kau tahu bahwa besok adalah hari bahagianya," kata babu itu setelah melihat jelas siapa adanya pemuda itu. "Aku mengerti!" sahut pemuda itu memanggut. Sejenak kemudian pemuda ini telah menghela napas dan dengan suara pelahan seperti sedang bersenandung, tetapi sebelum suara nyanyiannya berhenti, mendadak dari depan ia telah mengayunkan sebelah telapak tangannya terus memukul ke arah Nilan Siocia. Keruan Nilan Siocia terperanjat sekali, dengan sendirinya pula ia mengegos dan menghindari serangan itu. Tidak ia duga hanya dalam waktu secepat itu, anak perempuan yang berada di tangannya tahu-tahu sudah berpindah tangan dan telah terampas oleh pemuda itu. "Kau..... apakah yang hendak kau lakukan?" demikian tanya Nilan Siocia dengan kuatir setelah rasa terkejutnya reda. Pemuda ini bukan lain adalah Nyo Hun-cong. Sementara itu dengan sedikit mundur ia sudah menggeser dirinya mendekati jendela habis itu dengan suara gemas baru ia menjawab, "Sejak hari ini ia sudah bukan milikmu lagi, maka kau tidak berhak untuk bertanya!" Rupanya bayi perempuan ini sesudah menangis sebentar tadi mungkin sudah merasa lelah dan tertidur, tetapi karena keributan ini, dua matanya yang kecil lantas melek lagi, dan ketika melihat Nilan Siocia yang rambutnya kusut bersebaran seperti hendak menubruk maju pula ia menjadi ketakutan, mulutnya yang kecil telah mewek-mewek lagi dan tangannya bergerak-gerak, suatu tanda akan menangis lagi, lekas Nyo Hun-cong membalikkan tubuh anak bayi itu sambil menepuk dan menimang dengan pelahan. Dalam pada itu, ia lihat di luar jendela udara terang benderang, sang dewi malam dengan 244 wajahnya yang bulat bundar sedang mengintai di angkasa raya di sekitar taman sunyi sepi, ia menggigit bibir dan mengertak giginya dengan hati berat ia membawa anak itu dan segera menerobos keluar jendela di belakang ia hanya mendengar suara tangis sesambatan dari Nilan Siocia namun tanpa membalikkan kepala lagi ia menggunakan ilmu mengentengkan tubuhnya dan dengan cepat menghilang di malam sunyi. Dalam taman keadaan sunyi senyap, akan tetapi di luar, di jalanan besar keadaan sebaliknya suasana di jalan kota masih ribut gempar. Ketika Nyo Hun-cong memandang sekitarnya >a melihat gedung kediaman Cong-ping sebelah sana telah berkobar api yang menjulang tinggi, rombongan orang yang ribut itu terlihat berlari tunggang-langgang di antara jalanan besar, ada yang membawa anak kecil sambil berteriak menangis. Nyo Hun-cong sendiri yang membopong anaknya mencampurkan diri di antara orang banyak yang ribut kacau itu, ternyata tiada seorang pun yang memperhatikannya. Hun-cong tahu bahwa kerusuhan itu adalah karena pasukan Boan yang sedang menindas dan menguber pelarian tahanan dari penjara tiba-tiba pikirannya tergerak, tanpa terasa ia menengok ke belakang, ia lihat di pojokan beberapa jalanan dekat kediaman Cong-ping sudah siap dengan penjagaan oleh tentaratentara yang berjumlah agak banyak, maka dapat diduga para pelarian agaknya kabur menuju ke sana maka ada satu regu pasukan berkuda telah mengejar juga dan menerjang ke jurusan itu. Dalam keadaan kacau-balau itu Nyo Hun-cong tidak dapat melihat dengan jelas, waktu ia memandang anak yang berada dalam pelukannya, ia menghela napas panjang, walaupun dari sana terdengar berkumandang suara beradunya senjata, namun ia terpaksa tak bisa berbuat banyak, ia hanya bisa memikirkan dirinya sendiri dan berlari keluar kota mengikuti arus manusia yang hendak menyelamatkan dirinya masing-masing itu. Setibanya di luar kota, rombongan penduduk yang ketakutan lambat laun sudah mulai berpencaran, memang sesudah bisa meninggalkan tempat berbahaya, dengan sendirinya mereka mencari tempat untuk istirahat, ada yang duduk dan ada yang tiduran, saking letihnya mereka seperti sudah tidak dapat bangun lagi untuk berjalan. Hanya Nyo Hun-cong yang masih berjalan terus di antara sunyinya hutan belukar dengan membopong anak kecil. 245 Selewatnya tengah malam, rembulan pun sudah bergeser ke barat, lambat laun anak kecil itu pun tidur dengan pulasnya dan ketika Nyo Hun-cong hendak mencari suatu tempat untuk istirahat, tiba-tiba ia mendengar pula suara orang-orang yang riuh bercampur dengan suara kelenengan kuda datang dari belakang, ia pikir, boleh jadi ini adalah pasukan Boan yang mengejar pelarian tahanan itu sehingga akhirnya telah sampai di sini pula. Kalau mendengar suara derapan telapak kaki kuda yang begitu riuh, agaknya pengejaran ini dilakukan dengan kencang sekali. Tempat di mana Hun-cong berada waktu itu justru adalah suatu tanah pekuburan, rumput alang-alang yang tumbuh di situ tingginya melewati dada orang dewasa maka sambil memondong anaknya ia menyingkir ke pinggir, ia bersembunyi di belakang satu nisan kuburan, alang-alang yang tumbuh tinggi itu. persis dapat menutup penglihatan orang. Apabila kemudian ia menegas lagi, terlihat olehnya pengejarnya adalah dua orang penunggang kuda sedang yang dikejar kiranya juga hanya dua orang anak tanggung, satu lelaki dan satu perempuan, melihat wajahnya umur mereka tentu tidak lebih dari enam atau tujuh belas tahun, karenanya ia menjadi heran. Dua anak tanggung itu setelah berlari sampai kira-kira dua puluh tindak sebelum tanah kuburan itu, sekonyong-konyong mereka berhenti dan berdiri tegak, masing-masing segera melolos senjata pula. Sementara itu kedua pengejar itu pun sudah sampai, mereka segera melompat turun dari kuda yang satu mengeluarkan senjata rantai besi, sedang yang lain melolos goloknya dua orang yang bertubuh tegap besar dari bangsa Boan ini berbareng lantas menubruk maju dan membentak minta kedua bocah itu lekas menyerahkan diri untuk diringkus. Tak tahunya kedua anak itu tidak menggubris sama sekali, kedua pedang mereka segera menyambar dengan cepat, mereka malahan menempur kedua orang tegap itu dengan seru dan mati-matian. Gadis cilik itu gerakannya kelihatan sangat cepat sekali, sedikit ia menurunkan tubuhnya secepat kilat pula ujung pedangnya segera ditusukkan menuju ke leher orang yang menggunakan golok tadi. Orang itu cepat mundur setindak ke belakang sambil menangkis dengan goloknya tetapi dengan cepat 246 mendadak gadis cilik itu sudah menarik kembali serangannya dan dengan sekali sabet ia mengirim pula satu tusukan ke dada musuh. Mau tak mau orang itu kembali dipaksa mundur lagi setindak, habis ini tibatiba ia memutar cepat golok besarnya yang segera membentuk satu gulungan sinar perak, ia mengeluarkan ilmu permainan golok 'Kau-to' tunggal dari Kwangwe dan berniat memotong putus pedang gadis cilik ini. Akan tetapi gadis cilik itu tidak menarik kembali serangannya pula, ia hanya sedikit menekan pedangnya ke bawah terus sekaligus memutar tabuhnya, ia menerobos ke samping, sedang pedangnya dengan cepat sekali berbareng sudah menyambar datang lagi. Adapun anak muda itu tadi, ilmu pedangnya sebaliknya tidak secepat gadis cilik ini, cara ia bertempur juga berlainan, kelihatannya tangannya seperti memegang senjata yang antap sekali, ujung pedangnya mendadak mengacung ke timur dan tiba-tiba ke barat, tetapi sinar pedangnya selalu membelit-belit serta bisa menjaga diri dengan rapat sekali. Lawannya yang menggunakan rantai besi itu telah memutar senjatanya dengan cepat sekali sampai mengeluarkan suara angin yang menderu, namun sedikitpun tak dapat menyenggol pedangnya. Nyo Hun-cong yang mendekam di belakang kuburan menjadi sangat tertarik oleh pertempuran ini, ia mengembara di kalangan kangouw sampai kini sudah ada sepuluh tahun, ilmu silat dari berbagai cabang mana saja sudah pernah ia lihat. Maka sesudah melihat ilmu permainan pedang sepasang anak lakiperempuan ini ia lantas mengetahui bahwa meski usia mereka masih muda, tetapi sudah pasti mereka mendapatkan ajaran yang baik dari seorang guru ternama. Hanya gadis cilik itu, pedangnya kelihatan dimainkan dengan cepat dan berebutan hendak mendahului, tetapi dalam hal keuletan ia masih belum cukup, lawannya hanya meladeni dengan tenang, maka setelah agak lama gadis ini tentu akan kehabisan tenaga. Sebaliknya anak laki-laki itu, gerak pedangnya walaupun sedikit lambat, tetapi terang sudah mendapat pelajaran istimewa 'Bu-kek-kiam-hoat', sungguhpun kelihatannya berada di bawah angin, tetapi malahan tidak berbahaya. Nyo Hun-cong dengan membopong anaknya masih terus memperhatikan ke dalam kalangan pertempuran, hanya di tangannya ia sudah bersiap-siap apabila 247 gadis cilik itu kelihatan akan menghadapi bahaya, segera ia akan turun tangan untuk menolong. Setelah bertempur lagi sebentar, lambat laun gadis cilik itu betul-betul sudah mulai di bawah angin. Waktu itu ia sedang menggunakan jurus 'Hongkwi- loh-hua' atau angin meniup merontokkan bunga, ia menusuk dengan ujung pedangnya sedikit miring dan membalik ke atas dengan maksud hendak memotong pergelangan tangan musuh. Namun lawannya yang menggunakan golok ini mendadak mengeluarkan suara bentakan, dengan langkah lebar berbareng ia memiringkan tabuhnya dan goloknya segera menyambar pula, ia menggunakan gerak tipu 'Sun-cui-hangciu' atau menjalankan perahu mengikuti arus air, tidak saja ia telah dapat menghindari ujung pedang gadis cilik tadi, sebaliknya berbareng ia membabat dari samping, sinar goloknya bergemerdepan menuju bagian bawah tabuh gadis cilik itu. Gadis ini tampak agak gugup dan lekas melompat ke samping, dengan mengandalkan keentengan tabuhnya ia berpikir hendak menghindari babatan yang berbahaya itu. Akan tetapi lawannya seperti sudah mengetahui ia bakal berbuat demikian. Waktu maju membabat tadi, dua anak panah kecil berbareng telah dia timpukkan pula, bahkan sewaktu melepaskan anak panah tadi, ujung goloknya berbareng menutal tanah lagi dan orang itu terus berbalik berjumpalitan di udara, golok besarnya telah melancarkan pula satu serangan "Tok-bi-hoa-san' atau membelah gunung Hoa-san, ia membacok ke atas kepala gadis cilik itu dan serangan itu tidak mudah untuk dihindari. Melihat bahaya mengancam keselamatan si gadis itu, tiga butir pelor besi yang sudah siap di tangan Nyo Hun-cong seketika sudah menyambar keluar, orang yang memakai golok itu hanya melihat dua anak panahnya baru sampai di belakang tubuh gadis itu, tiba-tiba telah jatuh ke atas tanah, dan ketika ia merasa terkejut mendadak dirasakan per-gelangan tangannya kesakitan dan menjadi kaku, ketika itu ia baru melayang turun dengan gaya 'Elang lapar menyambar kelinci', golok besarnya juga sedang hendak membacok, namun ia sudah terkena serangan gelap terlebih dulu, maka ia hampir tidak dapat memegang lebih kencang senjatanya, ia menjerit kesakitan, tetapi golok di tangannya masih terus dibacokkan secara kalap! 248 Waktu ini juga, punggungnya tiba-tiba merasakan pula ada angin dingin menyambar, ujung pedang orang tahu-tahu sudah menusuk datang, di pinggir telinganya ia hanya mendengar suara bentakan nyaring, "Jangan melukai adikku!" dan belum sempat ia berpaling ke belakang, mendadak bahu kirinya sudah terkelupas sepotong kulit dagingnya. Kiranya yang menyerang dari belakang ini adalah si anak laki-laki tadi. Ilmu pedang 'Bu-kek-kiam-hoat' si anak muda ini sebenarnya sudah jauh lebih tinggi di atas musuhnya, sekalipun belum cukup matang terlatih dan sesaat tidak bisa lantas memperoleh kemenangan, tetapi toh sudah berada di atas angin. Maka sambil bertempur ia juga sambil mengawasi si gadis cilik yang ada di sampingnya. Waktu mendadak melihat gadis itu dalam bahaya, tanpa ayal lagi pedang di tangannya pun menyerang dengan cepat, dengan beberapa kali serangannya yang beruntun dan bertubi-tubi, lebih dulu ia telah membuat musuhnya yang memakai rantai besi ini menjadi kerepotan. Dengan sendirinya orang ini terdesak hingga mundur beberapa langkah, tetapi anak muda ini tidak lantas merang-sek lebih lanjut, melainkan ia lantas berputar, mendadak ia menggunakan gerakan 'Kuai-bong-hwan-sin' atau ular sawah membalik badan, tabuhnya dibalikkan dengan cepat dan pedang di tangannya segera menusuk ke arah orang tegap besar yang mendesak gadis cilik itu. Sungguh seperti belalang yang sedang hendak menangkap tonggeret, tetapi tidak terduga burung gereja ada di belakangnya, orang tegap yang memakai golok besar itu belum sempat menengok ke belakang dan ternyata pundaknya sudah terkupas sepotong kulit dagingnya, dalam sekejap itu pula si gadis cilik pun sudah membalikkan tabuhnya kembali, dengan menggerakkan pedangnya ia menusuk pula secara bertubi-tubi. Orang yang menggunakan golok itu sudah terluka, sudah tentu tak bisa menahan serangan yang begitu gencar datangnya bagaikan angin ribut dan hujan deras yang datang dari muka dan belakang, hanya terlihat olehnya dua sinar pedang yang bergemerdep seperti gunting yang tajam, tanpa ampun lagi orang tegap besar itu segera tabuhnya terpotong menjadi tiga bagian, darah muncrat membasahi tanah. 249 Orang yang menggunakan rantai besi itu masih cukup cerdik, begitu melihat kawannya tewas segera mencemplak kudanya terus kabur, seekor kuda lainnya yang sudah tak bertuan lagi setelah berulang-ulang meringkik panjang lantas berlari pergi tanpa tujuan. Meski sudah sejak tadi Nyo Hun-cong berada di belakang kuburan dan menyaksikan pertempuran seru ini, ternyata sepasang anak laki-perempuan itu masih belum sadar dan belum mengetahui kalau ada orang lain yang telah menolong dengan senjata rahasia karena itu Hun-cong tertawa dalam hati, "Ya maklumlah anak-anak ini masih hijau dan baru muncul di kalangan kangouw." Waktu itu, sepasang muda-mudi itu telah menyimpan kembali pedang mereka dan seperti sedang bercakap-cakap dengan suara tertahan sambil kedua tangan mereka saling menggenggam kencang. Nyo Hun-cong dapat melihat mulut mereka berkemak-kemik, tetapi tidak terdengar apa yang mereka percakapkan. Sekonyong-konyong gadis itu meronta berusaha melepaskan kedua tangannya dan lantas bertanya dengan suara keras, "Kalau begitu, jadi betul apa yang telah kau akui seluruhnya itu?" Lalu kelihatan anak muda itu memanggut-manggutkan kepalanya dengan suara sahutan yang lirih. Meski Nyo Hun-cong di tempat persembunyiannya tidak mendengar dengan terang apa yang dikatakan, tetapi jelas kelihatan dari sikap si pemuda itu adalah tanda pengakuan yang dibenarkannya. Tetapi demi mendengar suara sahutan itu, si gadis cilik mendadak melompat mundur satu langkah seperti hendak menghindari sesuatu barang yang menakutkan, habis itu tiba-tiba ia melompat kembali pula dan segera mengirim satu tamparan ke muka anak muda itu, begitu keras tamparan itu sampai suara"plak" terdengar jelas. Tatkala itu si anak muda itu justru menghadap ke tempat kuburan, maka dengan jelas Nyo Hun-cong di tempat persembunyiannya itu dapat melihat air muka anak muda itu yang begitu putih pucat dan kaku sikapnya penuh penyesalan dan mengenaskan sekali! Si gadis cilik itu setelah memberi tamparan, demi melihat anak muda itu bersikap demikian, tiba-tiba ia menutup mukanya dengan kedua tangan dan 250 menangis dengan sedih sekali, tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya terus berlari pergi sambil masih terus menangis. Anak muda itu masih terus berdiri tegak di tempat tadi, sampai sesudah gadis itu hilang bayangannya baru selangkah demi selangkah ia berjalan ke depan. Sebenarnya Hun-cong berpikir hendak memanggil dia tetapi waktu melihat matanya terpaku dan berjalan setindak demi setindak dengan kaku, mirip seperti arwah halus yang gentayangan di hutan sunyi! Tanpa terasa ia bergidik, sehingga ia urung memanggil. Sementara itu si anak muda itu sudah berjalan lewat di pinggir kuburan di mana dia bersembunyi dan menghilang di antara rumput alang-alang yang panjang, ternyata pemuda ini sama sekali tidak memperhatikan bahwa di belakang kuburan itu masih bersembunyi seseorang. Setelah menyaksikan kejadian yang mengharukan tadi, tidak terasa Nyo Huncong lantas teringat akan keadaan dirinya sendiri pada waktu berpisah dengan Nilan Siocia tidak tahan pula hatinya kembali merasa pedih. Dalam pada itu tiba-tiba ia mendengar suara "Hu.....hu..... huuu," seperti suara angin tetapi bukan suara angin, terdengar sangat menyeramkan. Ia mendongak melihat rembulan, teringat olehnya bahwa malam ini adalah malam ketiga sesudah malam Tiong-ciu, di Ci-tong-kang atau sungai Ci-tong sedang menghadapi gelombang besar di musim rontok. Tidak terasa ia lantas berdiri dan berjalan menuju arah datangnya suara gelombang ombak, ia terus berjalan menuju pinggir sungai Ci-tong itu sambil tangannya masih tetap membopong anaknya. Ci-tong-kang yang panjangnya sampai beberapa puluh li itu, di bawah sang dewi malam yang memancarkan sinarnya, permukaan air berkelip-kelip mengeluarkan pantulan sinar rembulan, ketika itu arus air masih belum tiba, jika memandang ke depan hanya terlihat lelangit yang berhimpitan dengan air dan air bergandengan dengan langit, seakan-akan tiada ujung pangkalnya. Sambil memondong anaknya, Nyo Hun-cong berjalan dengan pelahan di tepi sungai, terdengar suara arus air yang menderu berisik, bermacam pikiran seketika muncul semua, keadaannya seperti sedang mabuk dan gendeng, ia 251 lupa akan arah tujuannya. Sampai tiba-tiba di telinganya terdengar suara bentakan, "Nyo Hun-cong!" baru mendadak ia seperti tersadar dari impiannya dan menoleh ke belakang. Dan ketika ia menoleh ke belakang, barulah ia betul-betul tersadar oleh karena kaget, ternyata sudah ada orang yang berdiri di depannya, orang ini adalah seorang tua yang berhidung besar melengkung dan bermata cekung, di sampingnya masih berdiri pula dua orang pemuda yang gagah kuat. Segera Nyo Hun-cong mengenali orang ini adalah Susiok atau paman guru To Tok, pangeran bakal suami Nilan Siocia, di antara bangsa Boan orang ini bergelar 'Tiat-cio' atau telapak tangan besi, yakni bukan lain daripada Nikulo yang dulu pernah bergebrak dengannya dalam pertempuran di padang rumput. Muka Nikulo kaku dingin dengan sikap seperti senyum tetapi bukan senyuman, sikapnya sangat menakutkan. Tiba-tiba ia tepuk kedua tangannya dan lantas mengadang di depan Nyo Hun-cong. "Nyo Hun-cong, kiranya selamat-selamat saja selama berpisah!" tegurnya, "Perbuatan-perbuatan yang telah kau lakukan selama beberapa tahun ini, walaupun dapat kau mengelabui Nilan Cong-ping dan To Tok, tetapi tidak nanti kau bisa membohongi aku si orang tua, To Tok adalah orang yang mulia dan agung, Nilan Siocia adalah wanita tercantik di antara bangsa Kijin, dengan perbuatanmu ini tidak saja kau telah menodai Nilan Siocia, tetapi bahkan telah menodai bangsa kami. Jika aku tidak mengetahui itulah tidak menjadi soal, tetapi setelah aku mengetahui, sekarang juga aku akan mewakilkan To Tok mencuci bersih noda tersebut." Waktu ini Nyo Hun-cong dengan tangan kirinya masih membopong anaknya, setelah mendengar serentetan perkataan itu, ia masih tetap tenang saja, ia masih tidak bergerak sedikit pun, mukanya pun tidak memberi tanda apa-apa. Berlainan sekali dengan kedua pemuda yang berdiri di samping Nikulo ini, mereka sudah tak tahan lagi, berbareng mereka segera menubruk maju, satu di sebelah kiri dan yang lain di kanan. Namun Nyo Hun-cong sudah siap sedia, ia tertawa dingin, tiba-tiba ia memutar kakinya, dengan cepat ia menggeser pergi menghindari tubrukan musuh, mendadak pula ia membentak dengan suara keras, tangan kanannya 252 sudah dapat mencengkeram kedua tangan pemuda yang menyerang dari sebelah kanan, dengan satu puntiran, pergelangan tangan kanan musuh dia tekuk sedikit, maka tanpa ampun lagi segera terdengar suara teriakan keras seperti babi yang kesakitan hendak disembelih, pemuda ini lantas terbanting jatuh beberapa depa jauhnya. Sementara ini, pemuda yang menyergap dari sebelah kiri pun sudah sampai serangannya, namun tubuh Nyo Hun-cong tiba-tiba mengkeret ke bawah menghindari kepalan tangan musuh, habis ini sekonyong-konyong pula wbuhnya berdiri tegak dan mengirim satu pukulan ke depan dan dengan tepat pula mengenai muka musuh, segera terdengar suara jeritan keras pula, muka orang itu segera memuncratkan darah, biji matanya pun mencelat keluar dan lantas pemuda itu jatuh pingsan. Sementara itu, anak yang berada dalam pelukan Nyo Hun-cong terkaget juga hingga terjaga dari tidurnya terus menangis dengan suara keras. Melihat kedua muridnya baru sekali gebrak sudah terpukul begitu rupa, Nikulo menjadi gusar sekali, dengan satu geraman ia melompat maju, telapak tangan kanannya dengan sepenuh tenaga segera dipukulkan ke atas kepala lawan. Sebaliknya Nyo Hun-cong pun tidak gentar, ia tidak berkelit, bahkan ia memapak pukulan orang dengan seluruh tenaganya juga, tangan kanannya membalik dan menangkis ke atas. Ketika kedua tangan beradu, segera seperti dua buah balok kayu besar yang saling bentur, di luar dugaan pada saat itu juga lantas terdengar suara pekikan dan tangisan anak kecil yang mengerikan, ternyata anak bayi itu telah terpental lepas dari tangan Nyo Hun-cong. Tanpa pikir panjang lagi, segera Hun-cong melayang pergi dan memburu beberapa depa ke depan seperti burung walet yang terbang miring dan syukurlah masih keburu menangkap anak bayi yang terpental itu. Nyo Hun-cong merasakan pukulan musuh tadi sungguh tidak enteng, akan tetapi Nikulo lebih berat lagi merasakannya dari dia, ia pun terpukul oleh tangkisan Nyo Hun-cong tadi sehingga tidak dapat bertahan lagi untuk berdiri tegak, ia sempoyongan ke belakang hingga puluhan langkah baru dapat menahan kembali tubuhnya agar dapat berdiri tegak. 253 Ia yang tersohor dengan sepasang 'telapak tangan be-si'nya ternyata tak dapat menahan tangkisan lawan tadi, perasaannya menjadi mendongkol dan gusar sekali, segera ia mengeluarkan senjata tajamnya yang berbentuk kikir, berhentak segi tiga dan bersinar gemerdepan, kikir ini adalah senjata andalannya yang istimewa disebut 'Song-bun-co', ia dapat menggunakannya sebagai belati serta dapat dipakai sebagai tombak pendek yang betul-betul berbahaya sekali, karena dapat pula digunakan untuk menutuk jalan darah musuh. Sementara itu Nyo Hun-cong pun sudah bebenah kembali dengan baik, ia mengikat anak bayi itu dengan tali pinggangnya di punggung dan mengeluarkan juga pedang pendeknya yang bersinar gemilapan. Senjata Song-bun-co Nikulo sedikit lebih panjang dari pedang pendek Nyo Hun-cong. Dalam kalangan persilatan, orang yang bisa menggunakan senjata yang makin pendek adalah yang paling berbahaya. Kini pedang dan kikir saling beradu sudah tidak sama lagi dengan pertarungan tombak yang panjang dengan jarak antara kedua petarung sedikit jauh, dengan beradunya senjata pendek lantas seperti bergumul saja secara mati-matian, sinar berkelebatnya pedang dan kikir hanya lewat di muka masing-masing orang, apabila salah satu sedikit lengah tentu akan menghadapi bahaya maut dan akan memuncratkan darah. Nikulo yang sudah gusar sekali telah bertarung dengan sengit dan kalap, ia menusuk, menutuk dan menikam dengan cepat laksana singa mengamuk, pukulannya semua merupakan pukulan-pukulan yang berbahaya sekali. Sebaliknya Nyo Hun-cong yang menggendong anak di belakang punggungnya, sedang anak itu menangis pula tiada hentinya, ia tak berani main lompat dan harus dengan teliti pula melindungi anak itu, maka agak berat dan payah baginya, keringat telah membasahi seluruh badannya. Walaupun begitu, ilmu pedangnya adalah ajaran dari guru yang paling wahid di kolong langit ini, ia tidak dapat dipermainkan begitu saja, ia tetap bertarung dengan tenang, pedang pendeknya berulang-ulang membabat dan menusuk pula dari pinggir dan depan, sedikitpun ia tak memberi hati kepada lawannya. Pertarungan kedua orang ini makin lama makin cepat dan makin berbahaya, sampai pada suatu ketika yang menentukan, Nikulo tiba-tiba menggeser tubuh dan melangkah secepat kilat, tahu-tahu ia sudah berada di belakang Nyo HunKang Zusi http://cerita-silat.co.cc/ 254 cong dan sekonyong-konyong memberi satu tikaman menuju ke arah anak bayi yang berada dalam gendongan Nyo Hun-cong itu dengan kikirnya. Untuk menghindarkan serangan ini seharusnya Hun-cong melompat pergi, tetapi ia kuatir mengagetkan anaknya, maka ia hanya memutar sedikit saja, tubuhnya dengan enteng sudah tertarik pergi dan pedangnya disengkelitkan ke atas membentur Nikulo, ia barengi pula dengan mencongkel ke atas dengan keras, dengan meminjam gerakan Nikulo tadi ia bermaksud merebut senjata orang, benar saja dengan congkelan itu, kikir musuh tidak tertahan lagi dan lantas terlepas dari tangan Nikulo serta jatuh ke tanah. Kedua orang sama-sama tangkasnya, maka sama-sama tak tahan gebrakan tadi, Nikulo yang senjatanya terlepas, orangnya pun segera menubruk maju, waktu ini Nyo Hun-cong masih belum bisa pasang kuda-kuda dengan kuat, karena ini segera ia berhadapan rapat dengan musuh, sementara itu anak yang berada digendongannya tiba-tiba menjerit lagi dengan ngeri, bahkan suaranya pun seperti sudah serak, keruan Nyo Hun-cong menjadi gugup hingga ia tidak keburu berkelit lagi, dadanya lantas terkena pukulan musuh dengan keras, akan tetapi pedang pendeknya pun berbareng didorong menusuk masuk di bawah baju Nikulo hingga ambles tinggal kelihatan gagangnya. Dengan begitu, kedua orang tersebut sama-sama terkena serangan lawan, setelah Nyo Hun-cong mencabut keluar pedangnya dari tubuh musuh, dirinya sudah tidak tahan lagi, ia hanya merasa matanya berkunang-kunang, langit seperti ambruk dan bumi berputar. Ia mengerti akan celaka, lekas ia mendekam ke depan supaya tidak terjatuh ke belakang yang dapat menindih dan mencelakai anak yang ada di belakang punggungnya. Sebaliknya di sebelah sana juga Nikulo sudah jatuh menggelongsor terluka berat, tetapi kedua matanya masih melotot merah berapi. Jarak di antara mereka tidak lebih empat lima kaki jauhnya, tetapi semua sudah tak kuat bangun kembali apalagi hendak menubruk pula. Mereka hanya saling melotot saja, sedang angin malam meniup santer membawa suara tangisan anak yang sudah serak. Suasana dan pemandangan waktu itu sungguh sangat menyeramkan dan menggetarkan hati semua orang. Selang tak lama kemudian, Nikulo mulai meronta pelahan dan bergerak maju di atas tanah, ia menahan dengan satu tangannya, ternyata dengan sedikit 255 merangkak ia bermaksud mendekati tempat di mana Nyo Hun-cong menggeletak. Keruan Nyo Hun-cong terkejut sekali, iapun berusaha untuk bergerak sedikit, tetapi seluruh tabuhnya masih terasa lemas tak bertenaga, ketika ia hendak sedikit menggunakan kekuatannya, di tenggorokannya mendadak terasa bau amis, darah segar segera menyembur keluar dari mulutnya. Nikulo yang bergelar 'Tiat-cio' atau telapak tangan besi, Nyo Hun-cong yang telah terpukul olehnya persis tepat mengenai dadanya, lukanya ternyata lebih berat daripada luka Nikulo yang terkena pedang Hun-cong. Apabila melihat Nikulo seperti binatang buas yang mendekati ajalnya dengan pelahan-lahan masih berusaha mendekatinya, tetapi dirinya sendiri sedikit pun tak berdaya, perasaan Nyo Hun-cong menjadi gusar dan juga gugup, tidak terasa ia lantas jatuh pingsan tak sadar lagi. Setelah lewat lagi agak lama, tiba-tiba ia mendengar ada suara panggilan yang berulang-ulang di samping telinganya, "Nyo-taihiap! Nyo-taihiap!" Karena suara panggilan ini dengan pelahan ia mulai sadar kembali. Ia melihat yang berdiri di depannya justru adalah anak muda yang tadi bertempur melawan opsir bangsa Boan dan yang kemudian ditampar oleh gadis cilik itu. Nyo Hun-cong agak heran, ia bertanya dengan suara pelahan pula, "Siapakah kau, bagaimana kau mengetahui aku adalah Nyo-taihiap? Ada apakah kau datang ke sini?" Tetapi anak muda itu tidak lantas menjawab pertanyaannya, sinar kedua matanya guram tak bersemangat. "Aku ingin mencebur ke sungai!" serunya tiba-tiba. "Kalau begitu, mengapa kau tak segera mencebur ke sungai?" tanya Nyo Huncong dengan dingin. "Melihat keadaanmu, bagaimana aku bisa mencebur?" sahut anak muda itu, "Nyo-taihiap, aku sudah mengenalmu. Beberapa tahun yang lalu, aku pernah melihatmu waktu kau datang bertamu di tempat Toh-cu kami, hanya saja waktu itu aku masih kanak-kanak." 256 Keterangan ini agak menarik Nyo Hun-cong, ia coba menyanggah tanah dengan sebelah tangannya, lalu ia mang-gut-manggut. "Itulah, maka kau tak boleh mencebur ke sungai, selanjutnya pun tak boleh mencebur ke sungai," katanya kemudian, "Kau hanya mendapatkan sedikit penasaran, lantas kau ingin menyelesaikannya dengan menceburkan diri ke sungai. Akan tetapi, ketahuilah olehmu bahwa masih banyak saha-batfamilimu yang karena hendak menegakkan kembali kejayaan negara dan bangsanya telah menderita kesukaran dan penasaran yang lebih besar, banyak pula yang mati dan yang terluka, tetapi kamu yang menjadi orang muda sedikitpun tidak ambil peduli, sebaliknya hanya karena sedikit persoalan lantas hendak mencari kematian, bagaimana kau ada muka buat berhadapan dengan mereka?" Waktu itu Nyo Hun-cong mengangkat kepalanya sedikit ke atas, ia memandang pada anak muda itu dengan cermat, wajahnya sungguh-sungguh dan kereng, suaranya pelahan serak dan rendah, tetapi tiap perkataannya seperti tambur dan genta yang berbunyi di waktu subuh sehingga menggoncangkan hati anak muda itu. Pemuda itu memandang Taihiap yang berada di depannya ini, pendekar dan pahlawan yang namanya menggetarkan seluruh kangouw ini kini sudah kehabisan tenaga dan sudah serak suaranya, jelas sekali merupakan orang yang sudah dekat ajalnya. Dalam keadaan demikan pemuda ini menjadi malu diri, akhirnya ia mengambil suatu keputusan dan kemudian menyahut, "Aku pasti akan menurut pesan Taihiap." Pada saat terakhir ini, Nyo Hun-cong meronta sekuatnya dan merobek sepotong kain bajunya, mendadak ia memasukkan jari tengah tangan kanannya ke mulut dan digigit, darah segera mancur keluar, tanpa merintih sedikit pun ia lantas menulis di atas kain sobekan baju itu, sesaat itu si pemuda sampai terkesima melihatnya. Sehabis menulis, ia menyuruh si anak muda datang mendekat dan menerima 'surat darah' itu. "Bawalah surat darah ini beserta pedang pendekku itu sebagai bukti, bawalah pula anak ini pergi naik ke Thian-san untuk menemui guruku, Hui-bing Siansu, 257 ia akan mengajarkan kau ilmu pedang yang paling wahid di kolong langit," pesannya pada anak muda itu. Sehabis memberi pesan ini, lalu seperti semua perkara sudah beres, kedua matanya dikatupkan dan sejak itulah ia tak berkata-kata lagi. Nyo Hun-cong sudah menghembuskan napasnya yang penghabisan. Waktu itu rembulan sudah terbenam ke barat, subuh segera akan tiba, di tempat kejauhan dari Ci-tong-kang timbul satu garis putih yang mendatangkan suara gemuruh. Anak muda itu menyimpan baik-baik 'surat darah' tinggalan Nyo Hun-cong, lalu ia menyelipkan pedang pendek pusaka di pinggangnya pula, dengan membopong anak bayi perempuan itu ia memandang gelombang air Ci-tongkang, ia tidak mengerti perasaan apa yang ia rasakan waktu ini. Di saat itu juga, tiba-tiba dari jauh terdengar pula ada suara derapan kaki kuda yang mendatangi, pemuda ini mencoba mendengarkan sedikit lebih cermat lagi, ia mendengar seperti berkumandang pula suara wanita yang nyaring sedang memanggil, "Lak-koh!" Tiba-tiba ia menghela napas panjang, ia melepaskan baju luar dan mencopot sepatunya dan lantas dilemparkan ke dalam sungai, orangnya pun lantas bersembunyi menyelusup masuk ke dalam semak-semak di tepi sungai itu. Syukur anak kecil yang berada dalam pangkuannya tidak menangis lagi. Yang datang ternyata adalah dua orang lelaki dan seorang wanita, yang wanita adalah gadis yang tadi datang bersamanya dan telah menampar mukanya itu, ia datang dengan melarikan kudanya dengan cepat dan tak henti-henti nya memanggil, "Lak-koh, kau sembunyi di mana? Keluarlah kau!" Adalah kedua orang lelaki sebaliknya menasehatinya terus sepanjang jalan. Tetapi begitu beberapa orang ini sudah dekat di tepi sungai dan melihat mayat manusia menggeletak bergelimpangan, mereka menjadi tertegun dan terkesima sejenak. Kemudian seorang di antaranya tiba-tiba telah berteriak dengan keras, "He, apa itu bukan Nyo-taihiap? Hei, Nyo-taihiap, Nyo-taihiap, mengapakah kau?" Ia berlari maju dan meraba-raba tubuh yang menggeletak tenang ini, setelah mengetahui bahwa Nyo Hun-cong sudah tak bernapas lagi, tidak tertahan ia 258 menjerit terkejut. Pikirnya, "Nyo Hun-cong adalah ahli waris Hui-bing Siansu, ilmu pedangnya jarang ada tandingannya di kalangan persilatan, bagaimana ia bisa tewas secara begini mengenaskan?" Sementara ini, wanita tadi tiba-tiba mengeluarkan jeritan ngeri dan terus berlari-lari menuju pesisir seperti hendak menceburkan diri ke dalam Citong- kang. Waktu kedua lelaki ini memandang ke depan, maka terlihatlah di permukaan air terapung sepotong baju, sedang di pesisir menggeletak sepasang sepatu. Sekonyong-konyong gelombang ombak Ci-tong-kang mendampar naik, suara gemuruhnya bagaikan geledek, air muncrat ke tepi gili-gili, gelombang besar yang pasang naik dengan cepat, sekejap saja sudah mendekati landasan giligili itu. Karena ini kedua lelaki tadi tiba-tiba menjerit terkejut, mereka melayang maju dan segera menyeret mundur wanita ini, sekalipun begitu cepat mereka bisa mundur toh tidak urung basah kuyup juga terkena air ombak. Kemudian wanita itu yang kelihatan cemas telah ditarik pergi oleh kawan-kawannya. Setelah menunggu sampai orang-orang ini pergi jauh, anak muda tadi baru keluar dari semak-semak, ia membopong anak perempuan tadi dan dengan perasaan hancur setindak demi setindak berjalan menuju ke utara dengan langkah yang berat. -TAMAT- # Sampai ketemu lagi di serial lanjutannya TUJUH PENDEKAR THIAN SAN # Gudang Ebook (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net